Trilogy anak tangga terakhir
Oleh: Muhammad Barier
Ruangan Sang Kiyai
Pagi ini udara terlalu sejuk untuk sekedar menggetarkan tubuhku
yang hanya terbungkus baju tipis agak usang ini. Aku duduk di sebuah batu halus
berwarna hitam agak besar, mencoba memandangi nuansa sekitar yang masih gelap
karena matahari masih terlelap di ufuk timur.
Setelah cukup lama, matahari pun muncul dari celah perbukitan
mencoba memberikan kehangatan bagi alam, menyapa segenap mahluk hidup di jagad
ini. Aku sendiri di pagi ini serasa memiliki semangat baru untuk terus
melangkahkan kaki ku dalam perjalanan ini. Aku mulai berdiri dari batu hitam
yang sedari tadi bersamaku dan aku mulai melangkah pergi meninggalkanya.
~
Suasana pagi hari ini didominasi warna biru dan hijau, hijau dan
biru, biru dan hijau, warna itu saja yang sedari tadi tertangkap oleh kedua
bola mataku. Aku berjalan dengan merasa nyaman, ya,, pagi ini adalah pagi yang
cerah. Ku terus berjalan sampai akhirnya aku melintasi sebuah kali besar yang
di kanan kirinya terdapat bendungan yang tinggi dan agak lebar sehingga orang
bisa berjalan di atasnya, bendungan ini pun tinggi kira-kira setinggi rumah. Ku
mencoba melintasi bendungan itu berjalan searah air mengalir.
Ku terus berjalan di atas bendungan itu sampai akhirnya ku melihat
anak tangga kecil dan beberapa perumahan di bawah dan aku pun turun, beberapa
orang nampak olehku dengan kesibukanya masing-masing, seperti orang yang
melintas barusan, seorang paruh baya yang sedang membopong hasil ia mencari
rumput, maupun ibu-ibu di seberang jalan yang nampak sedang menjemur pakaian,
ya,, biarlah semua orang larut dalam kesibukanya.
Ku terus berjalan sampai ku keluar dari perkampungan dan ku
memasuki hutan bambu, ku lihat bambu di sini adalah bambu yang bagus dan
tinggi, warna hijaunya seolah turut mewarnai hatiku untuk tenang dan suara
denyitannya seolah bernyanyi untuk menyambut kehadiran ku. Sampai akhirnya
langit yang sedari tadi cerah berubah mendung karena hadirnya awan.
Saat Ku keluar dari hutan bambu, ku menemukan beberapa tambak
penduduk, ku berjalan di jalanan tanah sempit pembatas tambak dan Hujan pun
turun dari langit menetesi daun eceng gondok yang banyak terapung di atas
permukaan air tambak itu. Ku berlari menari tempat berteduh dan akhirnya ku
temukan sebuah gubuk kecil. Ku mendekati gubuk itu dan ternyata di sana telah
duduk saorang anak kecil dengan seragam batik dan bercelana pendek, nampaknya
ia adalah anak yang juga bernasip sama denganku, ia hanya ingin berteduh dari
hujan ini. Nampaknya ia adalah anak yang baru pulang dari sekolah.
~
Cukup lama kami di tempat
itu, kami pun berbincang sedikit dan baru ku tahu ia adalah anak desa sebelah dan
ku juga tahu bahwa pasti orang tuanya cemas memikirkanya. Hujan tak menunjukan
bahwa ia akan berhenti, sampai akhirnya sore pun datang dan hujan pun sedikit
mereda. Ku antar anak itu pulang. Kami berjalan melewati jalanan becek
berlumpur. Ku copot sepatunya dan ku jinjingkan karena sering kali sepatu itu
menancap di tanah liat jalanan yang becek itu.
Kami akhirnya memasuki perkampungan anak itu, dan sampailah kami di
pintu gerbang sebuah pesantren, terpasang di papan sebuah tulisan Pesantren
Sabilul Anwar, kami pun disambut oleh seorang laki-laki yang ku rasa tak
terlalu tua dan seorang ibu-ibu yang ternyata adalah kedua orang tua anak tadi
dan ketika ku pamit ternyata mereka meminta ku dengan sangat untuk beristirahat sebentar di kediaman
mereka.
Ku dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan yang berkarpet dan di
kelilingi beberapa rak buku. Sang ibu terlihat masuk ke dapur dan tak lama
kembali lagi ke ruangan itu dengan membawa bebrapa sajian buah dan makanan,
anak tadi mengikuti di belakangnya dengan membawa gelas yang berisi air teh
yang ku tahu bahwa itu adalah teh ialah dari warnanya. Keduanya pergi hanya
meninggapkan aku dan sang ayah.
Aku pun berbincang dengan sang ayah yang ternyata pengasuh
pesantren Sabilul Anwar, ia atau kiyai Fukair adalah menantu dari pemilik
pesantren yang dulu yakni al maghfirah Kiyai Shomad, itu lah nama mertuanya. Ia
berjumpa pertama kali dengan kiyai shomad adalah di ruangan ini, jadi ruangan
ini ternyata punya nilai yang bersejarah baginya.
Pada awalnya kiyai Fukair dikampungnya adalah pemuda yang dikenal
nakal dan suka menganggu para gadis di desa, ia tobat karena ayah seorang gadis
yang pernah diganggunya melabrak ibunya dan ibunya semenjak itu sakit dan tak
lama kemudian meninggal karena memikirkan kelakuan anaknya. Fukair muda saat
itu tak tahu kalau ibunya meninggal karena ia sedang asik bersama
teman-temannya di tempat yang biasa ia jadikan tempat berkumpul sambil
menikmati kopi panas. Sampai akhirnya seorang kakek datang menggelandangnya
dari warung dan mendorongnya di tubuh ibunya yang tak bernyawa lagi. Semenjak
saat itu ia memutuskan untuk serius mensucikan dirinya dan bahkan ia akan
menundukan wajah di depan gadis yang melintas di sekitarnya. ya,, ia serius
akan taubatnya.
Ia mencoba berfikir jika ia benar-benar ingin mengenal tuhan maka
ia butuh washilah dan pengetahuan, untuk itu ia memilih untuk pergi nyantri di
sebuah pesantren, pesantren di tengah hutan jauh dari perkotaan dengan
lingkungan yang masih asri alamnya dan asri jiwa penduduknya. Sampai ia
menemukan pesantren itu Sabilul Anwar sebuah pesantren yang nantinya mengenalkanya
pada jalan menuju cahaya-cahaya kebenaran.
Saat itu ia hanya berharap tidak lain kepada kiyai, ia tidak mau
bertemu dan belajar kepada siapapun kecuali kepada sang kiyai, untuk itu ia
pergi ke ndalem kiyai tersebut dan mencarinya. Sebelumnya ia diperingatkan oleh
santri senior bahwa bagi seorang pemula harus terlebih dahulu belajar kepada
ustadz-ustadz muda, namun anjuran itu tak ia hiraukan.
Setelah ia bertemu kepada sang kiyai ia di ajak sang kiyai ke dalam
sebuah ruangan yang dikelilingi rak buku, dan saat iutlah ia menjelaskan bahwa
ia ingin diajar langsung oleh kiyai tersebut. Setelah mendengarkan keinginanya,
sang kiyai ternyata langsung berdiri dan pergi meninggalkanya di ruangan itu,
cukup lama ia sendiri menunggu sang kiyai tak kunjung datang, sampai malam pun
tiba, sang kiyai masih tak menampakan jati dirinya, ia tak tidur semalaman,
sampai pagi harinya ketika subuh ia pergi sholat dan kembali lagi ke tempat
itu, ia tak makan dan tak minum. Siang itu ia tertidur di ruangan itu, sedikit ia
membuka mata dan ternyata sang kiyai sedang menyentuhnya dan berkata
“bangun-bangun, sudah masuk waktu sholat dhuhur, ayo sholat dulu..!” setelah
membangunkanya, sang kiyai langsung pergi lagi dari ruangan itu, ia pun sholat
dan kembali keruangan itu, begitu seterusnya sampai tiga hari ia di sana dan di
hari ketiga, sang kiyai menemuinya dan memberinya makan karena telah tiga hari
ia tak makan.
Malamnya sang kiyai menyuruh santri itu memilih di antara deretan
kitab yang ada di rak untuk diserahkan padanya. Cukup aneh karena bagi sang
santri ia sama sekali buta huruf arab dan sama sekali merasa bahwa dunia
pesantren adalah dunia yang baru, ia hanya menatap sorot mata sang kiyai yang
seolah tahu tentang berbagai hal yang tak ia ketahui, ia kemudian mengambil
sembarang kitab untuk diserahkan pada sang kiyai.
Sang kiyai menyuruhnya untuk membeca satu baris, setelah ia hanya
bisa membaca tanpa tahu sama sekali artinya, sang kiyai tidaklah menyalahi
hasil bacaanya dan tidak pula menyuruhnya untuk mengartikanya, sang kiyai
langsung pergi meninggalkanya. Tiap hari sang santri hanya membaca satu baris
dan didengarkan sang kiyai, setelah selesai kiyai langsung pergi dan begitu
seterusnya.
Kisah ini berlanjut sampai suatu hari sang kiyai berhalangan hadir
untuk mengisi pengajian yang dihadiri santri senior, dan sang santri yang tidak
bisa apa-apa itu disuruh mewakilinya, sang santri semakin bingung atas ulah kiyainya
itu, tapi kembali, ia hanya melakukan dan tak banyak bertanya dan ternyata
dalam pengajian itu ia hanya membaca semua kitab tanpa mengartikanya. Ia merasa
gagal, namun para santri yang dia ajar merasa puas, karena dia telah bisa
membaca kitab yang tak berharokat, dan selama ini begitulah cara kiyai mengajar
tanpa mengartikan, sanri itu bisa meniru gaya sang kiyai mengajar dan tanpa ia
sadari ia telah bisa membaca kitab tanpa harokat, ia tak tahu dari mana ia bisa
membacanya.
Ruangan sang kiyai telah banyak memberikan warna di hidup santri
itu, tiap waktu ia habiskan hanya dengan buku dan sampai pada akhirnya seiring
berjalanya waktu, ia telah memakan habis isi semua buku yang ada diruangan itu
dan ia bisa memahami semuanya. Dan begitilah cara kiyai mengajarkan ilmunya
pada sang santri dengan tanpa berkata satu kalimat apa pun dengan izin tuhannya.
Suatu ketika sang kiyai berkata kepada santrinya bahwa ia telah
cukup usia untuk menikah dan bertanya kepadanya siapa wanita yang ingin ia
nikahi, dan ternyata di pesantren itu tak satu pun wanita yang ia kenal, selama
ini waktunya belajar tak menyisahkan hal lain termasuk berkenalan atau pun
sekedar menatap para gadis. Ia pun menyatakan bahwa ia rela dinikahkan dengan
siapa pun bahkan jika sang kiyai memerintahkan dengan seekor kera,, Saat itulah
sang kiyai merasa bahwa satu-satunya wanita yang pantas hidup dengan santri ini
ialah putri kesayangannya.
~
Itu merupakan sepenggal kisah perjalanan kiyai fukair dengan kiyai
shomad, pejuang keagamaan di daerah itu, dan aku pun tak tahu jika mereka
adalah orang yang sangat disegani, ribuan santri berdatangan baik dari sekitar
desa yang dekat maupun dari pulau seberang yang jauh.
Aku berpamitan dengan keluarga ini dan ku lanjutkan perjalananku
mencari sebuah tempat kembali, mencari rumah dimana ku dilahirkan.
No comments:
Post a Comment