Oleh:
Muhammad Barir*
Kesetaraan merupakan kesejajaran
harkat dan martabat, serta meratanya keadilan dan kesejahteraan
manusia, tanpa melihat perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi,
maupun perbedaan warna kulit. Kesetaraan merupakan konsep yang
menolak diskriminasi dengan mengusung kesejajaran, keadilan, dan
posisi yang moderat. Kesetaraan tidaklah menolak fitrah
bahwa manusia diciptakan dengan berbagai perbedaanya.
- Berbeda namun Setara
Kesetaraan tidaklah serta-merta
bertujuan melakukan tuntutan bahwa manusia harus disamakan. Hal
tersebut dikarenakan bahwa terkadang perbedaan yang dialami manusia
merupakan bentukan keniscayaan
fitrah
yang sejatinya berasal dari tuhan. Adanya perbedaan jika dicermati
juga tidaklah merupakan hal yang negatif. Sikap yang terpenting dalam
menghadapi perbedaan adalah rasa saling menghargai atas perbedaan
tersebut. Kesetaraan berbeda dengan kesamaan. Jika kesamaan menuntut
terhadap terciptanya kesamaan manusia, maka kesetaraan lebih menuntut
adanya kedamaian dan kesejahteraan yang merata, sehingga, walaupun
manusia berbeda, namun manusia adalah setara.
Secara historis manusia merupakan
mahluk yang setara. Semua umat manusia pada dasarnya relatif memiliki
hak-hak yang setara seperti hak mendapat perlindungan, hak mengenyam
pendidikan, hak mendapat jaminan kesehatan, dan hak mendapat keadilan
hukum. Manusia bisa dikatakan memiliki derajat yang berbeda hanyalah
dalam dimensi normatif dalam wilayah hubungan antara Tuhan dengan
manusia (vertical
relation) itu pun
yang berhak menilai derajat manusia hanyalah Tuhan (QS. Al-Hujura>t
49:13). Sedangkan dalam hubungan antar sesama (horizontal
relation), manusia
merupakan mahluk yang setara.
Dari pemaparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa diskriminasi yang dilakukan sebagian manusia
terhadap sebagian manusia yang lain merupakan hal yang menyalahi
nilai-nilai kemanusiaan. Larangan manusia untuk berbuat tindak
diskriminatif ini digambarkan dengan jelas dalam QS.
An-Nisa>’
(4): 135 tentang larangan membela seseorang karena ikatan keluarga;
kemudian dalam QS.
Al-
al-Ma>’idah
(5):8 tentang larangan berlaku diskriminasi terhadap seseorang karena
kebencian; dan dalam
QS. Al-Hujura>t
(49):9 tentang anjuran berada pada posisi tengah dalam menyelesaikan
perselisihan antar golongan. Tidak dapat dipungkiri bahwa selain
ketiga ayat tersebut, masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan
perihal pandangan Islam tentang diskriminasi.
Tindak
diskriminatif tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun, terlebih
menjadikan perbedaan sebagai alasan tindakan tersebut. Perbedaan
bukan untuk diskriminasi dan bukan untuk saling bertikai, namun
perbedaan antar manusia adalah alasan untuk saling mengenal satu
dengan yang lain dan untuk mengenal kekuasaan tuhan yang mampu
menciptakan beragam perbedaan tersebut (QS.
Al-Hujura>t
[49]:13).
Perbedaan antar manusia adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Dari perbedaan itu manusia memiliki kekurangan dan kelebihan untuk
saling mengisi. Tiap orang punya bakat
dan keahlianya masing-masing, bagi seorang ahli bangunan yang sakit
akan membutuhkan dokter untuk mengobati penyakit yang dideritanya dan
bagi seorang
dokter yang sedang menginginkan tempat tinggal akan membutuhkan ahli
bangunan untuk membangun rumah baginya. Hal ini menunjukan bahwa
manusia itu berbeda namun setara. Sebagaimana
mahluk hidup lainya, Manusia
tercipta dengan perbedaan adalah untuk saling melengkapi dalam
hubungan simbiosis mutualisme
seperti lebah yang memerlukan sari bunga dan bunga membutuhkan lebah
untuk penyebaran serbuk sari, keduanya saling melengkapi.
Suatu kelompok tidak bisa
mengkonstruksikan dirinya sebagai kelompok yang superior dan
mengklaim kelompok lain sebagai kelompok yang inferior. Selain itu,
bagi kelompok yang diklaim inferior oleh kelompok lain tidak
dibenarkan untuk meruntuhkan superioritas suatu kelompok dengan
alasan membangun superioritas yang baru bagi dirinya. Kesia-siaan
akan terjadi dalam niat melenyapkan diskriminasi dengan melakukan
diskriminasi, sama halnya dengan niat menyelesaikan suatu masalah,
namun dengan menciptakan permasalahan baru.
Hal tepat yang seharusnya difahami
oleh manusia adalah kesadaran akan kesatuan manusia dalam
kesejajaran. Manusia dengan perbedaan apapun itu akan meraih
ketenteraman kolektif jika bisa berdiri sejajar dalam garis
horizontal. Dari ketenteraman kolektif inilah manusia akan bisa
merasakan ketenteraman individu menjadi manusia yang memasuki dunia
silm al-kaffa>h
“Islam
yang sempurna”.
sebuah istilah yang dibangun oleh Gus Dur ketika menafsiri surat
al-Baqarah
ayat 208 sebagai “kedamaian yang sempurna”1
penafsiran Gus Dur ini berbeda dengan penafsiran lainya, silm
al-kaffa>h
tidak lagi ditafsiri dengan masuk pada agama Islam sepenuhnya, namun
lebih pada harapan agar manusia itu selalu damai.2
Kedamaian tiap manusia merupakan hal
yang harus diciptakan dan dijaga. Penjagaan terhadap kedamaian
menjadi tugas bagi setiap pemimpin dan pemangku Kewenangan (stake
holder)—dalam
konteks kenegaraan, hal ini termasuk lembaga aparatur negara dan
lembaga yudikatif yang berwenang dalam memangku hukum kenegaraan
seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Agama dan
lembaga-lainya—yang berkewajiban terhadap penanganan sebuah kasus
hukum. Pengambilan kebijakan yang salah terhadap suatu permasalahan
memang buruk, namun kediaman pemimpin dan pemangku kewenangan jauh
lebih buruk. Tentang bagaimana manusia harus tidak tinggal diam
terhadap adanya perselisihan dijelaskan dalam Q.S. Al-Hujura>t
(49): 9-10:
“Dan kalau ada dua golongan dari
mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara
keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang
lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah
antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil;
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
3
Ayat di atas memiliki nilai dasar
tentang keharusan tidak menutup mata terhadap perselisihan antra
sesama umat yang beriman, namun selain nilai dasar tersebut, ayat di
atas juga memiliki nilai universal terhadap keharusan untuk tidak
menutup mata terhadap permasalahan sosial yang melibatkan pihak dari
golongan apapun tanpa harus membedakan.
Bersikap setara dan anti diskriminasi
menjadi perlu untuk tertanam dalam jiwa setiap manusia. hal ini bisa
dimulai dengan melenyapkan rasa fanatisme dan mulai memasukan rasa
kedamaian
dan persaudaraan
antar manusia terhadap suku, bangsa, ras, dan perbedaan jalan hidup
lainya. Bhineka tunggal ika “walau berbeda namun tetap satu jua”
menjadi konsep yang perlu direnungkan kembali karena selama ini,
konsep
ini sering dilupakan dan tidak difahami bahkan oleh bangsa Indonesia
sendiri. Konsep ini bukanlah konsep yang lahir secara tiba-tiba,
namun konsep ini merupakan hasil pemikiran yang panjang dan dalam
oleh para pendahulu. Walaupun istilah ini lahir dari faham keagamaan
Hindu, namun istilah ini telah bertransformasi menjadi konsep baru
yang sama sekali berbeda dengan tujuan awal ia diciptakan. Konsep ini
memiliki nilai universal tentang manusia dan kehidupanya sebagai
mahluk majmuk.
2
Jika dicermati lebih dalam,
pernyataan K.H. Abdurrahman Wahid ini sesuai dengan penafsiran
Fazlur Rahman, bahwa kata s-l-m
memiliki arti, Aman, utuh, dan integral. Menurutnya kata s-l-m
dengan bentuk mashdar silm
memiliki arti “damai” (QS. al-Baqarah
[2]:208), bentuk salam
memiliki makna “utuh” (QS. Az-Zuma>r
[39]:29), dan mashdar mengikuti bentuk madhi aslama
– isla>m
yang biasanya diikuti dengan lilla>h
memiliki makna menyerahkan dalam arti “berserah-pada Allah”lihat
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS,
2012), hlm. 236.
No comments:
Post a Comment