response paper karya Fuad Jabali
Oleh : Muhammad Barir, S.Th.I
Oleh : Muhammad Barir, S.Th.I
Tentang
Penulis :
Fu'ad Jabali, mendapatkan gelar magister dalam
Masyarakat dan Kebudayaan Islam dari School of Oriental and African Studies
(SOAS), University of London, dan doktor dalam Sejarah Islam dari Institute
of Islamic Studies, McGill University. Sekarang dia mengajar Sejarah dan
Peradaban Islam di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Komentar Tokoh :
"Untuk mengikuti perpindahan para Sahabat
ke wilayah-wilayah urban yang baru ditaklukkan, Fu'ad Jabali tahu bahwa hanya
dari bahan-bahan yang muncul belakanganlah, jati diri para sahabat dapat
diungkap. Banyak motif menunggangi kepentingan mereka yang sangat disibukkan
oleh konsolidasi posisi kelompok dalam lingkungan ideologis yang bergolak,
sebuah sejarah yang benar-benar terjadi, yang terbebaskan dari seluruh praduga
teologi-politik"
-
Mohammed Arkoun -
[Profesor
Emerites Sejarah Pemikiran Islam, La Sarbonne (Paris III) Scientific Director
of the Magazine "ARABICA"]
Sahabat Nabi: Siapa, ke Mana, dan
Bagaimana?
Sejauh apa yang para cendekiawan asumsikan terhadap sahabat Nabi,
tidak banyak di antara mereka yang tergerak untuk mengkritisi dan malah secara taken
for granted menganggap kredibilitas sahabat telah final dan tidak perlu
dipertanyakan. Menjadi suatu hal yang terbilang cukup kritis, Fuad Jabali
berhasil melacak data sejarah yang berkaitan dengan para sahabat, mengumpulkan,
dan kemudian melakukan penyaringan dari buku-buku biografi (tara>jim) mulai dari abad ke-8 M hingga abad ke-14 M. Ia memerlukan waktu
dua tahun dengan membaca sekitar 14.000 literatur tentang Sahabat. Hasil dari apa
yang ia upayakan ini ternyata mendapatkan apresiasi yang besar dalam dunia
akademis, terlebih atas konstribusi data-data penelitian ini yang berhasil
menguak terhadap sejarah penyebaran hadis ke berbagai Negara termasuk Mesir,
Irak, Suriah, dan lain sebagainya dan menemukan data-data penting lainnya
tentang Sahabat yang sebelumnya sempat tercecer dan masih berserakan.
Buku yang juga diterbitkan di Belanda oleh EJ Brill Leiden
ini—meminjam bahasa Jalaluddin Rakhmad—telah membuka kembali diskusi seputar
kemuskilan sejarah Islam. Segera setelah membaca buku ini, kita akan merasa
dikagetkan dengan kenyataan bahwa fakta-fakta sejarah selama ini telah
ditutup-tutupi. Lebih mencengangkan lagi adalah bahwa aktor yang paling
bertanggung jawab dalam pemalingan sejarah adalah ahli hadis. Konsep Sahabat tidak
lagi didasarkan pada kedekatan spiritualitas, namun didasarkan atas kepentingan
sepihak bangunan tertentu. Menurut ahli hadis siapapun bisa menyandang gelar
sahabat tanpa peduli itu anak kecil, orang yang sudah lama masuk Islam, orang yang
masuk Islam karena terdesak, orang yang sudah lama bergaul dengan Nabi, maupun orang
yang hanya sedetik berpapasan dengan Nabi, siapa pun itu bisa menyandang
predikat sahabat. Karena kriteria seperti ini, tercatat ada 100.000 orang yang
diklaim sebagai Sahabat. Berangkat dari sinilah Fuad Jabali merasa
berkepentingan dalam mendefinisikan ulang konsep sahabat.
Membangun konsep Sahabat untuk era belakangan bukanlah suatu hal
yang tabu mengingat definisi Sahabat pun juga baru muncul pada abad ke-3
Hijriyah. Kebanyakan penulis telah meletakkan pena dan menutup bukunya dalam
masalah ini. Di luar hal tersebut Fuad Jabali memberanikan diri untuk mengupas
tuntas tema Sahabat. Secara lebih jauh ada tiga aspek yang menjadi fokus
perhatian dalam peneitiannya. 1. Pola hunian (pembagian wilayah hidup)
sahabat?, 2. Sikap Sahabat dalam peristiwa fitnah (pembunuhan Us|man hingga perang siffin), dan 3. Runtutan benang merah antara aliansi
politis dengan aliansi geografis.
Dari ketiga aspek tersebut, penelitian ini bisa dikatakan sebagai
model penelitian dengan pendekatan historiografi. Memadukan antara ilmu sejarah
dengan kajian wilayah meruakan hal yang penting. Hal ini pulalah yang pada
gilirannya akan mengantarkan pada terbukanya misteri-misteri yang selama ini
belum terungkap. Terlebih tentang pertanyaan mengapa Ali lebih memiliki
kedekatan dengan Sahabat yang bermukim di Irak?, kenapa tidak Bashrah atau
Kuffah?. Begitu pula pertanyaan kenapa Muawiyah memutuskan untuk tetap tinggal
di Suriah dan menjadikannya sebagai basis kekuasaan?. Bagaimana pengaruh
tempat-tempat tersebut dalam peristiwa terbunuhnya Us|man,
perang unta, dan perang Siffin. Hal inilah yang memunculkan asumsi adanya pengaruh
wilayah dalam aliansi perpolitikan masa itu.
Salah satu hal yang menarik adalah penggunaan sifat kuantitatif
dalam penelitian ini, penulis sangat detail dalam menjelaskan data meski
sebagaimana pernyataannya sendiri bahwa penelitian yang bersifat kuantitatif
dalam mencermati pola kategorisasi yang bersifat dinamis memiliki kelemahan
dalam menentukan pembagian dan penempatan obejek (dalam hal ini adalah Sahabat).
Seorang Sahabat tertentu seperti Mu’awiyah yang memiliki dua suku, yakni Saku>n dan sekaligus juga masih memiliki ikatan dengan suku Khaula>n akan masuk pada dua kategori, bagaimana kita akan memposisikan
Muawiyah dalam tabel?, apakah masuk pada tabel suku Saku>n?, atau masuk pada tabel suku Khaula>n?. di luar hal ini, penulis telah berhasil keluar dari masalah
tersebut dan berhasil menyusun beberapa kategori-kategori Sahabat secara
kuantitatif berdasarkan, kesukuan, aliansi politik, wilayah, dan populasi. Hal
ini pula yang dipuji oleh Jalaluddin Rakhmat dalam pengantarnya, bahwa penelitian
yang dilakukan oleh Fuad Jabali merupakan penelitian terbaik yang pernah ia
baca.
Telaah atas “Sahabat
Nabi: Siapa, ke Mana, dan Bagaimana?”
Mencoba menafsirkan judul yang dipoulerkan oleh penerbit Mizan,
terdapat tiga kata tanya yang menggambarkan keseluruhan aspek yang hendak
dikritisi oleh penulis (Fuad Jabali). Pertanyaan “siapa?” merepresentasikan
keresahan tentang konsep dan definisi Sahabat serta siapa saja sosok yang cukup
memiliki reputasi dan layak menyandang gelar tersebut?. Pertanyaan “ke mana?”
menjadi landasan penelusuran tentang penyebaran Sahabat dan pengaruh geografis.
Kemudian yang terakhir, pertanyaan “bagaimana?” menggambarkan tentang bagaimana
sikap dan sepakterjang Sahabat dalam arus perpolitikan masa itu, terlebih dalam
beberapa peristiwa besar seperti terbunuhnya Usman, Perang Jamal, dan Perang
Siffin?.
Tentang pertanyaan pertama, pendefinisian Sahabat tidaklah lepas
dari perdebatan antara Mu’tazilah dengan ahli hadis, Abu Zur’ah ar-Razi
menyatakan bahwa pengkritik sahabat adalah zindiq, sebaliknya, Mu’tazilah
sebagai ingkar as-sunnah tidak menganggap masalah mengkritisi Sahabat.
Jika menelusuri data dari sahabat terakhir yang masih hidup jauh setelah wafat
Rasul. Anas bin Malik pernah menyatakan bahawa dirinya merupakan Sahabat
terakhir yang masih hidup yang pernah “dekat” dengan Nabi. Hal ini berbeda
dengan pernyataan Abu at-T{ufail yang
mengklaim dirinya adalah sahabat terakhir yang pernah “melihat” Nabi. Lalu,
siapakah Sahabat? Apakah orang yang pernah dekat? Atau hanya sebatas orang yang
pernah melihat?. Ahli hadis secara sederhana memilih pada pernyataan kedua,
sedangkan salah satu pengikut Mu’tazilah yakni Abu al-H{usain (w 1044 M) secara lebih ketat membatasi Sahabat hanya
orang-oarang yang menyertai Nabi dalam waktu yang lama, mengikutinya, mengambil
hadis darinya, serta meletakkan dirinya dibawah otoritas Nabi.
Berangkat dari banyaknya variasi definisi Sahabat ini, memilih
salah satu di antaranya, atau bahkan menyusun ulang makna terbaik yang dapat
mendefinisikan konsep Sahabat merupakan hal yang cukup rumit, namun hal
tersebut perlu dilakukan karena mengkaji Sahabat tidak sebatas mengkaji gelar,
namun juga berhubungan dengan mengkaji konsep keadilannya (‘ada>lah as{-S{ah{a>bah).
Dalam bukunya, Fuad Jabali tidak secara eksplisit menjelaskan definisi Sahabat
yang ia pilih, namun secara tidak langsung ia telah memilih untuk mengarahkan
pembaca pada dilema tentang tidak semua orang yang semasa dengan Nabi merupakan
Sahabat atau tidak semua Sahabat merupakan orang yang adil.
Untuk menjawab pertanyaan kedua, pembagian Sahabat berdasarkan
wilayah geografis sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibn Sa’d yang pernah
menjadi juru tulis al-Waqidi merupakan
hal yang bagus. Hal ini pula yang kemudian menginspirasi Fud Jabali dalam mengikuti
jejak Ibn Sa’d. Secara lebih komprehensif, Fuad Jabali menyusun daftar tempat
hunian para sahabat. Ada empat wilayah pemukiman Sahabat yang ia kaji secara
intensif:
1.
Bashrah
Bashrah didirikan pada 635 M oleh Utbah bin Ghazwan atas perintah
Umar. Di Basrah, populasi sahabat mencapai 335 orang. 43 di antaranya tidak dapat
dilacak kesukuannya, sedangkan 292 orang lainnya dapat dilacak kesukuannya.
Suku Sahabat di Bashrah dapat dibagi menjadi dua, pertama adalah Arab Utara
yang memiliki 13 suku dengan 237 orang dan Arab Selatan yang memiliki 10 suku
dengan 72 orang. Di antara jumlah tersebut, dimungkinkan Sahabat memiliki dua
kesukuan sebagaimana yang dijelaskan di awal.
2.
Kufah
Sebagaimana Basrah, Kufah
dulunya merupakan sebuah base camp militer. Didirikan pada 636 M atas
perintah Umar bin Khattab. Pada mulanya ‘Umar tidak mengizinkan Kufah dijadikan
tempat menetap sehingga bangunan di Kufah hanya berbentuk bangunan sementara
dari rotan. Namun, karena terjadi kebakaran besar yang melanda tempat tersebut,
pada akhirnya ‘Umar mengizinkan membangun bangunan dari bata secara lebih
permanen hingga pada akhirnya Kufah menjadi hunian dan meluas menjadi perkampungan.
Di Kufah, populasi Sahabat berjumlah 335 orang. Di antara jumlah tersebut, 40
orang tidak dapat dideteksi kesukuannya, sedangkan 295 orang berhasil diketahui
kesukuannya. Suku di Kufah dapat dibagi kedalam dua wilayah. Pertama adalah
Arab Utara yang memiliki 13 suku dengan 191 orang dan kedua adalah Arab Selatan
yang memiliki 12 suku dengan 128 orang.
3.
Suriah
Setelah penaklukannya, Suriah dibagi kedalam empat provinsi yang
diistilahkan dengan jund. Keempat provinsi tersebut masing-masing adalah
: Palestina, al-Urdu>n, Damaskus,
dan Hims. Di Suriah, populasi Sahabat mencapai 439 orang. 88 di antaranya tidak
dapat dilacak kesukuannya, sedangkan 351 lainnya dapat dilacak kesukuannya.
Suku yang terdapat di Suriah berasal dari Arab Utara dan Arab Selatan. Suku
yang berasal dari Arab Utara sebanyak 15 suku dengan 167 orang, sedangkan Arab
Selatan sebanyak 27 suku dengan beranggotakan 253 orang.
4.
Mesir
Ada tiga sebutan yang biasa digunakan untuk menyebut tempat tinggal
di Mesir. Ketiganya ialah Mis{r, Fustat, dan
Aleksandria. Kota Fustat menjadi basis Amr bin As{ dan tentaranya. Populasi Sahabat di mesir adalah sebanyak 259
orang dengan 28 orang yang dapat tidak diketahui kesukuannya, dan 231 lainnya
dapat diketahui kesukuannya. Suku Sahabat yang tinggal di Mesir dapat
dikategorikan pada suku Arab Utara yang memiliki 11 suku dengan beranggotakan
55 orang. Sedangkan suku yang berasal dari Arab Selatan memiliki 21 suku
dengan beranggotakan 123 orang.
Data-data di atas yang menunjukan pergerakan penyebaran Sahabat
berimplikasi atas terkuaknya informasi penyebaran periwayatan hadis Nabi. Dari
data ini pula, tidak heran jika para pencari hadis (t{a>lib al-H{adi>s)
seperti Imam Bukhari dan Muslim rela meluagkan waktu bertahun-tahun dengan
menyusuri berkilo-kilo meter jarak tempuh guna melakukan deteksi hadis Nabi.
Apa yang menjadi upaya Fuad Jabali dalam bukunya ini menjadi temuan yang akan
sangat bermanfaat dalam dinamika kajian hadis baik dari sisi sejarah maupun
dari sisi metodologis kajian rija>l al-H{adi>s.
Hal yang penting untuk dijelaskan dalam penelitian Fuad Jabali
adalah mengetahui alasan penyebaran para Sahabat. Untuk menjawab hal ini,
peperangan dalam penyebaran ajaran Islam atau yang sering diistilahkan dengan
jihad merupakan alasan teologis yang terasa cukup relevan, namun diluar hal
itu, tidak dapat ditutup-tutupi, bahwa alasan kepindahan para Sahabat tidak
lepas dari alasan ekonomi. Dalam traedisi perang, dengan ekspansi dan
penaklukan daerah, seseorang akan memperoleh hak atas tanah yang ditaklukan. Dalam
masalah ini, Suriah merupakan tujuan favorit dalam ekspansi. Sahabat lebih
memilih Suriah karena kemapanan hidup di sana yang sudah terdapat populasi dan
tempat permukiman. Kondisi ini bertolak belakang dengan Irak. Di Irak, Sahabat
harus membangun ulang permukiman dan berjihad di sana memiliki resiko besar
karena harus berhadapan dengan tentara Persia yang kuat yang saat itu hanya
bisa ditandingi oleh kerajaan Romawi. Hal ini mengakibatkan sahabat-sahabat
elit seperti Mu’awiyah memilih berperang di Suriah dan Ali berperang di Irak.
Dari sini pula lah yang nantinya akan memiliki pengaruh terhadap perang Siffin.
Mengenai pertanyaan ketiga tentang sikap Sahabat, salah satu hal
kontroversial dalam penelitian ini adalah terletak pada salah satu pernyataan
Fuad Jabali pada kesimpulan yang ia ambil. Menurutnya, Perang Siffin merupakan
perang kepentingan antara kubu Ali yang dikatakan sebagai kelas elit dengan
kubu Mu’awiyah sebagai kelas tertindas. Hal ini pula yang dikritisi oleh
Jalaluddin Rakhmat dengan menyatakan bahwa pernyataan Fuad Jabali adalah
pemutar balikan fakta. Terlepas dari kritik Jalal, apa yang dikatakan Fuad
Jabali sebenarnya tidak menunjukan bahwa ia ingin membela Mu’awiyah.
Berdasarkan data Fuad jabali kubu Ali merupakan kubu yang mendekati kebenaran,
di dalamnya terdapat orang-orang yang masuk Islam semenjak awal perjuangan dan
turut membela Nabi dalam perang Badar. Selain itu, ia juga menjelaskan adanya
penyesalan Sahabat yang mendukung Mu’awiyah karena memerangi Ali dan penyesalan
sahabat yang netral karena tidak turut membela Ali diakhir karirnya.
Terlepas dari kritik dan koreksi atas karya ini, sebagaimana koreksi
yang disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam pengantar buku terbitan dalam
bahasa Indonesianya, secara keseluruhan karya ini mampu mengantarkan para
peminat, peneliti, dan cendekiawan hadis pada suatu cara pandang baru dalam
memahami sosok Sahabat Nabi. Tak ubahnya sebagaimana makhluk, suatu karya
mungkin tidak bisa meninggalkan kekurangan dan kelebihan namun yang pasti suatu
karya akan meninggalkan manfaat dan pelajaran baik bagi penulis sendiri maupun
bagi para pembacanya. Telah banyak tokoh yang merekomendasikan karya ini
sebagai acuan dalam studi hadis kontemporer. Mulai dari Arkoun hingga Azyumardi
Azra. Hal ini menunjukan suatu kualitas dan nilai yang terdapat dalam karya Fuad
Jabali ini. Barakallah ‘alaina..!, walla>hu alam bi as{-s{awa>b..
No comments:
Post a Comment