oleh: Muhammad Barir
A.
Tahajjud:
Menurut Raghib al-Asfahani, هجد h-j-d dalam bentuk jama’ هجودbermakna bangun dari tidur أستيقظ-يقظ [1], Ibn Mandhur memaknai kata tersebut dengan
sahiro (سهر) yakni begadang tidak tidur dimalam hari,[2] berbeda dengan keduanya, Quraisyihab menjelaskan kata tahajjad
berasal dari hujud yang memiliki
makna “tidur” namun kata ini difahaminya secara berbeda dengan makna dasarnya,
walaupun kata hujud dimaknai tidur, namun kata ini secara relasional
telah memiliki makna yang khusus ketika ayat al-Qur’an datang sebagaimana
pendapat al-biqa’I bahwa kata ini dimaknainya sebagai meninggalkan tidur.[3] kata tahajjud dalam
al-Qur’an terdapat dalam surat al-Isra’ (17): 79[4]
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ
يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu
sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke
tempat yang terpuji.
Dalam
tafsir jalalain dijelaskan:
"فَتَهَجَّدْ" فَصَلِّ "بِهِ" بِالْقُرْآنِ "نَافِلَة
لَك"
فَرِيضَة
زَائِدَة لَك دُون أُمَّتك أَوْ فَضِيلَة عَلَى الصَّلَوَات الْمَفْرُوضَة[5]
Dari penjelasan di atas dapat
difahami bahwa kata "فَتَهَجَّدْ" dalam al-Qur’an tidak dimaknai dengan makna dasar, yakni
“bangun tidur”, namun kata tersebut lebih dimaknai dengan makna relasional
yakni “bangun tidur untuk sholat malam”
kata tahajjud yang dalam konteks
ayat tersebut dimaknai bangun tidur yang diwakili oleh kata "فَتَهَجَّدْ" dan tidak menggunakan kata أستيقظ , يقظ yang sama-sama memiliki makna bangun tidur, namun sebenarnya
kedua kata ini memiliki makna dan tempat penggunaanya masing-masing dan saling
memiliki perbedaan, karena tahajjada sebagaimana dikatakan oleh Ibn
Mandhur bermakna sahiro (سهر) yakni begadang tidak tidur dimalam hari,[6]
jadi bangun tidur yang dimaksud oleh term tahajjud adalah bangun di
malam hari sedangkan Istaiqaz{a lebih dipakai secara umum.
Kata tahajjud ternyata di dalam
al-Qur’an juga memiliki sinonimitas makna, yakni dengan redaksi نَاشِئَةَ (nasyi’ah).
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ
هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا
“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat
(untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan”.
Belum jelas mengenai perbedaan antara tahajjud
dengan nasyi’ah, namun sebagaimana dalam tafsir al-Qurtubi memaparkan
pernyataan Ali Ibn Husain (cicit Rasulullah). Ali Ibn Husain suatu ketika
melaksanakan sholat antara Maghrib dengan Isya’ kemudian ia
menyatakan bahwa apa yang ia lakukan adalah Nasyi’ah al-Lail.[7]
Jika melihat redaksi ayat, yang menyatakan bahwa nasyi’ah al-lail dapat
membuat “suasana batin lebih berkesan” (wa aqwamu qila) maka seolah
pernyataan Ali Ibn Husai terkesan lebih lemah sebagaimana sayyidah A’isyah yang
menyatakan bahwa nasyi’ah al-lail harus didahului tidur, namun argument
Ali Ibn Husain seolah sesuai dengan pendapat Ibn Abbas, Umar, dan Zubair bahwa
seluruh malam adalah nasyi’ah. sedangkan Ibn Mujahid membatasinya
sebagai sholat setelah isya’.[8]
Dari pemaknaan kata tahajjud mengenai perdebatan
tentang tahajjud, maka ada dua makna yang seolah sama namun menentukan.
Pertama, “bangun dari tidur” makna ini akan memunculkan pemahaman bahwa sholat
tahajjud harus dilakukan dengan syarat harus tidur terlebih dahulu, dan kedua,
sebagaimana pernyataan Ibn Mandzur bahwa tahajjud juga memiliki makna sahira
yang berarti “begadang”, dari sini bagi ulama yang meyakini makna tersebut
maka tahajjud bisa dimaknai boleh dilakukan tanpa tidur sebelumnya.
B.
Shadr
Shadr memiliki
beberapa makna, dalam lisan al-Arab, shadr memiliki salah satu makna
yakni bagian atas segala sesuatu, pedan sesuatu, dan permulaan sesuatu.[9] Sedangkan dalam bentuk
lain shudrah-shadr bermakna dada, shadara-yashduru-shadran/shadaran
bermakna kembali atau terjadi,[10]
Kata
Shadr terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 46 kali dengan rincian sebagai berikut:
يَصْدُرُ satu kali dalam
al-Zalzalah (99):6
يُصْدِرَ satu kali dalam
al-Qosshosh (28): 23
صَدْرًا satu kali dalam an-Nahl
(16): 106
صَدْرٌكَ empat kali al-A’raf (7):
2, Huud (11): 12, Al-Hijr (15): 97, Al-Insyirah (94): 1
صَدْرَهُ tiga kali
صَدْرِي dua kali
الصدور dua puluh kali
صدوركم empat kali
صدورهم sepuluh kali[11]
Berbagai Lafadz Shadr dalam al-Qur’an
1.
Shadr bermakna keluar
al-Zalzalah (99):6
يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ
Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam
keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan)
pekerjaan mereka.
Menurut
Ali as-Shobuni, proses Shadr adalah proses kembalinya mahluq-mahluq dari
proses Hisab menuju proses penerimaan shuhuf (buku catatan amal
perbuatan), apabila ia menerima dengan tangan kanan maka ia akan dimasukan
surga dan apabila ia menerima dengan tangan kanan, maka ia akan dimasukan
kedalam neraka. Proses shadr ini terjadi paska hisab untuk setelahnya
akan masuk pada proses mizan.
2.
Shadr bermakna pulang dalam hubungan kisah Nabi Musa ketika di sumber
mata air madyan
al-Qosshosh (28): 23
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ
النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا
خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ
كَبِيرٌ
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia
menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia
menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat
(ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?"
Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami),
sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami
adalah orang tua yang telah lanjut umurnya".
Ayat ini menjelaskan tentang kisah nabi musa
yang bertemu dengan dua wanita di mata air madyan yang tidak mampu meminumkan
air pada ternaknya sampai penggembala sebelum mereka selesai dan pulang.
3.
Shadr
bermakna dada yang hubunganya dengan simbol
An-Nahl (16): 106
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia
beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya azab yang besar.
Huud (11): 12
فَلَعَلَّكَ تَارِكٌ بَعْضَ مَا يُوحَى إِلَيْكَ وَضَائِقٌ بِهِ
صَدْرُكَ أَنْ يَقُولُوا لَوْلا أُنْزِلَ عَلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ جَاءَ مَعَهُ
مَلَكٌ إِنَّمَا أَنْتَ نَذِيرٌ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian
dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karena khawatir
bahwa mereka akan mengatakan: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya
perbendaharaan (kekayaan) atau datang bersama-sama dengan dia seorang
malaikat?" Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah
Pemelihara segala sesuatu.
Thoha (20): 25
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي
Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku
dadaku,
Menurut Ali ash-Shobuni yang dimaksud melapangkan dada adalah
meluaskan cahaya keimanan dan nubuwwah yang ada di dalamnya.
C.
Usr
Dalam
al-Qur’an kata Usr dengan akar katanya terdapat dalam 12 ayat sebagaimana
berikut:
Al-baqarah 185, Al-baqarah 280, At-taubah 117, Al-Kahfi 73,
Al-furqan 26, al-Qamar 8, ath-Thalaq 6, ath-Thalaq 7, mudatsir 9, al-Lail 10,
al-Insyrah 5, al-insyirah 6.[12]
Berbagaimakna Usr
1.
Bermakna
hari yang sulit (hari peperangan) at-Taubah 09:117
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ
وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا
كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi,
orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa
kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah
menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada mereka,
Maksud dari hari sulit tersebut ialah ketika perang, sebgaimana
asbab an-Nuzul dari ayat ini:
Imam Bukhari dan lain-lainnya meriwayatkan sebuah hadis melalui
Kaab bin Malik yang menceritakan, aku belum pernah ketinggalan dalam suatu
peperangan pun selalu bersama dengan Nabi saw. kecuali hanya dalam perang
Badar. Dan ketika perang Tabuk diserukan,
yaitu peperangan yang terakhir bagi Nabi saw. kemudian orang-orang diserukan
untuk berangkat ke medan perang dan seterusnya. Di dalam hadis ini terdapat
kata-kata: kemudian Allah menurunkan firman-Nya yang berkenaan dengan
penerimaan tobat kami, yaitu firman-Nya, "Sesungguhnya Allah telah
menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin..." (Q.S. At-Taubah 117) sampai
dengan firman-Nya, "Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Penerima tobat lagi
Maha Penyayang." (Q.S. At-Taubah 118) Dan diturunkan pula firman-Nya,
"Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang
yang benar." (Q.S. At-Taubah 119).[13]
2.
Usr
mempersulit persahabatan
قَالَ لا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي
عُسْرًا
Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena
kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam
urusanku".
Ayat ini menjelaskan permintaan nabi musa kepada
khidhir untuk bersabar dan mau menerimanya sebagai sahabat dan tidak
mempersulitnya sebagaimana dalam tafsir jalalain[14]:
(Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena
kelupaanku) yakni atas kealpaanku sehingga aku lupa bahwa aku harus menurutimu
dan tidak membantahmu (dan janganlah kamu membebani aku) memberikan beban
kepadaku (dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku)" kerepotan dalam
persahabatanku denganmu, atau dengan kata lain, perlakukanlah aku di dalam
berteman denganmu dengan penuh maaf dan lapang dada.
3.
Usr dengan pengulangan bermakna satu kesulitan sebagaimana dalam
surat al-Insyirah 94:5 dan 6:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan, sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan.
Penjelasan ayat ini sebagaimana penjelasan imam qurtubi
bahwa:
إِنَّ مِنْ عَادَة
الْعَرَب إِذَا ذَكَرُوا اِسْمًا مُعَرَّفًا ثُمَّ كَرَّرُوهُ , فَهُوَ هُوَ . وَإِذَا نَكَّرُوهُ ثُمَّ
كَرَّرُوهُ فَهُوَ غَيْره .
“sesungguhnya, dari kebiasaan arab bahwa jika suatu
isim ma’rifat diulang, maka isim yang diulang tersebut sama dengan asalnya
(bermakna satu), dan jika bentuk nakirah menunjukan sesuatu yang lain”
Maksud dari penjelasan tersebut adalah bahwa jika isim
makrifat diulang berarti pengulangan tersebut tidak berfungsi untuk
menaukiti, namun jika isim nakirah diulang menunjukan adanya pen-taukid-an.
Hal ini sebagaimana hadis qudsi dan hadis marfu’:
وَقَالَ اِبْن
عَبَّاس : يَقُول اللَّه تَعَالَى خَلَقْت عُسْرًا وَاحِدًا , وَخَلَقْت يُسْرَيْنِ , وَلَنْ
يَغْلِب عُسْر يُسْرَيْنِ . وَجَاءَ فِي الْحَدِيث عَنْ النَّبِيّ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي هَذِهِ السُّورَة : أَنَّهُ قَالَ : [ لَنْ يَغْلِب
عُسْر يُسْرَيْنِ ] . وَقَالَ اِبْن مَسْعُود : وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ,
لَوْ كَانَ الْعُسْر فِي حَجَر , لَطَلَبَهُ الْيُسْر حَتَّى يَدْخُل عَلَيْهِ
وَلَنْ يَغْلِب عُسْر يُسْرَيْنِ[15]
Ibn Abbas berkata: allah bersabda “aku menciptakan satu kesulitan
dan aku menciptakan dua kemudahan”. Dan hal
tersebut juga dijelaskan dalam hadis nabi SAW berkenaan dengan surat
tersebut [satu kesulitan tidak dapat mengalahkan dua kemudahan] dan ibn Masud
berkata: demi dzat yang diriku berada dalam genggamanya, ketika ada kesulitan
yang menghadang, maka carilah kemudahan yang ada padanya, sehingga engkau masuk
di dalamnya, dan tidak mungkin satu kesulitan mengalahkan kemudahan.
[1] Raghib
al-Asfahani, Mu’jam al-Mufradat li alfadh al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Fikr), hm. 534. Lihat pula Ibn Mandhur, Lisan al-Arab
jilid 7(Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2009), 527.
[2] Ibn Mandhur, Lisan
al-Arab jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2009), 529.
[3] Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hm 535.
[4]Muhammad Fuad
Abdul Baqi’, Mu’jam al-Mufahras li
alfadz al-Qur’an (Kairo: Dar al-Hadis, 2001), hlm. 822.
[5] Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin
al-Mahalli, Tafsir Jalalain (CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company,
2002)
[6] Ibn Mandhur, Lisan
al-Arab jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2009), 529.
[7] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah
vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hm 535.
[8] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir
(CD The Holy
Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002)
[9] Ibn Mandhur, Lisan
al-Arab, dalma maktabah syamilah
[10] Ahmad Warson Munawwir,
kamus al-Munawwir: Arab Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progresif 1997) hlm.
768.
[11] Muhammad Fuad Abdul Baqi’, Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an
(Kairo: Dar al-Hadis, 2001), hlm.
[12] Kata Usr
berdasarkan akar kata dalam CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International
Technology Company, 2002
[13] Asbab an-nuzul
at-Taubah 09:117 dalam CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology
Company, 2002
[14]Jalaluddin
as-suyuti dan jalaluddin al-Mahalli, tafsir
jalalain dalam CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology
Company, 2002
[15] Imam
al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, dalam CD The Holy Qur’an
0.8, Harf International Technology Company, 2002
No comments:
Post a Comment