Oleh: Muhammad Barir
Kesetaraan pendidikan merupakan hal
penting sebab kemajuan dan kesejahteraan tidak akan terjadi dengan
tanpa majunya pendidikan. Pentingnya pendidikan ini diakui secara
internasional sebagaimana dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia, Kesepakatan
Hak Sipil dan Politik 1966, Kesepakatan
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966, serta Kesepkatan
Hak Anak 1989. Van Beuren berargumen bahwa keempat peraturan tersebut
dibangun atas dasar bahwa hak atas pendidikan merupakan hak asasi
manusia yang fundamental dan eksistensinya tidak dapat dikurangi
dalam kondisi apapun (non
derogable right).
Pendidikan merupakan sarana dasar bagi pengembangan manusia. hal ini
sesuai dengan deklarasi tentang hak atas pembangunan bahwa pendidikan
merupakan prasyarat bagi terciptanya pembangunan ekonomi, sosial, dan
budaya.1
Dari semua argument ini, pendidikan
di mata dunia internasional dianggap penting, namun yang terjadi
adalah masih seringnya didapati kesempatan pendidikan yang tidak
dapat dirasakan
oleh semua
rakyat secara merata.
Walau masih banyak celah yang harus ditutupi, namun program
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia sudah mulai diperhatikan.
Berbagai program pemerintah dan institusi di luar pemerintah sudah
mulai berjalan dari mulai program wajib belajar sembilan tahun,
program beasiswa, sampai program posdaya. Walaupun program ini masih
menyisahkan beragam permasalahan, pemerintah harus terus berupaya
dalam menuntaskan apa yang menjadi tugas berikutnya tentang upaya
agar pendidikan tersebut bisa tersetarakan karena banyak
wilayah-wilayah yang kualitas pendidikanya kurang dan bahkan beberapa
di antaranya tidak tersentuh pendidikan.
Selain permasalahan di atas, Saat ini
orientasi pendidikan telah bergeser berpegang dari selera masyarakat
industri dan selera pasar (market
society). Di sini
praktik pendidikan diibaratkan layaknya pasar yang di dalamnya
terdapat jual-beli antara penyelenggara/sekolah dengan siswa/orang
tua siswa.2
Pendidikan yang seharusnya berorientasi pada pembangunan karakter
dan pembangunan intelektualitas beralih kepada dunia komersil untuk
diperjual-belikan. Pada akhirnya, jika kualitas pendidikan ditentukan
oleh harga, maka hal ini tentu saja akan semakin mendiskriminasi dan
memperjauh orang-orang miskin untuk mendapatkan kualitas pendidikan
yang baik.
Al-Qur’an
telah mengajarkan manusia untuk tidak melihat kondisi dan status
seseorang yang ingin mencari ilmu sebagaimana asbab an-Nuzul QS.
‘Abasa (80): 1-16, tentang Abdullah ibn Ummi Maktum yang walau
tidak memiliki derajat sosial, namun usahanya dalam mencari ilmu dan
petunjuk sangat dihargai oleh Allah dengan mengabadikan kisahnya
dalam surat tersebut. Al-Quran
juga telah menanamkan kesetaraan keadilan antara yang kaya dengan
yang miskin
(QS. An-Nisa [4]: 135), kemudian al-Qur’an juga melarang sifat
egoisme dengan melarang menguasai kenikmatan untuk diri sendiri, ayat
kanz
(Q.S. at-Taubah [9]: 34-35), selain itu, al-Quran juga menganjurkan
agar manusia yang kurang beruntung bisa diberi kesempatan untuk turut
merasakan karunia Allah (QS.
An-Nahl
[16]:71).
Dari
kesemuanya, Pendidikan bukanlah praktek jual-beli, namun pendidikan
adalah upaya pengabdian. Guru bukanlah profesi, namun pengabdi
masyarakat. Gaji
guru
tidak
sama dengan upah,
namun bentuk apresiasi dan penghargaan pemerintah dan masyarakat atas
pengabdian yang dilakukan olehnya.
Pemerintah yang tahu balas budi adalah pemerintah yang memedulikan
nasip guru dengan menjamin kesejahteraanya.
1
Deny Slamet Pribadi, “Kajian Hak Asasi Manusia untuk Meningkatkan
Pemenuhan Hak Anak atas Pendidikan”,
dalam Risalah Hukum Unmul, vol. 3 ,
2007. Hlm. 46.
2
Ali Usman, “Orang Miskin Wajib Sekolah”,
dalam Media Indonesia, 12 Maret 2012. Hlm. 21.
No comments:
Post a Comment