Oleh: Muhammad Barir*
Indonesia dengan kompleks dan
beragamnya perbedaan yang ada di dalamnya membutuhkan sebuah tatanan
baru. Banyaknya permasalahan tidak hanya membutuhkan penyelesaian
jangka pendek, namun juga dibutuhkan prinsip yang dapat menjaga
stabilitas jangka panjang yang lebih penting. Kedamaian
(as-silm),—sebuah
istilah yang dibangun Gus Dur—tidak dapat diraih oleh seseorang
dengan cara membangun dirinya sendiri, namun kedamaian yang sejati
hanya akan bisa dirasakan dengan membangun kebahagiaan kolektif.
Nilai-nilai kesetaraan meliputi nilai
keadilan dan jiwa moderat sebenarnya merupakan hal yang diperlukan
dalam membangun masyarakat yang multikultural yang bisa hidup
harmonis di tengah kenyataan perbedaan. Indonesia sebenarnya
merupakan bangsa yang multikultural yang ramah akan adanya perbedaan,
namun seringkali hal ini terciderai oleh kepentingan individu yang
coba merusak kepentingan kolektif.
Jika mengikuti pola Islam dan Teologi
Pembebasan yang dibangun Asghar, bangsa Indonesia mesti dibebaskan
dari belenggu diskriminasi. Pada awalnya, perbedaan yang ada dalam
sebuah tatanan masyarakat mengimplikasikan pembentukan dua pola
masyarakat, pertama adalah pola masyarakat diskriminatif dan kedua
adalah pola masyarakat yang majmuk dan dapat bersatu (unity
of mankind). Karena
munculnya pola masyaratak diskriminatif akan mengakibatkan
penindasan, maka hal terpenting adalah menarik masyarakat
diskriminatif ke arah masyarakat yang egaliter. Dari sini, perbedaan
yang ada di Indonesia yang darinya lahir berbagai tragedi kemanusiaan
yang diakibatkan diskriminasi baik yang berhubungan dengan agama,
ras, dan lain sebagainya perlu disikapi dengan menarik masyarakat
dari pola masyarakat diskriminatif menjadi masyarakat yang moderat
dan mau menghargai perbedaan. Kemudian Indonesia yang egaliter juga
memerlukan kesadaran tiap individu bahwa dirinya adalah kesatuan
dengan manusia lainya, menjunung tinggi kepentingan kolektif dengan
tidak membawa kepentingan individu untuk merusak kepentingan bersama.
Dari kesemua pembahasan di atas,
sebagaimana kata Asghar, bahwa cahaya Islam haruslah disibakkan1.
Bagaimanapun Islam bisa bertahan sampai saat ini adalah karena Islam
bisa menghargai berbagai macam keseragaman kehidupan. Dan karena
sikap inilah Islam mendapat gelar خيرأمة
“sebaik-baik
umat”
(QS. Ali Imran [3]: 110) dan Islam juga mendapat gelar أمة
وسط “umat
yang moderat”.2
Gelar
yang sudah melekat inilah yang perlu disibakkan dan ditanamkan pada
jati diri setiap manusia.
Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa
“orang-orang yang penyayang akan disayang oleh dzat yang penyayang.
Sayangilah yang ada di bumi, maka yang di langit akan sayang kepada
kalian.” (HR. Abu
Dawud, Tirmidzi, dan Baihaqi). Syaikh Nawawi al-Bantani mengomentari
hadis di atas dengan menyatakan bahwa seseorang yang menyebarkan
kasih sayang di dunia baik kepada manusia, hewan, tumbuhan, dan
ciptaan lainya akan disayang oleh Allah yang maha rahman.3
3
Abdulwahid Hasan, sebuah pengantar
dalam Machasin, dalam: Machasin,
Islam Dinamis, Islam Harmonis (Yogyakarta:
LKIS, 2012), Hlm. vii.
No comments:
Post a Comment