A.
Pendahuluan
Relasi sosial adalah suatu hal yang
menjadi kebutuhan hidup manusia modern, dalam kehidupan sosial, masyarakat
berhubungan satu sama lain untuk sekedar memperluas pertemanan atau karena ada
tendensi untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan, sampai pada akhirnya, relasi
sosial pun menjadi tebang pilih, dalam meakukan relasi, manusia seringkali
mempertimbangkan apa untung-ruginya hal tersebut dilakukan. Manusia seringkali
tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan untuk itu manusia mencari
relasi, nelayan misalnya, akan mencari nasi dari petani sebagai lauknya untuk
makan, begitu pula petani akan mencari ikan dari nelayan sebagai pelengkap
nasinya, budaya barter tradisional tersebut pada akhirnya berkembang menjadi
relasi saling bantu membantu antar manusia dalam hal yang lebih sensitif
seperti ekonomi dan kedudukan politik. Hal tersebut terkait dengan relasi Patron-Klain.
B.
Definisi
Pelras (1981, dalam Layn: 2008, 45)
menguraikan arti bahasa dari hubungan patron dan klien. Menurutnya, “patron”
berasal dari kata “patronus” yang berarti “bangsawan”, sementara “klien”
berasal dari kata “clien” yang berarti pengikut.[1] Mengenai definisi secara istilah, patron-klian para tokoh
seringkali berbeda pendapat, ada sosiolog yang menyamakanya patron-klain dengan
faham paternalism, dan patriarkal ada pula yang membedakan,[2]
Salah satu tokoh yang banyak berbicara mengenai patron-klain adalah James C. Scott,
ia mendefinisikan patron-klain sebagai suatu hubungan antara dua orang yang
melibatkan jalinan pertemanan, dimana seorang yang lebih tinggi kedudukanya (Patron) memberikan perlindugan
kepada bawahan (Klain) dan bawahan pada akhirnya juga turut membalas budi
dengan dukungan dan tenaga.[3]
Namun patron-Klain tidak bisa disamakan dengan pertemanan karena sistemnya yang
mengenal atasan dan bawahan. Antara melindungi dan mematuhi, selain itu
patron-klain juga tidak sama denga perbudakan karena mengedepankan saling
memberikeuntungan.
C.
Unsur-unsur
Patron-Klain
Dalam relasi Ptron-Klien ada beberapa unsur yang menjadi cirri khas
dari bentuk relasi ini yakni sebagai berikut:
1.
Bertujuan
saling memenuhi kebutuhan
Sebagaimana yang dijelaskan dalam definisi bahwa relasi patron-klain
lebih mengarah pada pertemanan yang dijalin karena saling melengkapi kebutuhan
bukan melalui dasar paksaan dan mungkin hal ini yang membedakan dengan perbudakan.
Walaupun terkadang ada rasa kurang berkenan namun itu harus dilakukan karena tuntutan
kebutuhan dan balas jasa. Selama patron masih bisa bermanfaat bagi klain
ataupun sebaliknya, maka hubungan pun masih akan terjalin.
2.
Adanya
balas budi secara timbal balik
Dari hubungan Patron-Klain, yang diuntungkan tidak hanya dari pihak
patron namun juga keduanya, Klain akan mendapat perlindungan dan bantuan
materil karena patron yang menguasai sumberdaya, sedangkan klain akan
memberikan dukungan, kepatuhan, dan apa pun yang bisa ia lakukan.
3.
Hubungan
Secara Tatap Muka
Hubungan yang terjadi antara patron dengan Klain tidak terjadi
secara sekejap atau tiba-tiba, namun benar-benar terjalin karena rasa saling
kenal, dari kenal kemudian menjadi sebuah rasa saling percaya dan hal atersebut
bisa difahami dari hubungan tatap muka yang intens.
4.
Antara
Patron dengan Klain harus memberi keuntungan yang ekuifalen secara luwes
Maksud dari ekuifalen disini ialah bahwa antara Patron dengan klain
harus memberi keuntungan yang setara secara subtansial, dalam arti ukuran
sesuatu yang diberikan patron kepada klain atau sebaliknya tidak harus sama
secara kwantitas. Yang lebih penting adalah keduanya sama-sama membutuhkan hal
tersebut. Seperti halnya orang kaya yang memberikan uang pada klain dan klain memberikan
tenaganya kepada patron. Antara uang dan tenaga tidak bisa diukur secara
material, karena tenaga bersifat abstrak sedangkan uang bersifat material yang
bisa dihitung. Inilah yang disebut hubungan timbal balik secara ekuifalen.
Setara dan Sama adalah dua istilah yang mirip namun tetap berbeda, para
ahli sosial seringkali mengistilahkan perbedaan tersebut dengan ekuifalen dan
homeomorfis. Goldner seorang sosiologi mengemukakan bahwa ekufalen adalah keseimbangan
yang tidak bisa diukur atau dikadar namun dirasa cukup adil jadi ekuifalen
adalah berbeda namun setara. Sedangkan homeomorfis (Homeomorphic reciprosity)
adalah keuntungan yang bisa ditakar nilainya.[4]
Jadi nilai ekuifalensi yang ada pada hubungan patron-klain lebih bersifat luwes
dan tidak terikat. selain itu ekuifalensi lebih mengedepankan tolok ukur rasa
dari pada logika.
D.
Keterikatan
Klien terhadap Patron
Dalam hubunganya, antara patron dengan klain memiliki hak dan
kewajiban yang tidak sama, dan hal inilah yang mengakibatkan kedudukan yang
berbeda antara patron dengan klain. Secara sepihak petron akan memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari klain, karena patron memiliki otoritas, dan
otorits tersebut didapat karena patron yang menguasai sumberdaya, sering kali
hal ini lah yang pada akhirnya menjadikan subordinasi pada klain yang merasa
lebih inferior.
[1] Dimas Adi Putra,
“Patron-Klain”, dalam www.Iesdepedia.com,
diakses tanggal 7 Mei 2013.
[2] Mengenai perbedaan
pendapat ini lihat dan bandingkan teori patonalism dengan patron-klain dalam Nicholas
Abercrombie dkk., Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
Hlm. 404, 407..
[3] Hedi Shri
Ahimsa Putra, Minawang: Patron-Klain di Sulawesi Selatan (Yogyakarta:
Gadjah Mada Unversity Press, 1988), hlm. 2.
[4] Lihat Hedi Shri
Ahimsa Putra, Minawang: Patron-Klain di Sulawesi Selatan (Yogyakarta:
Gadjah Mada Unversity Press, 1988), hlm. 5-6.
No comments:
Post a Comment