Muhammad Barir
A. Biografi Muhammad Abid al-Jabiri
Negeri
Maghrib yang kini meliput negara Maroko, Aljazair, dan Tunisia merupakan negara
yang perah menjadi negara protektoriat Perancis, setelah merdeka Maroko
mengenal bahasa resmi, yakni bahasa arab dan perancis, dengan masuknya negara
ini, tidak hanya memberi pengaruh gerakan fisik namun juga memicu munculnya
pemikiran-pemikiran terutama pemikiran Modernis, salah satu tokoh yang lahir di
tengah kondisi inii adalah Muhammad Abid al-Jabiri.
Muhammad
Abid al-Jaberi lahir pad tanggal 27 Desember 1953 di Firguig Maroko tenggara[1].
Menenai Tahun lahir ini dalam keterangan lain disebut secara berbeda yakni
1936.[2] Ia
tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mendukung partai Istiqlal sebuah
pertain pejuang kemerdekaan dari penjajahan colonial Perancis dan Spanyol. Ia
mengenyam pendidikan pertamanya di madrasah Hurratul Wathaniyah (sekolah swasta
Nasionalis) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951 dampai
1953 ia belajar di sekolah lanjutan pemerintah di Casablanca, setelah Maroko
merdeka, ia melanjutkan studinya di perguruan tinggi setingat diploma pada
seklah tinggi Arab bidang ilmu pengetahuan (Science Section).
Sebelum
bergulat di dunia akademis, Ia juga memeliki pengalaman politik bersama dengan
Mehdi B. Barka seorang pemimpin sayap kiri yang kemudian bersamanya ia mendirikan
Union National des forces Populaires (UNFP) yang kemudian berganti nama menjadi
Union Sosialeste Des Forces Populairesi (USFP), Mehdi menyarankan agar ia
menjadi Humas parta Istiqlal. di tengah padatnya politik yang dijalaninya, pada
tahun 1959 ia memulai studi Filsafat di Universitas Damaskus Syiriya setahun kemudian ia memulai studinya di
Universitas Rabat yag beru didirikan. Ia dan kawan-kawanya di UNFP dijebloskan
ke penjara bulan juli1964 atas tuduhan konspirsi melawan negara. Namun pada tuhun
itu juga ia dikeluarkan dari penjara sekeluar dari penjara ia aktif mengajar di
Universitas lanjutan. Pada tahuj 1967 ia menyelesaikan pendidikanya dan
kemudian mengajar di Universitas of Muhammad V Rabat. Seluruh pendidikan
formalnya diselesaikan tahun 1970 dengan menyandang gelar doctor.
Kondsi
sosial masyarakat di Mesir saat itu sedang dalam goncangan dimana bangsa Arab
harus merasakan penjajahan dan harus mengakui kekalahan dengan Israil dan mulai
menyadari tentang keterbalikan posisi yang mereka alami dengan masa dimana
Islam menjadi pusat pengetahuan menjadi cerminan kemajuan dunia. Saa itu
seiring dengan munculnya kesadaran akan ketertinggalan dunia Islam, pemikir
muslim terpecah menjadi dua kubu ekstrim antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran
modernis, namun Abid al-Jabiri mencoba memosisikan pada islam jalan tengah
dengan bersifat eklektis.
Al-Jabiri
adalah seorang pakar Filsafat di dunia Arab Kontemporer, dia termasuk kelompok
elit yang mengamati tradisi Filasafat klasik sehingga dapat merumuskan dan
menyelami filsafat klasik itu secara hidup.[3] Perkenalan
Abed al-Jabiri dengan dunia pemikiran filsafat dimulai dengan kanalnya ia
terhadap pemikiran perancis bermula semenjak ia masih kuliyah di Universitas of Muhammad V Rabat di Maroko sekitar
decade 1950-an, saat pemkiran Marxisme berkembang pesat di dunia Arab. Dan ia
sendiri saat itu tumbuh sebagaimana—yang dia akui sendiri—sebagai pengagum
Marxisme, namun kekaguman ini kian teerkikis saat ia membaca karya Yves Lacoste
tentang Ibn Khaldun. Filsafat adalah hal yang membangun pemikiran abid
al-Jabiri tidak heran jika ia banyak mengunggulkan akal dalam pemikiranya,
kekaguman terhadap filsafat ini juga terlihat dengan kekagumanya atas Ibnu
Rusyd seorang tokoh filsafat Islam yang hidup di era keemasan pemikiran dan
pengetahuan Andalusia.
Al-Jabiri
banyak menyusun karya dibidang ilmiyah di antaranya ialah tulisan rutinnya di
beberapa harian ternama di Timur Tengah seperti al-Syarq al-Ausath. Ia
juga sering mengisi seminar baik di Timur tengah dan Eropa. Ia dalam seminar
bahkan pernah berada dalam satu forum dengan Syaikhuna Allamah K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) dan Fatimah Mernisi di Berlin Jerman dalam tema Civil
Society in the Muslim World.
Karya
beliau banyak yang telah terbit namun juga ada yang belum diterbitkan di
antaranya ialah sebagaimana yang disebut di atas yakni harian timur tengah al-Syarq
al-Ausath, ia juga menulis tentang pemikiran Ibn Khaldun dalam karyanya Fikru
Ibn Khaldun, Ashobiyah wa ad-Daulah karya ini ditulis 1971. Beliau juga
melakukan kritik atas pendidikan dimaroko dalam bukunya adlwa ala Musykil
at-Ta’lim tulisan ini ia tulis tahun 1973. Ia jiga meluncurkan dua
jilid buku epistemology ilmu pengetahuan yakni Madkhol ila falsafah al-Ulum
(pengantar filsafat ilmu), dan banyak buku lainya, dan buku yang menjadi
magnum opusnya ialah Naqd al-aql al-Aroby kehebohan karya ini
sampai-sampai membuat jurnal ilmiyah al-Mustaqbal al-Araby menganggap karya ini
sebagai perestroika (perombakan) Arab karena berani membongkar epistemology
yang telah mapan.
B. Redefinisi
al-Qur’an
Kata
القرأن
( al-Qur’an ) yang disandarkan pada kitab yang
diturunkan pada rosulullah telah banyak memunculkan ragam definisi dan
pengartian ileh para ulama, diantaranya ada yang memaknainya sebagai kata yang
tersendiri yang memang disematkan kepada al-Qur’an dan tidak memiliki makna
tertentu. Namun Abid al-Jabiri tidak sepakat dengan argument tersebut, ia lebih
menganggap al-Qur’an adalah lebih ssuai jika dimaknai secara bahasa dengan
“membaca”, lebih memilih kata membaca daripada mengumpulkan dengan menyertakan
dasar surat al-Alaq. Mungkin diasumsikan bahwa al-jabiri ingin menekankan bahwa
al-Qur’an harus terus dibaca dalam arti diplajari jangan sampai dibiarkan.
Namun secara lbih spesifik aljabiri mmiliki pendapat tersndiri mengenai
definisi al-Qur’an.
Abid al-Jabiri mendefinisikan al-Qur’an
sebagai “kitab yang diwahyukan oleh Allah mlalui Jibril kpada nabi Muhammad SAW
dengan lisan Arab dan meneruskan kitab-kitab terdahulu
(asy-syu’ara [26]:196).”[4]
Dari definisi tersebut seolah al-Qur’an memang turun pada setting tempat dan
waktu bangsa Arab namun juga turun adalah bentuk dari penerus dan penyempurna
kitab-kitab sebelumnya dan untuk rohmat bagi semua pengikut Nabi Muhammad SAW
dimasa sesudah nabi dimanapun berada. Jadi bahasa arab hanyalah sebagai
pelantara. Oleh karena ia sebagai pelantara maka kajian historis dan
normatifitas bahasa sangat penting. Namun lebih rinci ada tiga poin dari
definisi al-Jabiri atas al-Qur’an, pertama, al-Qur’an bukanlah sama-sekali
baru, namun merupakan penerus dari kitab sebelumnya yang menunjukan kontinuitas
seruan tuhan, kedua, bahwa ia tetap merupakan pristiwa ruhani, dan ketiga,
al-Qur’an menjadikan pembawanya sebagai mungdzir atau orang yang selalu “mengingatkan”
atas haq dan batil.
C. NALAR
BURHANI DAN BAYANI SEBAGAI SUMBER
Salah
satu teori yang coba dieksploitasi oleh Abid al-Jabiri ialah ialah sistem
pengetahuan Bangsa Arab. hal ini dilakukan adalah sebagai proses landasan dasar
dari kerangka pemikiranya atas aspek akar historisitas tradisi Arab pra Islam.
Masyarakat
Arab dalam bingkai kesejarahanya hidup dan berkembang dengan budaya
mistisimenya walaupun telah dikenal dan diketahui bahwa bangsa ini telah banyak
memiliki para nabi dan rosul namun tetap saja budaya tersebut tidak bisa
terlepas dari akar nalar bangsa Arab. Keadaan ini sampai pada akhirnya
disimbolkan dalam sebuah kata yakni “Jahiliyah” yang merepresentasikan keadaan
moralitas dan intelektualitas bangsa ini dan untuk itulah dimungkinkan menjadi
sebuah alasan dipilihnya bangsa ini sebagai tempat Islam yang dibawa nabi
Muhammad diajarkan.
Ada
tiga sitem yang mewarnai pemikiran Arab Islam. Ketiga system ini yang nantinya
akan ada korelasi dengan proses dinamika bagaimana al-Qur’an dibaca dan
disalurkan. Dikatakan sebagai Arab Islam karena disitu nanti Islam juga berdiri
sebagai pembentuk pemikiran tidak terbentuk dari pemikiran dalam ranah Islam
Nabi terdahulu. Ketiga sistem tersebut adalah Bayani, Irfani, dan Burhani.
Pertama,
Nalar Bayani atau yang dikenal dengan berfikir untuk mencapai pengetahuan atau
nilai adalah dengan berpedoman suatu teks atau bahasa. Budaya Arab dengan sistem
kebahasaanya yang unggul mendorong terciptanya karakter masyarakat yang
menggebu dalam berlomba-lomba berkarya dengan sastranya dan pada saatnya
Al-Qur’an Hadir dengan bahasa yang menakjubkan, ia turut serta dalam khazanah
kebudayaan Arab ini.
Al-Qur’an
memiliki sisi dimana ia bisa dikaji dengan metode Bayani yang menurut Herder
(1733-1803) bahasa bukan sekedar alat untuk berfikir, namun model yang darinya
pemikiran akan terbentuk, karena masyarakat bertutur sebagaimana mereka
berfikir dan masyarakat berfikir sebagaimana mereka bertutur. [5]
Posisi al-Qur’an walau memiliki kerangka sintagmasi dan nilai stilistika yang
berbeda dengan bahasa Arab yang biasa dioralkan dalam syair ataupun dialektika
sehari-hari masyarakat Arab, namun al-Qur’an tetaplah menggunakan bahasa Arab,
dan untuk memahaminya maka pengetahuan Bahasa Arab adalah wajib sebagai pintu
gerbang dalam memasuki ruang nilai yang terkandung di dalamnya.
Menurut
Abid al-Jabiri, memahami al-Qur’an tidak bisa dengan pengalihan bahasa lain,
karena tidak mungkin suatu teks dialihbahasakan tanpa mengalami perubahan. Dan
jika al-Qur’an dialih bahasakan, bukanlah dianggap sebagai al-Qur’an, karena
cakupan makna suatu kosa kata akan sangat tereduksi oleh satu pilihan makna,
padahal satu kosa kata al-Qur’an terkadang memiliki bisa lebih dari satu makna.
Kedua,
Nalar Burhani, nalar ini mewarnai pemikiran arab semenjak di utusnya para
Rasul. Nalar ini memposisikan akal sebagai alat untuk menggapai nilai atau
pengetahuan. Dalam kesejarahanya nalar ini sering berseberangan dan dihambat
oleh nalar lain yakni Nalar Irfani dalam arti negative[6].
Bangsa Arab klasik merupakan bangsa yang kental nuansa sakralitas dengan budaya
paganismenya dan sikap ketergantungan pada benda-benda alam sebagaimana matahari
bintang untuk disembah. Karakter ini terbentuk dari kondisi geografis mereka sebagaimana
dijelaskan Harun Nasution bahwa kegersangan dan keganasan gurun pasir
membuatnya sering memposisikan upaya dibawah kapasrahan hidup atau sikap Jabary
dibawah sikap Qodary. Mereka lebih sering menggantungkan taqdirnya sebelum
berupaya dan akhirnya dipilihlah berhala-berhala untuk dijadikan sesembahan
inilah sikap Irfani Negatif. Dan Rasul pun diutus dengan membawa pesan wahyu
yang sejalan dengan akal. Serangan Burhani atas Irfani sebagaimana tergambar
dalam kisah nabi Ibrahim yang menghancurkan beberapa patung kecil dan membiarkan
patung besar, disitu ada dialog antara nabi Ibrohim yang menyatakan bahwa yang
menghancurkan patung-patung berhala kecil adalah patung berhala yang paling
besar dan ternyata disadari oleh orang kafir bahwa tidak mungkin patung bisa
menghancurkan.
kisah
nabi Ibrahim tersebut adalah gambaran bahwa wahyu datang adalah dengan nalar
Burhani dan untuk menghancurkan Nalar Irfani dalam arti Negatif yang dalam
al-Qur’an proses demitologi ini juga sering hadir berbentuk Tamtsil al-Haj 73,
al-A’raf 191. Dalam kacamata sejarah Dari nalar burhani ini muncul beberapa
ideology seperti mu’tazilah yang digagas Washil bin ato’ dan ideologi
Dhahiriyah yang dibawa Ibn Hazm al-Andalusi (784 H) yang menolak sama sekali Irasionalitas
dengan sikap demitologi yang menggebu.
Ketiga,
Nalar Irfani, nalar ini dalam arti negatif sering dituding sebagai aspek yang
bertanggungjawab atas ketertinggalan dunia Islam saat ini, nalar ini dianggap
sebagai nalar irasional dan melakukan penyingkiran akal dalam proses mencari
kebenaran.[7]
Percekcokan antara nalar Irfani dan Burhani terlihat dalam aspek sejarah Islam
dimana sejarah membuktikan bahwa dunia Islam maju ketika berpegangteguh dengan
nalar Burhani dan dunia Islam mengalami masa kemunduran ketika berkutat pada
nalar Irfani. Sebagaimana kemajuan disaat nalar Burhani menjadi pedoman dasar
di masa Abbasiyah.
Bangsa
Arab pra Islam ketika datang Rasul membawa ajaran yang Rasional setelah Rasul
wafat maka bangsa ini kembali dunia irasionalnya atau yang dikatakan Irfani
dalam arti negative, kemudian pada saatnya masyarakat Arab Pra Islam akan
kembali pada ajaran yang benar dengan diutusnya Rasul yang lain namun suatu
ketika kembali pada budaya irasionalnya dan diutus rasul lain sampai Nabi
Muhammad. Inilah gambaran bahwa Nalar Irfani sangat berpengaruh dalam dunia
Arab yang memang telah berjalan dari generasi ke generasi dan seolah sulit
untuk dilepaskan dan pada akhirnya muncul kesadaran tentang kesalahan budaya
ini dengan kekalahan dunia Arab Islam dengan Israel Yahudi.
Kesulitan
mencabut budaya irasional bangsa Arab menjadi kesulitan tersendiri dalam menanamkan
budaya berfikir yang diangap benar, untuk itu alMakmun Khalifah bani Abbasiyah
sampai-sampai berpolitik Irasional agar budaya berfikir falsafi bisa diterima
oleh bangsa arab saat itu, dimana ia menyatakan suatu malam bermimpi bertemu
dengan seseorang beralis yang menyambung dan bermuka merah yang menyebut
dirinya aristoteles dan menyatakan bahwa kebenaran bisa di peroleh dari Nash,
kemudian Ijma’, dan terakhir adalah dengan menggunakan akal.[8]
Mengenai
ayat-ayat yang Irasional tentang aqidah, adalah dapat dijelaskan dengan
mencermati kejadian alam. Ia menerima nalar Burhani dan Bayani. Penerimaan
nalar Bayani ini pada akhirnya yang menjadi dasar lahirnya teori al-Fashl bahwa
teks harus berbicara dengan dirinya sendiri dan penerimaan aljabiri terhadap
Nalar Burhani ini pada akhirnya melahirkan teori alwashl dimana seorang bisa
mendekati teks menggunakan akalnya dalam melakukan penafsiran.
D. METODE
PENAFSIRAN
Al-Fashl
dan al Washl sebuah teori untuk menjaga objektifitas teks yang digagas oleh
Abid al-Jabiri dimana teori ini bertujuan untuk menemukan antara kemurnian
kandungan teks dengan analisa dari pra-pemahaman seorang penafsir. Dalam
melakukan penafsiran, seorang penafsir harus membiarkanteks berbicara dengan
dirinya sendiri secara apa adanya. Baru kemudian di analisa dengan sepenuh
pemahaman penafsir dalam menentukan hakikat makna hal ini bertujuan agar teks
bisa difahami secara objektif.
Al-fash
dalam arti terpisah atau memisah dimaksudkan agar teks jangan sampai tercampuri
kemurnianya dengan pemikiran dari luar teks, teks harus terpisah dengan
penafsir, teori ini memiliki beberapa metode pertama, pendekatan structural,
yang menjelaskan bahwa teks adalah keseluruhan yang dibentuk dari suatu
kesatuan yang konstan. Yang menunjukan bahwa teks tidak bisa berdiri sendiri
namun harus difahami secara menyeluruh dengan mempertimbangangkan hubunganya
dengan tekslainya, sebagaimana satu ayat al-Qur’an harus difahami siaq al-kalam
atau hubungan sintagmasinya atau munasabah dengan ayat lainya, kedua, analisis
Historis, dimana teori ini menjelaskan bahwa teks memiliki realitas konteks
maupun asbab an-Nuzul yang harus dicari guna menemukan maksud dan tujuan dari
pesan yang sebenarnya, ketiga, Kritik Ideologi, dimana teori ini adalah
sebagai pengingat bagi penafsir sebagaimana semangat al-fahsl,
dalam melakukan penafsiran, teks harus ditempatkan pada posisinya yang murni
tidak terikat oleh suatu tendensi apapun.
Al-Washl
merupakan teori yang digunakan dalam menganalisa teks sesaat sebelumnya seorang
penafsir memisahkan diri agar teks berbicara dengan dirinya sendiri kemudian di
sinilah tugas penafsir dalam mengaitkan taks, Historisitas teks, dan sosiologis
teks masa turun al-Qur’an dengan kebutuhan masa ini.[9]
Akal burhani berperan penting dalam melakukan analisa dan proses memahami dan
menafsiri ayat al-Qur’an dengan segenap pengetahuanya dalam berijtihad.
[1]
Dwi Haryono,
“Hermeneutika
al-Qur’an Abid al-Jabiri” dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits,
(Yogyakarta: Elsaq. 2010) Hlm. 86.
[2] Abrori, “Studi
Komparasi Muhammad Abed al-Jabiri dan Mohammad Arkoun”, Skripsi fakultas
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003. Hlm. 56.
[3]
Abrori, “Studi
Komparasi Muhammad Abed al-Jabiri dan Mohammad Arkoun”, Skripsi fakultas
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003. Hlm. 57
[4]
Dwi Haryono,
“Hermeneutika
al-Qur’an Abid al-Jabiri” dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits,
(Yogyakarta: Elsaq. 2010) Hlm. 92-93.
[5] Muhammad Abid
al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) hlm. 224.
[6] Nalar Irfani bisa
dipisah menjadi “nalar Irfani dalam arti negative” yakni proses pencarian
kebenaran dengan instuisi yang Irasional. Kedua “Nalar irfani dalam arti
positif” sebagaimana dikemukakan al-Kindi bahwa Nalar Irfani bisa diterima
karena dia merupakan hasil dari proses berfikir secara burhani. Sebagaimana
penjelasan abid al-Jabiri tentang keesaan tuhan yang walau Irasional namun
dapat dijelaskan dengan akal dengan melihat adanya bukti kauniyah .
[7] Ibid. 232.
[8] Muhammad Abid
al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) hlm. 365.
[9]
Dwi Haryono,
“Hermeneutika
al-Qur’an Abid al-Jabiri” dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits,
(Yogyakarta: Elsaq. 2010) Hlm. 100.
No comments:
Post a Comment