Terkadang Mimpi Lebih Indah dari Kenyataan
Muhammad Barir
~
Butiran
 embun menjadi saksi akan hadirku di depan pintu sebuah rumah kecil, 
duduk di atas kursi kayu memanjang sambil menatap dedaunan yang 
kelihatan menguning tersinari mentari pagi yang mulai muncul dari 
sela-sela gunung. Ku tatap beberapa sahabatku datang dengan membawa 
motor dan jaket cukup tebal dengan helem dan segala perlengkapan yang 
menempel di sekujur badan mereka, peralatan tersebut seolah berkata 
kepadaku bahwa mereka akan pergi melakukan perjalanan cukup jauh.
Oh,
 ternyata benar dugaan ku bahwa mereka ingin mengajak ku sedikit 
menikmati alam raya ini, menyusuri beberapa tempat yang mungkin akan 
sangat menyenangkan bagiku yang tergolong jarang keluar rumah. Aku pun 
mulai bersiap, bergegas mngambil sabun dan handuk, meloncati sela-sela 
ruangan menuju kamar mandi sederhana di belakang rumah. 
Cepat
 aku mandi, dan tak sadar, aku sudah berada di atas jog sepeda yang 
mulai melaju menjauhi rumah ku, ku lihat dari jauh rumah ber cat warna 
biru itu semakin menjauh dan semakin menjauh dan ketika telah lenyap 
dari pandangan ku, barulah aku palingkan wajah ku ke depan dengan 
diiringi angin yang menerpa membelai rambutku.
Banyak pertanyaan yang muncul di dalam kepalaku apa peristiwa yang nantinya akan ku alami?
~
Sepeda
 motor kami mulai meraung-raung memasuki area hutan yang cukup lebat 
menuju arah timur desa, jalanan naik turun menjelaskan bahwa daerah itu 
merupakan pegunungan, udara sejuk langsung menerjang wajah, merasuki 
kulit dan menyusup sampai ke dalam tulang merontokan seribu satu macam 
kotoran dan beban pikiran yang selama ini melekat disekujur badan, 
betapa nikmat udara ini andai kau rasakan wahai sobat,,, pohon di sini 
terasa berbeda dibandingkan dengan kebiasaan daerah lain, pohon cemara 
banyak tumbuh dan menghijau dengan batang coklat kehitaman, di tempat 
lain sering kali lebih banyak ditumbuhi pohon jati yang selain sebagai 
paru-paru bumi juga sebagai lahan infestasi.
Perjalanan
 kami berlalu terasa cepat, sempat kami beristirahat beberapa saat untuk
 menghapus dahaga sampai akhirnya, perjalanan pun kami teruskan menembus
 gunung menuju nuansa yang sedikit lebih berbeda. Kami mulai memasuki 
sebuah daerah yang asing bagi ku sebdiri, di daerah ini rumah-rumah 
memiliki tempat luas untuk dijadikan halaman. jalananya pun lebar dan 
bersih, ku lihat beberapa orang berjalan menyusuri trotoar samping 
jalan, ku pandangi mereka yang sedikit berbeda dengan kami, oh, ternyata
 daerah ini adalah daerah yang dihuni oleh etnis tionghoa, belum selesai
 mata ku memandangi keistimewaan daerah ini, pandanganku ditakjubkan 
dengan pintu gerbang yang besar dengan tinggi sekitar sepuluh meter dan 
panjang sekitar dua puluhan meter.
Tempat
 ini lah tujuan pertama kami, tempat ini terlihat tidak begitu ramai, 
beberapa orang berjualan di kanan-kiri berjajar ber shof-shof di dalam 
gerbang yang menghadap ke barat itu, Di depanku sudah berdiri kokoh anak
 tangga yang disusun dari batu yang mungkin umurnya sudah ratusan tahun,
 anak tangga ini kelihatan indah dan megah, namun tak sekedar indah, ia 
juga cukup membantu untuk menaiki gunung yang ada di depan kami. Kami 
pun menaiki anak tangga itu satu persatu, dengan canda gurau dan di 
beberapa temapat kami beraksi menggambil gambar ya katakanlah untuk 
dokumentasi dan kenang-kenangan.
Sampai
 pada akhirnya, sampailah kami di anak tangga terakhir dengan cukup 
lelah dan rasa ngilu di kaki, kami pun berdiri di bawah pintu gerbang 
kedua di ketinggian sebuah gunung dan tanpa ku sadari bahwa di depan ku 
telah penuh beberapa orang bercengkerama, dan banyak pula pedagang yang 
berjualan dengan disertai penyalaan kembang api dan petasan, pertunjukan
 barongsai pun semakin melengkapi semarak perayaan di pagi itu yang 
sedikit mendung.
Nuansa
 di atas sangat berbeda jauh dengan nuansa di bawah yang sangat sepi, 
tempat ini seperti lapangan luas yang memanjang, pohon cemara yang tidak
 terlalu tinggi tertata rapi berjajar mengikuti panjang area temapat 
itu, bangunan-bangunanya khas tioghoa. ku mulai masuk kedalam kerumunan 
orang di tempat itu berjalan ke sana kemari, melihat beberapa kekhasan 
budaya yang baru ku kenal, dan tanpa tersadar, ku kehilangan teman-teman
 ku.
“kemana
 teman-teman”, kata itulah yang menjadi dzikir dalam pikiranku, Lama ku 
cari mereka tiada ada yang ku temui, usaha yang ku lakukan semua 
sia-sia, mulai dari Tanya sampai menyusuri tiap sudut tempat itu, sampai
 akhirnya ku putuskan untuk menuruni tangga yang tadinya susah-payah ku 
daki namun ternyata, motor teman-temanku telah sirna bersama 
pengemudinya bagai di sapu badai. Beribu pertanyaan menggelayuti pikiran
 ku meremas urat nadiku sampai akhirnya keringat pun tak tertahan mulai 
bercucuran, ku tak tahu kemana ku kan kembali, ku tak tahu jalan pulang,
 ku ingin pulang.
~
 Ku
 terus meratapi nasibku, dalam kebingungan, ku putuskan untuk 
meninggalkan tempat itu menyusuri jalanan aspal memulai sebuah 
perjalanan baru dalam kesendirian, di tengah derasnya hujan, terus 
memperhatikan beberapa papan kayu yang tak bercat, satu papan pun tak 
mau ku lewatkan, barang kali ku bisa mendapat petunjuk arah dari papan 
tersebut. Jalanan pun semakin basah, apa lagi baju ini yang hanya 
merupakan rajutan kain dan benang.
Kususuri
 terus jalanan itu dengang mengikuti sebuah naluri yang ku percaya, 
bahkan lebih ku percaya daripada teman-teman yang telah meninggalkanku. 
Ku terus menapaki langkah ini, sebuah langkah hijau, 
Sore
 ini, adalah hari ke empat puluh perjalananku, ku masih berjalan di 
tengah hutan, namun yang mau ku cerikan hai sobat, andai engkau tahu, 
bahwa hutan ini ialah batas terakhir, ku mulai merasakan nuansa yang 
berbeda, suara ini tersa tak asing, suara desir ombak mulai terdengar, 
ku keluar hutan dan memasuki dunia lautan, ku tatap pantai yang 
kelihatan menguning karena terpaan sinar matahari di sore hari, laut 
nampaknya dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mencari mata 
pencaharian, hal ini bisa ku ketahui dengan banyaknya petak-petak tambak
 disekitar laut ini, ku terus berjalan menyusuri lahan pertambakan yang 
saat ini tampak kering, petani hanya memanfatkannya untuk mengolah air 
laut mnjadi garam, ku terus mengikuti jalan sampai akhirnya deretan 
pertambakan pun berganti menjadi deretan persawahan, ya,, ku mulai 
menjauh dari laut, 
Senja
 pun tiba, ku duduk di salah satu gubuk kayu di tengah persawahan, ku 
buka kantong lusuh ini dan ku ambil sebutir buah apel yang ku dapat dari
 hasil mengemis di sebuah toko pinggir desa pagi ini, ku makan buah 
tersebut seraya memandangi lahan persawahan yang nampak diselimuti kabut
 yang memerah terkena cahaya sinar senja, ku iri dengan capug-capung 
yang beterbangan dengan bebas bersama-sama menikmati kehidupan, terbang 
melewati sela-sela padi dan menembus kabut yang kemerahan dengan 
bahagia.
Adzan
 magrib mulai ku dengar, namun ku tak ingat berapa lama ku telah 
meninggalkan sholat karena kemarahanku pada tuhan yang memberiku takdir 
seperti ini. Ku terus langkahkan kaki, dan sampailah aku malam ini di 
sebuah bukit yang diriku tak tahu apa yang ada dibaliknya, “siapa dia” 
batin ku berbicara tat kala aku melihat sosok anak kecil yang 
menghampiriku, menyeretku, ku berjalan sedikit berlari mengikuti anak 
kecil yang menggenggam keras tangan ku, sampai akhirnya kami pun tiba di
 puncak bukit tersebut dan dibaliknya ku melihat,,     inilah desaku.   Dan ku pun terbangun dan ini hanyalah mimpi..
 

 
like this story :)
ReplyDelete:) andai ku bisa
ReplyDelete