Oleh:
Muhammad Barir*
Diskriminasi dalam kasus Buruh dan
perbudakan merupakan isu klasik namun tak pernah usai. Kasus
penindasan Budak memang sejatinya telah tiada, namun pada hakikatnya
kasus ini tetaplah ada dalam jelmaan lain yakni diskriminasi terhadap
buruh. Kasus ini mewarnai beragam kasus lain yang muncul akibat imbas
pemisahan struktur masyarakat ke dalam Strata Sosial, padahal Asghar
Ali Engineer menyatakan bahwa “segala
bentuk penindasan, diskriminasi kulit, bangsa dan jenis kelamin,
penumpukan kekayaan dan pemusatan kekuasaan akan menciptakan kelas
sosio-ekonomi yang menindas”.1
Manusia dengan apapun profesi dan kedudukanya, ia tetaplah manusia
yang memiliki hak sebagai mahluk individu dan hak sebagai mahluk
sosial sehingga ia setara satu dengan yang lain. Dari beragamnya
permasalahan buruh dan perbudakan ini mengingatkan kita akan masih
adanya kesenjangan antara yang semestinya dengan fakta adanya. Hal
ini memperjelas terhadap pentingnya eksplorasi nilai-nilai yang
terkandung di dalam al-Qur’an sebagai kitab yang membimbing manusia
dalam menemukan jalan keluar atas segala permasalahan yang ada.
- Isu Buruh dan Perbudakan
Perbincangan seputar buruh dan
perbudakan tidak dapat dipisahkan dengan isu borjuis dan proletar
yang berkembang pada abad ke-19. Kata Borjuis berasal dari bahasa
Latin “Burgensis”
yang bersinonim dengan le
marchand yang
artinya adalah pedagang. Kaum borjuis sering disebut juga dengan
istilah kaum kota yang memperlihatkan dirinya sebagai penyedia modal
dan pemilik sumber daya. Arti borjuis menjadi lebih eksklusif yakni
sekelompok pengusaha yang tidak mau disejajarkan dengan bangsa
perancis yang kebanyakan adalah petani kemudian muncul istilah bourg
yakni kota dan dari
situlah masyarakat borjuis seringkali disebut masyarakat perkotaan,
sedangkan buruh
(Proletar) merupakan kelas pekerja sebagai bawahan kaum borjuis yang
mengolah sumber daya. 2
Adanya pemisahan kelas antara
masyarakat borjuis pemodal dengan masyarakat proletar pekerja
seringkali berbuntut tindak diskriminatif antar keduanya. tindakan
diskriminatif tersebut terjadi terkait permasalahan pembagian hasil
yang seringkali lebih menguntungkan pihak borjuis pemodal dan
menyengsarakan pihak pekerja. Adanya ketimpangan tersebut pada
momentumnya membangkitkan semangat beberapa tokoh untuk melakukan
perlawanan. Beberapa tokoh sentral yang mengisi perlawanan tersebut
adalah Karl Marx dan Frederick Engels.
Karl Marx banyak melakukan kritikan
terhadap para pemikir sebelumnya. Salah satu pemikiran yang ia
kritisi adalah pemikiran Adam Smith dan David Ricardo (1772-1832),
kedua tokoh ini meletakan dasar-dasar Labour
theory of value sebagai
jawaban atas pertanyaan: “Dari manakah datangnya nilai suatu barang
itu?”, menurutnya nilai suatu barang terletak pada jumlah “tenaga”
yang diperlukan untuk membuatnya”. Hal inilah yang dikritisi Marx
yang mempertanyakan jika yang menjadi tolok ukur nilai suatu barang
adalah tenaga, kenapa nilai tersebut tidak kembali pada tenaga kerja
dan malah lebih banyak dinikmati oleh para borjuis.3
Pandangan Marx, bahwa telah terjadi
ketimpangan antara borjuis (pemilik modal) dengan Proletar (buruh
pekerja) inilah yang menjadi isu sentral saat itu sampai turut
mengguncangkan pemerintahan.4
Pandangan Marx ini pada akhirnya mendapat dukungan dari tokoh lain,
yakni Frederick Engels. Marx dan Engels menggunakan segala kemampuan
dan waktunya untuk menyebarluaskan gagasanya tersebut. Gagasan ini ia
tuangkan dalam dunia politik dan dunia media saat itu, namun,
tulisan-tulisan mereka banyak diberedel oleh penguasa karena dianggap
berbahaya. Pada akhirnya tulisan-tulisan Marx dan Engels pun bisa
dibaca oleh masyarakat setelah berjuang cukup keras. Bahkan Engels
terus menulis tentang hak dan perlindungan kaum pekerja di hari-hari
sebelum ia wafat akibat penyakit yang dideritanya. Menurut Marx dan
Engels, dalam sistem Ekonomi, ketidaksetaraan keuntungan antara
borjuis dengan proletar memunculkan beberapa permasalahan. Dari
permasalahan-permsalahan tersebut Marx melahirkan tiga teori tentang
ekonomi yakni, Hukum Penimbunan Modal (Law
of Capitalist Accumulation),
Hukum Konsenterasi Modal (Law
of Concentration of Capital),
dan Hukum tentang Meningkatnya Kemiskinan (Law
of Increasing Miseary).5
Ketiga hukum itu lahir berdasarkan kejanggalan dan
permasalahan-permasalahan sistem kapitalis.
Kapital sebagai sebuah sistem ekonomi
memiliki berbagai permasalahan, salah satunya ialah tentang Nilai
Tenaga Kerja. Mengenai nilai pekerja, Frederick Engels menyatakan
tentang “teori kerja lebih”. Teori kerja lebih dimaksudkan
terhadap kerja lebih proletar yang menggantikan kerja borjuis.6
Teori Engels ini muncul dari gagasan Marx sebagaimana dalam
pembahasan sebelumnya, Marx menyatakan bahwa “jika yang menjadi
tolok ukur nilai suatu barang adalah tenaga, kenapa yang lebih
menikmati nilai tersebut malah pemodal?”.Dalam enam hari masa kerja
yang seharusnya waktu dibagi menjadi dua waktu kerja, tiga hari untuk
borjuis dan tiga hari untuk proletar, namun keenam hari kerja semua
dilakukan oleh proletar, jadi ada tiga hari kerja proletar yang
menggantikan kerja borjuis dan dengan demikian borjuis akan mendapat
upah tanpa bekerja. Sistem inilah yang tidak dapat diterima oleh kaum
buruh dan para cendekia saat itu.
Perjuangan kaum buruh dan para
cendekia ini terus berlanjut sampai pada tahun 1919 organisasi
perburuhan didirikan dengan nama ILO (International
Labour Organisation).
Organisasi ini mengatur hak-hak kaum buruh. Saat ini ILO telah
bergabung dengan PPB dan menjadi salah-satu organisasi dunia dalam
menaungi hak-hak pekerja internasional serta memberikan perlindungan
kepada mereka. Indonesia sendiri semenjak 12 Juli 1950 telah menjadi
anggotanya.
Dalam konteks Indonesia baru-baru
ini, gerakan buruh menjadi gerakan yang mulai berdiri dan tumbuh
semakin besar dan kuat, pada 1 Mei 2013, kaum buruh melakukan demo
besar-besaran yang membuat Ibu Kota dibanjiri lautan manusia, sejak
peristiwa itu, presiden Susilo Bambang Yudoyono menetapkan bahwa 1
Mei adalah Hari buruh. Kebangkitan kaum buruh Indonesia ini seolah
menjadi penegas bangkitnya gagasan Marx yang disadari oleh pekerja
saat ini yang dipicu banyaknya penindasan hak-hak kaum buruh.
Kebangkitan buruh di Indonsia sering
kali diidentikan dengan berbagai tindak kekerasan terhadap buruh.
Pada tahun 1993 terjadi sebuah kasus pembunuhan terhadap tokoh
penggerak kaum buruh Indonesia yakni Marsinah (lahir 1969). Marsinah
merupakan aktifis pejuang nasip buruh yang dibunuh pada
8 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan setelah hilang tiga hari di
gubuk petani dekat hutan Wilangan Nganjuk Jawa Timur dengan kondisi
sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kasus
ini masuk menjadi salah satu kasus perburuhan di ILO yang dikenal
sebagai kasus 1713. Hingga sekarang belum diketahui siapa pembunuh
Marsinah.7
Akhir-akhir ini, pada bulan mei 2013 kasus eksploitasi buruh kembali
terjadi terungkap kasus perbudakan di pabrik pembuatan panci di Bayur
Opak, Lebak Wangi, Kabupaten Tangerang.8
Kasus ini membangkitkan isu perbudakan yang telah lama mati.
Pada mulanya memang dari kasus-kasus
seperti inilah ILO didirikan, namun selain sebagai perlindungan hak
buruh, pada akhirnya ILO juga berperan sebagai payung para buruh
dengan memberikan ruang cukup luas baginya untuk menuangkan aspirasi
dan tuntutanya. Buruh sebagai manusia sampai saat ini terus berupaya
memperbaiki diri. Dengan perlindungan ILO mereka telah mulai berani
melakukan berbagai tuntutan mulai dari penghapusan kerja kontrak
sampai tuntutan upah minimum. Namun adanya perlindungan buruh oleh
badan Internasional seperti ILO ini terkadang disikapi berlebihan
oleh para buruh dengan melakukan tindak vandalis dengan perusakan.
- Buruh dan Perbudakan dalam Konteks Bangsa Arab
Buruh dan perbudakan pada masa Arab
jahiliyah sering kali identik dengan tindak diskriminatif. Seorang
budak menjadi masyarakat kelas kedua. Hal ini dikarenakan budaya
kesukuan dan kelompok bangsa Arab yang cenderung bersifat fanatik
terhadap golonganya. Fanatisme golongan ini mendorong sebuah kelompok
untuk menjaga kehormatan kelompoknya dengan menutup komunikasi dengan
kelompok yang dapat menodai mereka, termasuk bekas budak. Bagi
mereka, kawan dalam interaksi sangat menentukan status kelompok. Hal
ini menjadikan budak sebagai masyarakat yang tersisihkan.
Budaya Arab ini menjadikan posisi
budak sebagai pihak yang terdiskriminasi tidak hanya dengan
terpangkasnya hak-hak kemanusiaan mereka sebagai mahluk individu,
namun juga hak-hak mereka sebagai mahluk sosial. Karena status dan
kedudukan budak ini sangat terkait dengan budaya masyarakat Arab yang
berkelompok, maka perlu kiranya di sini diuraikan tentang beberapa
strata sosial yang ada dalam konteks masyarakat Arab.
Dalam konteks Arab, masyarakat
terpisah-pisah ke dalam berbagai kelompok dengan beragam faktor. Jika
menelusuri lebih jauh, ada tiga faktor utama terbentuknya
pengelompokan masyarakat Arab. Ketiga fakter tersebut yakni faktor
politik, ekonomi, dan ras (nasab).
Ketiganya sudah mengakar kuat jauh sebelum Islam datang, sehingga
permasalahan masyarakat Islam Arab ke dalam strata sosial ketika awal
dakwah Islam sudah sangat kompleks.
Kompleksnya permasalahan kesukuan ini
bisa dilihat dalam segi organisasi koloni. Bangsa Arab mengenal
berbagai istilah perkumpulan masyarakat. Perkumpulan yang terkecil
ialah masyarakat tenda yang disebut Hayy.
Dari perkumpulan
beberapa Hayy
membentuk komunitas
klan (qaum).
Dari perkumpulan klan membentuk suku (qabi>lah).
9
Istilah-istilah ini merupakan bentuk pola organisasi masyarakat
bangsa arab saat itu.
Tidak jauh berbeda dengan sudut
pandang organisasi masyarakat. Sebelum itu, jika dilihat dari segi
peradaban dan pemukimanya, bangsa Arab biasa dibagi dua istilah,
yakni H}ad}arah
(kota menetap) dan
Bada>wah
(nomaden baduwi).
Menurut Ibnu Khaldun pada mulanya bangsa Arab merupakan bangsa
nomaden yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain hanya
untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek mereka sehari-hari, sampai
akhirnya kebutuhan pun semakin meningkat dengan upaya mereka memenuhi
kebutuhan hidup jangka panjangnya, karena merasa dengan memanfaatkan
buruan dan tumbuhan tidaklah mencukupi kebutuhanya, maka mereka
memulai sistem produksi dengan berternak dan bertani.10
Bangsa Arab yang menetap pada akhirnya beranak-pinak dan mulai
mengalami penguatan ras yang sering mereka istilahkan dengan nasab.
Dalam segi nasab atau garis
keturunan, para sejarawan membagi Arab atas dua kelompok besar, yakni
arab Ba’
i>dah dan
Ba>qiyah,
kaum yang pertama merupakan bangsa arab klasik yang sudah punah
ketika Islam disyiarkan, seperti kaum ‘Ad da Tsamud sedangkan kaum
yang kedua terbagi menjadi dua yakni arab Aribah atau Qahthaniyah
Yamaniyah dan musta’ribah atau musta’ribah yang artinya bangsa
yang diarabkan.11
Sedangkan Ibn Khaldun menambah lagi dua golongan yakni Thobi’ah
atau golongan penerus seperti Aus, Khazraj di Madinah dan Quraisy di
Makkah dan yang kedua ialah Musta’jamah.
Dalam lingkungan hidup Nabi Muhammad
juga tidak lepas dari keterkotakan masyarakat ke dalam banu-banu
seperti banu Abdu Dar, dan Abdu Manaf. Keterkotakan ini sering kali
menimbulkan perselisihan sebagaimana perselisihan tentang penguasaan
pengelolaan ka’bah. Ka’bah yang turun-temurun secara berurutan
dikelola dari masa Ibrohim, Ismail, banu jurhum, kabilah Kahthan,
sampai Quraisy memunculkan berbagai perselisihan. Salah satu di
antara perselisihan-perselisihan tersebutlah yang terjadi pada saat
Abd Dar meninggal.
Saat Abu Dar meninggal, muncul
perebutan penguasaan Makkah antara banu Abdu Dar dengan banu Abdu
Manaf. Ada lima hal yang diperebutkan oleh para banu, yakni: Sikaya
(Pengelolaan Air), Rifada
(Perpajakan dan Penyantunan Masyarakat Miskin), liwa’
(Kebijakan Perang), h}ijabah
(Pemegang Kunci Ka’bah), dan Dar
an-Nadwa (Tempat
Perkumpulan). Pada akhirnya perselisihan ini berhenti seirng
pembagian pengelolaan kelima hal tersebut. Sikaya
dan rifada
jatuh ketangan Banu Abdu Manaf dan liwa,
h}ijabah,
dan
Dar an-Nadwa yang
jatuh pada Banu Abdu Dar.
Pada masa selanjutnya kepemimpinan
rifada
dan sikaya
dipegang Hasyim dan setelah Hasyim meninggal, terjadilah perselisihan
antara Muthalib dengan Umayyah. Perselisihan ini terus berlanjut
sampai akhirnya Air Zam-Zam berhasil ditemukan dan Abdul Muthalib
menjadi pengendali suku lainya.12
Banyaknya
perbedaan dan perselisihan inilah yang mengakibatkan Islam yang
walaupun menjadi agama kesatuan namun cukup sulit untuk menyatukan
para banu dengan pertikaian dan ego kepentinganya masing-masing.
Pertikaian dan
kompetisi golongan ini bahkan tercermin dari berhala-berhala sebagai
simbol beberapa suku, tiap suku Makkah biasanya memiliki berhalanya
masing-masing yang berbeda antara satu suku dengan suku lainya dan
masing-masing suku meletakkan berhalanya di sekitar ka’bah. Menurut
sejarawan, berhala-berhala ini sampai mencapai angka 360 lebih.13
Adanya fenomena berhala ini tentunya memperjelas tentang ego dan
fanatisme kesukuan sosial bangsa Arab yang kuat.
Jika melihat kilas balik kasus
perbudakan, bangsa Arab juga dikenal sebagai bangsa yang memiliki
prinsip kuat tentang status budak. Dalam Konteks Arab, Ketika terjadi
peperangan, harta dari pihak yang kalah akan dirampas dan tawanan
perang akan menjadi budak. Sejarawan tidak menjelaskan secara pasti
tentang kapan awal mula munculnya perbudakan, yang pasti sejak masa
nabi yusuf 1745-1635 SM,14
perbudakan dan perdagangan manusia telah terjadi.
Bagi budak yang telah merdeka, mereka
akan kesulitan diterima oleh masyarakat diakibatkan oleh kompetisi
antar kelompok sosial dalam menjaga kehormatanya. Selain itu, bangsa
Arab yang sudah memiliki struktur kelompok yang mengakar dari
masyarakat tenda sampai masyarakat besar semakin mempersulit budak
yang merdeka untuk masuk ke dalam susunan tersebut. sehingga, bagi
budak yang merdeka akan kesulitan mendapat status, walaupun mereka
tidaklah budak namun mereka juga tidak lah termasuk kelompok merdeka.
Kompleksnya
sistem kesukuan, politik, ekonomi, dan sistem religi bangsa Arab,
pada akhirnya diikuti dengan kompleksnya permasalahan kesukuan yang
menjadi buntut dari adanya stratifikasi sosial bangsa Arab.
Kondisi-kondisi inilah yang mengiringi turunya Al-Qur’an. Sebagai
wahyu ilahi, al-Qur’an karena memiliki ikatan kuat dengan budaya
bangsa Arab dengan permasalahan-permasalahan strata sosialnya, maka
al-Qur’an pastilah juga memuat berbagai nilai-nilai ilahiyah yang
berkaitan dengan solusi, respon, atau pandangan atas
permasalahan-permasalahan tersebut. Oleh karena urgensi al-Quran
sangat besar bagi terpecahnya masalah-masalah kesetaraan, maka
pencarian dan pengkajian ayat-ayat kesetaraan perlu dilakukan tidak
hanya dari sisi tekstual al-Qur’an, namun juga dari sisi konteks
sosio historis yang mengitari al-Qur’an.
- Pandangan al-Qur’an Terhadap Buruh dan Perbudakan
Ayat pertama: QS. An-Nahl
(16):71,
tentang Pengangkatan derajat budak, kisah Abu Dzar dengan seorang
budak.
وَاللَّهُ
فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي
الرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا
بِرَادِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ
أَفَبِنِعْمَةِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ
“Dan Allah
melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal
rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau
memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar
mereka sama
(merasakan)
rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?”15
QS. An-Nahl
(16):71
Kandungan Ayat:
Al-Alusi
menafsiri ayat tersebut dengan menceritakan tentang kisah Abu Dzar
dari Abu Bakar bin Abu Syaibah, Al Ma'rur bin Suwaid berkata, "Kami
pernah melewati Abu Dzar di Rabdzah, saat itu dia mengenakan kain
burdah, sebagaimana dia, budaknya juga mengenakan pakaian yang sama.
Kami lalu bertanya, "Wahai Abu Dzar, sekiranya kamu
menggabungkan dua kain burdah itu, tentu akan menjadi pakaian yang
lengkap." Kemudian Abu Dzar menyampaikan suatu hadis berkenaan
alasan mengapa ia berpakaian sama dengan budaknya:
"Rasulullah
pernah mengkritisi tindakan Abu Dzar yang membeda-bedakan kedudukan
kelompok dengan penghinaan ketika Abu Dzar tidak dapat menahan emosi
ketika sedang berdebat: "Wahai
Abu Dzar, sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat Jahiliyah, mereka
semua adalah saudara-saudaramu yang dijadikan Allah tunduk di bawah
kekuasaanmu. Oleh karena itu, berilah mereka makan sebagaimana yang
kamu makan, berilah mereka pakaian sebagaimana pakaian yang kamu
kenakan, dan janganlah kamu membebani mereka di luar kemampuannya.
Jika kamu memberikan beban kepada mereka, maka bantulah mereka,
Jika
kamu membebani sesuatu yang memberatkan bagi dirinya, hendaknya kamu
membantunya."16
Sabda Nabi
inilah yang membuat Abu Dzar sampai-sampai berusaha menyamakan
derajatnya dengan budak dengan mengenakan pakaian sebagaimana pakaian
budak dan Hadis ini juga menggambarkan dengan cukup jelas dan rinci
tentang nilai-nilai kesetaraan:
Pertama,
nilai persaudaraan "Wahai
Abu Dzar, sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat Jahiliyah, mereka
semua adalah saudara-saudaramu yang dijadikan Allah tunduk di bawah
kekuasaanmu.
Kedua, Nilai
Persamaan, “berilah
mereka makan sebagaimana yang kamu makan, berilah mereka pakaian
sebagaimana pakaian yang kamu kenakan,
ketiga,
nilai
kemanusiaan,
janganlah kamu membebani mereka di luar kemampuannya. Jika kamu
memberikan beban kepada mereka, maka bantulah mereka."
Dari sini jika
dilihat secara gelobal, nilai-nilai ayat datas yakni nilai
persaudaraan, nilai persamaan, dan nilai kemanusiaan. Menunjukan
ajaran baru yang tidak pernah diajarkan sebelum Islam. Ajaran
tersebut adalah tentang pengentasan perbudakan. Dalam keterangan lain
banyak kasus yang membuktikan bahwa Islam mencoba mengentaskan
perbudakan seperti penunjukan Billal bin Rabbah sebagai
muaz{in
sebuah posisi yang
tentunya diimpikan dan diidam-idamkan oleh siapapun pada masa itu
karena merupakan posisi yang penting dan memiliki nilai sejarah bagi
Islam, sedangkan Nabi lebih memilih seorang budak hitam untuk mengisi
posisi itu. Tindakan nabi ini tentunya teramat mencengangkan.
Hal itu merupakan salah satu dari
sekian banyak contoh bahwa Islam ingin mengentaskan budak dengan
mengikisnya sedikit-demi sedikit. Berkenaan dengan hal ini, beberapa
hukuman dalam ilmu fiqih juga dimodifikasi oleh Nabi dengan
sedemikian rupa seperti hukuman melakukan hubungan suami Istri di
saat berpuasa di bulan Ramadhan yang bagi pelanggarnya harus
memerdekakan budak sebagai opsi hukuman atas tindakanya. Satu hal
lagi yang menjadi bukti bahwa Islam anti perbudakan.
Ayat kedua: QS. Al-Hujurat (49):13,
tentang derajat manusia. kisah Abu Hind dan Bilal bin Rabbah.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ
مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.”17
QS. Al-Hujurat (49):13
Sebab Turun:
Menurut Abu Dawud, Ayat ini turun
berkenaan dengan Abu Hind seorang pembekam dan seorang mantan budak.
Nabi meminta kepada bani Bayadhah agar menikahkan salah satu putri
mereka dengan Abu Hind dan mereka enggan melaksanakanya karena Abu
Hind merupakan bekas budak mereka. Riwayat lain menjelaskan bahwa
usaid Ibn Abi al-Ish berkomentar ketika melihat Bilal Bin Rabbah
Adzan: “al-Hamdulillah..
ayahku wafat sebelum melihat hal ini” ada
lagi yang berkomentar “Apakah
Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk beradzan”.18
Kandungan Ayat:
Dari kasus ini jelas bahwa Islam
mencoba untuk menyetarakan kedudukan antara budak dengan masyarakat
biasa bahkan Islam memberi contoh tindakan nyata dengan menganjurkan
seorang budak bernama Abu Hind untuk menikah dengan mantan majikanya.
Hal ini belum pernah ada sebelumnya. Apa yang dilakukan Islam ini
merupakan bentuk degenerasi dalam memberangus budaya menjaga
kemurnian bangsa Arab yang terkesan menjunjung tinggi martabat dari
ras dan menolak kaum budak untuk masuk kedalam rasnya. Selain itu,
ayat ini juga menjelaskan keadaan Bilal bin Rabbah seorang budak dari
Ras hitam yang diangkat derajatnya oleh Islam dengan dipilihnya ia
menjadi seorang muaz{in
yang merupakan posisi yang tentunya sangat diidamkan oleh umat Islam
lainya. Hal ini menunjukan bahwa apapun baju profesinya manusia
tetaplah manusia yang sama satu dengan yang lain tanpa harus
didiskriminasi hak-haknya.
Dalam ayat di atas, dapat kita temui
istilah-istilah seperti Syu’bah
dan Qabi>lah.
Di luar kata yang digunakan dalam redaksi ayat tersebut, terdapat
istilah-istilah lain seperti ‘Ima>rah,
Batn, dan Fakhz|.
Kata Syu’bah
merupakan himpunan besar yang memayungi Qabilah.
Qabi>lah
memayungi kumpulan ‘Ima>rah.
‘Ima>rah
memayungi kelompok Batn.
Batn
memayungi Fakhz|,.19
Istilah-istilah tersebut menjelaskan runtutan kelompok dari
perkumpulan besar sampai kecil.
Antara ras satu dengan ras yang lain
seharusnya tidaklah berbeda dan untuk itu tidaklah layak suatu
pertikaian dengan alasan perbedaan ras. Ayat ini menjelaskan
kandunganya dengan khithab
يا
أيها الناس “wahai
umat Manusia” tidak
mengunakan khitab
ياإيها
المسلمون “wahai
orang-orang
Muslim”,
atau ياإيها
المؤمنون “wahai
orang-orang beriman”
dan seterusnya. Sehingga perintah persatuan adalah diperuntukan bagi
semua manusia tanpa terbatas agama, suku, bangsa, maupun rasnya.
Bertambah banyaknya ras seiring perubahan zaman merupakan hal yang
tidak dapat dihindarkan dan memang telah menjadi ketentuan Allah
dengan tujuan agar manusia saling kenal-mengenal dan saling
bersahabat, bukan saling bertengkar dan bertikai.20
Berkenaan dengan ini, Quraish Shihab dalam manafsirkan ayat di atas
mengemukakan riwayat Baihaqi berkenaan dengan peristiwa haji wada’
yang saat itu Rasulullah berpesan
“wahai
seluruh umat manusia sesungguhnya tuhan kamu Esa Ayah kamu satu,
tiada kelebihan antara orang Arab dengan non Arab, tidak juga non
Arab atas orang Arab, atau orang yang berkulit hitam atas orang yang
berkulit berwarna tidak pula sebaliknya kecuali dengan taqwanya.
Sesungguhnya
semuliya-muliya di antara kamu adalah yang paling bertaqwa”21
riwayat ini
semakin memper tegas argumen Asghar Ali Engineer tentang jati diri
manusia sebagai mahluq majmuk
(unity
of mankind).
Selain itu manusia yang berbeda-beda bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa merupakan tanda atau ayat akan kebesaran dan
kehebatan sang maha pencipta yang mampu menciptakan keragaman
tersebut sehingga perbedaan status tidak bisa dijadikan alasan
pertikaian dan diskriminasi.
Dari semua yang telah dilalui, Buruh
merupakan profesi yang dihargai oleh Islam sebagaimana setara dengan
profesi yang lain. Ketika waktu sholat berjamaah, siapa pun berhak
berada pada posisi s}af
terdepan tak terkecuali buruh, suatu pemandangan yang berbeda jika
dibandingkan ketika masa jahiliyah di mana semua posisi strategis
selalu diisi oleh kalangan ningrat. Selain itu, dalam ibadah haji,
semuanya baik buruh atau bangsawan melakukan ritual yang sama, dengan
kewajiban dan rukun yang sama, serta dengan dua carik kain yang sama.
Itu semua tidak hanya tanda namun merupakan sebuah simbol dari konsep
suci agama tuhan semesta alam yang anti diskriminasi.
kesetaraan merupakan nilai yang
diklaim oleh kalangan reformis sebagai nilai yang telah ada pada
Islam sebelum HAM di deklarasikan pada 10 Desember 1948. Menurut
Farid Esack, memang kesetaraan merupakan hal yang tak henti-hentinya
diserukan oleh kaum muslim Afrika Selatan dalam menggempur politik
Apartheid, namun dalam satu sisi berkenaan dengan HAM ia tidak
sepenuhnya sepakat bahwa Islam telah memilikinya sebelum
dideklarasikan oleh Barat. Ia mengkritisi ulama-ulama untuk tidak
mengaku-ngaku kepada Barat bahwa Islam telah memiliki HAM dengan
berkata: “jika anda pikir itu berharga, maka kami sudah memilikinya
sejak dulu. Ann Elizabeth Mayer menyatakan bahwa HAM masih memiliki
ambiguitas dengan Islam. Hal tersebut karena HAM dikhawatirkan
menjadi alasan bagi manusia untuk bertindak bebas tanpa batas.22
Dari sini seolah-olah HAM menjadi hal baru yang mencoba mendobrak
batasan-batasan norma yang sudah ditanamkan Islam sejak dulu.
Berbeda dengan masih rancunya konsep
HAM, konsep kesetaraan dan konsep anti diskriminasi menjadi hal yang
lebih bisa diterima dan disepakati oleh kalangan muslim. Program
kesetaraan dan anti diskriminasi ini menjadi serangkaian program
pembebasan masyarakat tertindas. Perjuangan tentang penegakan program
ini telah banyak diwarnai dengan tinta dan darah.23
semua pengorbanan tersebut rela diberikan demi terciptanya suatu
kesetaraan.
- Kesimpulan
Dalam isu buruh, ternyata saat ini
masih didapati beragam permasalahan baik permasalahan kemanusiaan,
maupun permasalahan material. Permasalahan tersebut banyak
meninggalkan pertanyaan tentang kapasitas al-Qur’an sebagai kitab
yang memberi rahmat seluruh alam. Banyak peneliti saat ini yang masih
yakin dengan memberi harapan besar kepada al-Qur’an bahwa di
dalamnya tidak hanya terdapat nilai legal spesifik, namun di dalamnya
juga terkandung nilai esensial ideal moral yang mengusung ajaran
ketentraman. Dari ketenteraman kolektif inilah manusia akan bisa
merasakan ketenteraman individu menjadi manusia yang memasuki dunia
silm al-kaffa>h.
sebuah istilah yang dibangun oleh Gus Dur ketika menafsiri surat
al-Baqarah ayat 208 sebagai “kedamaian yang sempurna”24
penafsiran Gus Dur ini berbeda dengan penafsiran lainya, silm
al-kaffa>h
tidak lagi ditafsiri dengan masuk pada agama Islam sepenuhnya, namun
lebih pada harapan agar manusia itu selalu damai.25
Isu buruh ini sebenarnya merupakan
serpihan-serpihan kasus yang serupa pada masa seblumnya yakni kasus
perbudakan. Al-Qur’an sendiri banyak memberi respon terhadap isu
ini sebagaimana dalam QS. An-Nahl
(16):71,
QS. Al-Hujurat (49):13. Ayat-ayat tersebut masih terkait langsung
dengan kisah bilal, kisah Abu Hind, dan kisah budak dari shohabat Abu
Dzar. Khusus mengenai kasus abu dzar ini rasulullah mengurai
nilai-nilai ideal moral al-Qur’an dalam hadisnya, yang poin-poinya
adalah:
Pertama,
nilai persaudaraan "Wahai
Abu Dzar, sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat Jahiliyah, mereka
semua adalah saudara-saudaramu yang dijadikan Allah tunduk di bawah
kekuasaanmu.
Kedua, Nilai
Persamaan, “berilah
mereka makan sebagaimana yang kamu makan, berilah mereka pakaian
sebagaimana pakaian yang kamu kenakan,
ketiga,
nilai
kemanusiaan,
janganlah kamu membebani mereka di luar kemampuannya. Jika kamu
memberikan beban kepada mereka, maka bantulah mereka.
Selain kisah
Abu Dzar, kisah lain adalah kisah penghargaan Islam terhadap Bilal
bin Rabbah, yang dulu tertolak namun kemudian diangkat oleh Islam
sebagai seorang yang berdiri di atas ka’bah sebagai muadzin. Islam
banyak mengajarkan nilai-nilai kesetaraan dengan memberikan
simbol-simbol dalam tindak keseharian pemeluknya. Simbol tersebut
terletak dalam kain ihram, shaf sholat, zakat, kewajiban puasa, dan
puncaknya ada dalam pemaknaan tauhid sebagai kesadaran akan keesaan
tuhan dan kesatuan manusia sebagai mahluk majmuk (unity
of mankind).26
Walau kini buruh telah memiliki
payung perlindungan seperti ILO namun tidaklah tepat tindakan
berlebih buruh yang menuntut hal yang tidak sewajarnya berkenaan
dengan UMP sedangkan diluar sana masih ada kasus-kasus lain yang
lebih penting untuk diperjuangkan bagi kalangan buruh seperti
penyiksaan pembantu rumah tangga, dan pengangkatan derajat kaum
marginal yang menurut penulis lebih tepat untuk diperjuangkan sebelum
memperjuangkan hal lainya. Hal ini memang diluar kewajiban buruh
namun masih masih berkaitan dalam nilai kemanusiaan yang mendasari
lahirnya hak buruh itu sendiri.
2 Lubna
Sungkar, “Perang Golongan Borjuis pada Tahun 1789”, jurnal
Sejarah Citra Lekha, Vol. XI, No. 1,
Februari 2007, Hlm. 62.
3
Atang Abdul Hakim, dan Beni Ahmad Saebani,
Filsafat
Umum: dari Metologi sampai Teofilosof
(Bandung: Pustaka Setia, 2008) Hlm. 383.
4
Ketakutan pemerintah saat itu terhadap ajaran Marx mengakibatkan
diberedelnya Koran Rheinich Zeitung tempat Marx bekerja sebagai
redaktur. Marx juga sampai dibuang ke Brussels (Belgia), kemudian ke
Paris, dibuang ke Jerman, dan ke Paris lagi sebelum ia dibuang untuk
terakhir kalinya ke London Inggris. Di Inggris dalam penderitaan
yang teramat berat inilah ia menulis butir-butir pemikiranya dalam
karya monumental bertajuk Das Capital
sebelum ia meninggal 1883. Lihat: Atang Abdul Hakim, dan Beni Ahmad
Saebani, Filsafat
Umum: dari Metologi sampai Teofilosof
(Bandung: Pustaka Setia, 2008) Hlm. 383.
5
Atang Abdul Hakim, dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat
Umum: dari Metologi sampai Teofilosof
(Bandung: Pustaka Setia, 2008) Hlm. 383.
6
Lihat Frederick Engels, Tentang das
capital, terj. Oey Hay Djoen (Oey’s
Renaissance, 2007), hlm. 6.
8 Kartono,
“Hanya di Zaman SBY Ada Perbudakan”, dalam
http://kompasiana.com,
diakses tanggal 10 Mei 2013.
14
Syahruddin el-Fikri, Situs-Situs dalam
al-Qur’an: dari Banjir Nuh hingga Bukit Thursina
(Jakarta: Republika, 2010), Hlm. 37.
17 QS.
Al-Hujurat (49): 13, al-Qur’an dan Terjemahnya, Hadits Web 3.0,
2006.
22
Farid Esack, Sprektum Teologi Progresif
di Afrika Selatan dalam: Abdullahi
Ahmed an-Naim dkk., “Dekonstruksi Syariah II” (Yogyakarta: LKIS,
2009), 205.
23
Banyak tokoh yang meninggal dalam perjuangan menegakkan kesetaraan,
di antaranya adalah Abdullah Haroon yang memotori penyebaran ribuan
lembar deklarasi anti apharteid di Afrika Selatan pada tanggal 7 Mei
1961. Sebelum dibunuh ia di tahan selama empat bulan oleh polisi
keamanan. Farid Esack, Sprektum Teologi
Progresif di Afrika Selatan dalam:
Abdullahi Ahmed an-Naim dkk., “Dekonstruksi Syariah II”
(Yogyakarta: LKIS, 2009), 200.
25
Jika dicermati lebih dalam,
pernyataan K.H. Abdurrahman Wahid ini sesuai dengan penafsiran
Fazlur Rahman, bahwa kata s-l-m
memiliki arti, Aman, utuh, dan integral. Menurutnya kata s-l-m
dengan bentuk mashdar silm
memiliki arti “damai” QS. al-Baqarah [2]:208, bentuk salam
memiliki makna “utuh” QS. Az-Zumar [39]:29, dan mashdar
mengikuti bentuk madhi aslama
– islam
yang biasanya diikuti dengan lillah
memiliki makna menyerahkan dalam arti “berserah-pada Allah”lihat
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS,
2012), hlm. 236.
No comments:
Post a Comment