Oleh: Muhammad Barir
Misi kemanusiaan merupakan nilai yang
diklaim oleh kalangan reformis sebagai nilai yang telah ada pada
Islam sebelum HAM dideklarasikan pada 10 Desember 1948. Farid Esack,
sepakat bahwa memang kesetaraan merupakan hal yang tak henti-hentinya
diserukan oleh kaum muslim Afrika Selatan dalam menggempur politik
Apartheid, namun dalam satu sisi berkenaan dengan HAM, ia tidak
sepenuhnya sepakat bahwa Islam telah memilikinya sebelum
dideklarasikan oleh Barat. Ia mengkritisi ulama-ulama untuk tidak
mengaku-ngaku kepada Barat bahwa Islam telah memiliki konsep HAM
dengan berkata: “jika anda pikir itu berharga, maka kami sudah
memilikinya sejak dulu”. Ann Elizabeth Mayer menyatakan bahwa HAM
masih memiliki ambiguitas dengan Islam. Hal tersebut karena HAM
dikhawatirkan menjadi alasan bagi manusia untuk bertindak bebas tanpa
batas.1
Dari sini seolah-olah HAM menjadi hal baru yang mencoba mendobrak
batasan-batasan norma yang sudah ditanamkan Islam sejak dulu.
Berbeda dengan masih rancunya konsep
HAM, konsep kesetaraan sebagai misi kemanusiaan menjadi hal yang
lebih bisa diterima dan disepakati oleh kalangan muslim bahwa Islam
telah memiliki dasar-dasarnya sendiri. Prinsip kesetaraan juga sesuai
dengan tradisi Islam sebagai agama yang moderat yang memiliki ummat
yang moderat pula أمة
وسط . Ajaran
tentang kesetaraan dan anti diskriminasi ini menjadi serangkaian
program pembebasan masyarakat tertindas yang semenjak dulu sudah
diperjuangkan. Farid Esack mengilustrasikan betapa perjuangan tentang
penegakan kesetaraan di Afrika telah banyak diwarnai dengan tinta dan
darah.2
Semua pengorbanan tersebut rela diberikan demi terciptanya suatu
kesetaraan di antara manusia.
Sebenarnya konsep kesetaraan perlu
digali lebih dalam dengan mencoba memahami lebih jauh substansi dan
ide yang ada dalam simbol-simbol Islam. Simbol-simbol tersebut
seperti kain ihram, ka’bah, dan shaf sholat yang tidak hanya
memiliki nilai profan, namun juga memiliki nilai substansial tentang
kesetaraan. Bagi orang kaya maupun miskin akan menggunakan kain ihrom
yang sama, begitu pula bagi pejabat dan rakyat biasa. Semua orang
dari golongan apa pun berhak menempati shaf terdepan. Adanya ka’bah
menjadi simbol tersendiri tentang kesatuan umat dalam menyelaraskan
arah dan tujuan hidup.
Berkenaan dengan itu, Asghar dalam
pembahasan sebelumnya telah memaknai Tauhid dengan kesatuan manusia
(unity of mankind),
jika mengenang era klasik, seolah-olah gagasan Asghar ini mengulang
argument Ibnu Arabi pada abad VI hijriyah tentang wah}dah
al-wuju>d
yang mengajarkan
bahwa keesaan tuhan berada di dalam diri manusia.3
Menurut Ali Syari’ati, tujuan pokok segala hal adalah untuk
eksistensi manusia.4
Dari sini dapat difahami bahwa setiap praktek syariah vertikal yang
dilakukan manusia akan berimplikasi positif jika dapat berbuah pada
nilai humanistis horizontal. Kegiatan termasuk ritual ibadah memang
sering difahami dan dihayati sebagai bentuk penghambaan kepada tuhan,
namun seiring hal ini, Ritual yang sempurna adalah ritual yang tidak
hanya berorientasi pada dimensi vertikal, namun juga tercermin dan
berimbas pada nilai-nilai horizontal kemanusiaan.
1
Farid Esack, Sprektum Teologi Progresif
di Afrika Selatan dalam: Abdullahi
Ahmed an-Naim dkk., “Dekonstruksi Syariah II” (Yogyakarta: LKIS,
2009), 205.
2
Banyak tokoh yang meninggal dalam perjuangan menegakkan kesetaraan,
di antaranya adalah Abdullah Haroon yang memotori penyebaran ribuan
lembar deklarasi anti apharteid di Afrika Selatan pada tanggal 7 Mei
1961. Sebelum dibunuh ia di tahan selama empat bulan oleh polisi
keamanan. Farid Esack, Sprektum Teologi
Progresif di Afrika Selatan dalam:
Abdullahi Ahmed an-Naim dkk., “Dekonstruksi Syariah II”
(Yogyakarta: LKIS, 2009), 200.
No comments:
Post a Comment