Dipersembahkan kepada :
Dr. H. Waryono, M.Ag.
Oleh :
MUHAMMAD BARIR
YOGYAKARTA
2015
2015
2014Ilmu
qira>’ah sering diposisikan sebagai ilmu yang berada pada dimensi
tekstualitas al-Qur’an. Beberapa ahli terkadang lebih melihat aspek seni dan
keragaman leksikalitas berupa waqf, ‘ibtida>’,’ima>lah, dan lain sebagainya tanpa
menghubungkan ilmu ini pada kedalaman ma’na al-Qur’an. Secara lebih jauh, ilmu
ini ternyata memiliki hubungan langsung dengan realitas historis sebagaimana
ungkapan az-Zarkasyi dalam al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n tentang pengaruh qira>’ah terhadap
hukum fikih yang dibebankan kepada mukallaf.[1]
Untuk itu, membahas lebih jauh tentang pengaruh qira>’ah terhadap pembebanan hukum terlebih tentang interpretasi al-Qur’an,
merupakan hal yang memiliki urgensi untuk dilakukan. Tulisan ini merupakan
sedikit upaya mereview kembali gagasan tersebut untuk disajikan kepada pembaca
sebagai sebuah refleksi dan stimulasi tentang sebuah khazanah kekayaan perspektif
dalam studi al-Qur’an.
Keywords
: Qira>’ah dan
interpretasi al-Qur’an.
A.
Pendahuluan
Pembahasan tentang ilmu qira>’ah sebenarnya tidak terlepas dari pembahasan I’ja>z al-Qur’a>n. Beragamnya cara baca tidak sekedar menjadi kekayaan bentuk
pelafalan al-Qur’an, namun juga memberikan kemudahan bagi setiap lisan orang
yang membacanya sesuai karakter lidah masing-masing. Selain hal tersebut, ada
sisi lain dari studi ilmu qira>’ah yang juga
memiliki urgensi untuk dibahas lebih lanjut, yakni tentang pengaruh qira>’ah terhadap istinba>t hukum.
Sehingga ilmu qira>’ah tidak hanya
menjadi ilmu yang berada pada kawasan tekstualitas al-Qur’an namun juga berada
dalam kajian esensialitas makna al-Qur’an.
Berangkat dari hal tersebut, studi lebih jauh
tentang aspek pengaruh qira>’ah terhadap
istinbat hukum menjadi hal yang penting. Berawal dari hal ini pulalah nantinya diketahui
ketegasan posisi ilmu qira>’ah sebagai salah
satu aspek yang dipertimbangkan oleh para mufassir dalam proses interpretasi
al-Qur’an ketika merangkai kitab tafsirnya. Dan jika setiap mufassir memiliki
imam dan ra>wi> qira>’ah-nya maing-masing, tentu akan muncul berbagai perdebatan lebih
lanjut tentang mana qira>’ah yang masyhur
dan yang sya>ż.
Dengan munculnya berbagai perdebatan
tentang otentisitas qira>’ah ini, maka
salah satu aspek lain yang perlu dijabarkan dalam makalah ini adalah mengenai
tradisi transformasi ilmu berdasarkan sanad yang berujung dari Rasulullah. sehingga,
dalam bebrapa poin dalam makalah ini nanti, juga akan diwarnai dengan penjelasan
singkat tentang imam dan rawi qira>’ah, berbagai pendapat ulama, dan penelusuran historisitas
perkembangan ilmu qira>’ah.
Secara lebih jelas, poin-poin dalam
pembahasan yang akan diulas dalam makalah ini dapat terlihat melalui beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
definisi ilmu qira>’ah dan bagaimana konsep lain di sekitar ilmu qiro’ah?
2.
Bagaimana
perkembangan historis ilmu qira>’ah?
3.
Bagaimana
pengaruh qira>’ah terhadap interpretasi
al-Qur’an?
4.
Bagaimana
pendekatan baru dalam studi ilmu qira>’ah?
B.
Pembahasan
1.
Definisi Ilmu Qiroah dan Integrasi antar Konsep
Secara
etimologis Kata qira>’a>t (قراءات) merupakan bentuk jama’ dari qira>’ah (قراءة ) yang dalam qaidah bahasa Arab
merupakan bentuk mas}dar. Sedangkan, bentuk mad}i kata ini
adalah قرأ , dan bentuk mud}a>ri’nya ialah يقرأ. Kata ini dalam bentuknya sebagai mashdar dapat juga
menjadiقرأَن yang memiliki makna تلا - تلاوة yakni membaca. Selain bermakna membaca, kata ini juga
bermakna الجمع dan [2] الضمّ yang jika diterjemah menggunakan bahasa
Indonesia berarti mengumpulkan atau menghimpun sebagaimana dalam sebuah ungkapan
قرأت الماء في
الحوض “saya telah mengumpulkan air di
telaga”. Kemudian kitabullah al-Qur’an–menurut
beberapa pendapat ulama—juga terambil dari kaidah ini yang memiliki arti sebuah
bacaan dan himpunan. Al-qur’an di artikan sebagai himpunan karena di dalamnya
telah terhimpun ayat-ayat dan surat-surat.[3]
Secara
terminologis, Ilmu qira>’ah ini memiliki
definisi yang sangat luas dan tidak jarang membuat para ulama saling berbeda
pendapat. Salah satu definisi yang dianggap komprehensif oleh beberapa ulama
adalah pendapat Ibn Jazary yang menyatakan dalam argumennya bahawa yang dimaksud dengan ilmu qira’at adalah:
“علم بكيفية أداء كلمات القرأن واختلا فها بعزو
الناقلة”[4]
“ilmu tentang tata cara memposisikan kalimat al-Qur’an dan
beragam perbedaan di dalamnya berdasarkan dasar penukilan (dari Nabi) ”
Sedangkan ulama lain yakni Abdul Fatta>h al-Qa>d}i> berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ilmu qira>’ah adalah:
“هو علم يعرف به كيفية النطق بالكلمات القرأنية وطريق أداءها إتّفاقا
و اختلافا مع عزو كل وجه لنا
قله”
“qira>’ah
adalah ilmu untuk mengetahui tata cara mengucapkan kalimat Qur’ani dan metode
memposisikannya sesuai dengan kesepakatan maupun perbedaannya yang dinisbatkan
pada setiap kemungkinan wajah dimana ia dinukil”
Dari dua argumen di atas, menurut Abdul Qayyu>m as-Sindy bagaimanapun qira>’ah merupakan sunnah muttaba’ah yang dinukil oleh para sahabat dan bersumber dari Nabi baik berdasarkan
bacaan maupun ketetapan langsung Beliau.[5] Salah satu kitab yang terkenal mengulas Ilmu qira>’ah adalah
kitab at-Taisi>r karya Abu Amr ad-Da>ni dan al-Iqna>’ karya Abi
Ja’far.[6]
Dalam ilmu qira>’ah, terdapat
beberapa istilah sebagai konsep lain yang saling
memiliki korelasi. Beberapa istilah tersebut adalah:
al- Qira>’ah : merupakan perbedaan
cara baca yang disandarkan pada imam qira>’ah. Contoh bacaan qira>’ah adalah يَغْفِلَّكُمْ
( bacaan Abi>
Amr) ما أنتم بمصرخيِّ (bacaan
Hamzah).
ar-Riwa>yah : merupakan perbedaan cara baca yang disandarkan
pada rowi yang mengambil qaidah baca dari Imam qira>’ah. Bacaan berdasarkan rawi bisa diketahui sebagaimana dalam contoh seperti قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ [7] ayat ini menurut pandangan
Imam Na>fi’ melalui
jalur Warasy dianggap berat sehingga harakat
hamzah harus dipindah kepada huruf da>l dan kemudian huruf hamzah dihilangkan sehingga cara bacaannya menjadi قَدَفْلَحَ.[8]
at}- T}hori>qah : merupakan perbedaan cara baca yang
disandarkan pada orang yang mengambil qa>’idah baca dari ra>wi.
al-Wajh : merupakan
perbedaan cara baca yang diperbolehkan dan wajar sesuai ilmu nah}wu.
al-Us}u>l : merupakan
hukum bacaan secara global sesuai dengan syarat-syaratnya.
al-Farsy : merupakan
perbedaan cara baca yang hanya terdapat dalam tempat-tempat tertentu dalam
al-Qur’an dan cukup langka.[9]
Salah satu yang mewarnai perdebatan antara ulama adalah mengenai
posisi qira>’ah dengan
al-Qur’an. Secara umum terdapat tiga pendapat mengenai hal tersebut:
a)
Menurut
Badruddi>n az-Zarkasy, al-Qur’an dan qira>’ah merupakan dua hal yang berbeda yang tidak dapat disamakan.
Al-Qur’an wahyu sedangkan qira>’ah hanya perbedaan cara pelafalan.
b)
Menurut
Muhammad Sali>m Muh}sin, al-Qur’an dan qira>’ah merupakan dua istilah yang menunjukan satu arti.
c)
Menurut
Muhammad Isma>’il, al-Qur’an dan qira>’ah tidaklah sama secara keseluruhan, namun keduanya juga tidak
berbeda secara keseluruhan dengan masih memiliki korelasi satu sama lain.[10]
Syarat
qira>’ah shahihah yang
diterima berdasarkan kriteria para ulama:
b)
Tidak
bertentangan dengan kaidah bahasa Arab.
2. Fase Perkembangan Ilmu Qira>’ah
Beberapa ulama
berbeda tentang awal mula munculnya ilmu qira>’ah, secara umum ada dua perbedaan tentang hal tersebut sebagaimana
berikut:
a)
Ilmu
qira>’ah telah ada
sebelum hijriyah. Berdasarkan h{adis yang turun di Makkah yang
menjelaskan tentang nabi yang meminta Jibril untuk mengajarkan tujuh cara abaca
al-Qur’an.
b)
Ilmu
qira>’ah ada pasca
hijrah di Madinah. Bebrapa ulama berargumen bahwa alasan diturunkannya
Perbedaan car abaca menjadi tujuh huruf adalah karena untuk mempermudah brbagai
logat dan lisan umat yang beragam. Sedangkan hal ini menjadi kebutuhan ialah
ketika era Madinah karena di era inilah kabilah-kabilah baru masuk Islam. Di
era sebelumnya juga belum terdapat perbedaan dalam praktik baca sebagaimana di
era Madinah yang mulai bermunculan perbedaan car abaca seperti perbedaan
sahabat Ubai bin Ka’ab dengan salah satu sahabat dan perbedaan Umar dengan
Hisya>m bin Haki>m.[13]
Saat itu, Umar
yang menjumpai Hisya>m membaca al-Qur’an, tercengang ketika mendengar beberapa bacaan
yang tidak sesuai sebagaimana yang ia terima dari Rasulullah ketika diajarkan
langsung oleh Beliau. Umar kemudian menarik jenggot hisyam dan menyeretnya ke
hadapan Rasu>llah namun Rasulullah hanya tersenyum dan memberi tahu Umar tentang
diperbolehkannya membaca al-Qur’an dengan cara baca lain karena bacaan sahabat
Hisya>m juga berasal dari Rasu>lulla>h.[14]
Di luar
perdebatan mengenai kapan awal mula muncul ilmu qiraah, beberapa ulama membagi
perjalanan historis dan perkembangan ilmu qira>’ah menjadi delapan fase:[15]
a)
Fase
pertama : fase transformasi bacaan
dari Jibri>l kepada Rasu>lulla>h.
b)
Fase
kedua : fase pendidikan cara baca
kepada para Sahabat.
Dikatakan bahwa
Nabi mengajarkan cara baca dengan sedikit demi sedikit. Setiap proses belajar
mengajar, Nabi membimbing sahabat sepuluh ayat. Dan nabi tidak akan menambah
sepuluh ayat berikutnya kecuali ketika sudah difahami dan diamalkan.
c)
Fase
ketiga : fase penyampaian cara
baca al-Qur’an dari sahabat kepada
sahabat lainnya.
Pada fase ini,
Sahabat saling mengajar dan belajar al-Qur’an antar mereka. Tentunya hal
tersebut dilakukan berdasar sabda dari Nabi dan restu beliau. Pada masa ini
pendidikan al-Qur’an juga telah sampai keluar Makkah. Di antara sahabat yang
termasuk memiliki izin mengajarkan al-Qur’an adalah Abdullah Ibn Ummi Maktum
dan Mus’ab bin Ami>r.
d)
Fase
keempat : fase pendidikan cara baca
al-Qur’an dari sahabat kepada tabi’in.
e)
Fase
kelima : fase penyaringan cara baca
al-Quran dari bacaan lain yang
menyimpang.
f)
Fase
keenam : fase pembukuan atau kodifikasi ilmu qira>’at.
Para uama
berbeda pendapat mengenai siapa yang pertama kali membukukan kitab tentang ilmu
qiraat. Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang pertama kali membukukan ilmu
qiroat adalah Abu Ubaid al-Qasim bin Sala>m (w. 224 H), sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang
pertama kali menyusun buku metodologi ilmu qiroat adalah Abu> Hati>m as-Sijista>ni (w. 255 H).
g)
Fase
ketujuh : fase munculnya ide untuk
membatasi qira>’ah.
h)
Fase
kedelapan : fase pembekuan qira>’ah menjadi tujuh bacaan (qira>’ah Sab’ah).
Kodifikasi
ilmu ini menjadi sebuah kajian khusus mulai dirintis pada abad ke IV Hijriyah
dengan salah satu tokohnya Abu Bakar Ibn Muja>hid.[16] Dengan dikumpulkanya antara ketujuh imam sebagaimana berikut :
1)
Na>fi’ bin Abdirrah}ma>n (w. 169 H),
2)
Abdulla>h bin Kas}i>r (w. 120 H),
3)
Abu> Amr (w. 154 H),
4)
Abdulla>h bin Ami>r (w. 118 H),
5)
‘As}i>m (w. 127 H),
6)
H}amzah bin H}abi>b (w. 156 H), dan
Disebutkan
dalam kitab al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’a>n bahwa qira>’ah ibn Kas}i>r, Nafi, Abi Amr merupakan qira>’ah yang disandarkan kepada Ubay bin Kaab, sedangkan qira>’ah Ibn Amir merupakan qira>’ah yang kembali kepada Us|ma>n bin ‘Affa>n, dan qira>’ah ‘As}im, H{amzah, serta kisai merupakan qira>’ah yang bersandar pada qira>’ah sahabat Us|ma>n, Ali, dan Ibn Mas’u>d.[18]
3.
Pengaruh Qira>’ah terhadap Interpretasi al-Qur’an
Interpretasi
atau sebuah upaya menafsiri memiliki posisi pada tangga ketiga dalam tangga ilmu
filsafat setelah, mengetahui (to know) dan memahami (to understanding).
Interpretasi tidak sekedar mengetahui, namun secara lebih jauh, interpretasi
merupakan upaya pembacaan dalam menggali makna. Menurut Abu> Ish}a>q asy-Sya>t}ibi, dalam sebuah proses Ijtiha>d[19], seorang mujtahid harus mengenal
bacaan qira>’a>t. hal tersebut dikarenakan sebuah proses Ijtiha>d memiliki hubungan dengan istinba>t}, dan tidaklah mungkin istinba>t} dapat dilakukan kecuali dengan mengetahui seluk-beluk kaidah
bahasa al-Quran termasuk qira>’a>t.[20] selain itu, Mus}t}ofa Muh}ammad H}usain az|ahabi mensyaratkan bagi seorang mufassir
untuk faham ilmu qira>’ah karena posisi ilmu tersebut dalam seleksi bacaan yang benar dari
sekian banyak wajah qira>’ah.[21]
Beragamnya
perbedaan qira>’ah tidak hanya
mempengaruhi gaya stilistika al-Qur’an baik lafad maupun pelantunannya, namun
perbedaan qira>’ah juga secara
langsung akan mempengaruhi penafsiran dan interpretasi makna al-Qur’an. Dalam
beberapa tempat, terdapat ayat-ayat yang memiliki perbedaan cara baca dan
sekaligus perbedaan tersebut mengakibatkan pada perbedaan pendapat tentang
penafsiran al-Qur’an.
a) Perbedaan qira>’ah yang
berimplikasi terhadap salah satu rukun wudhu
Dalam al-Qur’an
terdapat beberapa ayat yang memiliki perbedaan dan perbedaan ini dijadikan
dasar dan alasan oleh para ulama dalam istinbat hukum untuk mendukung argumen
hukum golongannya masing-masing. Salah satu ayat yang diperdebatkan oleh para
ulama adalah ayat keenam dari surat al-Ma>’idah. Allah berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki.”
Ayat
ini merupakan salah satu dasar hukum tentang pemberlakuan rukun wudhu. Ulama
berbeda pendapat tentang hukum bacaan dalam term أَرْجُلَكُمْ, bagi
ulama dari sekte imamiyah, term tersebut menjadi dasar bahwa di dalam wudhu
diharuskan untuk megusap kaki, hal ini berbeda sebagaimana pendapat jumhur yang
menyatakan bahwa kaki harus dibasuh bukan diusap. Golongan sekte imamiyah
menyatakan bahwa term tersebut dibaca jar
أَرْجُلِكُمْ karena athaf kepada رُءُوسِ “kepala” sehingga pemberlakuan hukum pada
kaki adalah diusap sebagaimana pemberlakuan hukum pada kepala.
Sebaliknya,
menurut Ali as{-S{a>bu>ni, hukum bacaan berdasarkan ilmu nahwu dari term di
atas adalah nashab karena athaf kepada wajah dan tangan. Alasan kenapa term
tersebut tidak jatuh setelah term وَأَيْدِيَ adalah dikarenakan untuk menentukan urutan-urutan dalam wudhu dan
bukan merupakan kesalahan munasabah al-Qur’an.[22]
Bacaan
tentang term tgersebut yang ber-I’ra>b nashab juga didasari oleh bacaan Na>fi’, Ibn Ami>r, dan Kisa>’i. hal tersebut sebagai
mana penjelasan al-Qurt{u{bi dalam tafsirnya jami>’ al-Ahka>m al-Qur’a>n. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa wudhu yang sempurna
ialah dengan membasuh kaki. Ia membandingkan dengan membasuh tangan bahwa batas
pembasuhan kaki ialah sampai mata kaki,
hal tersebut akan lebih sempurna sebagaimana tangan yang dibasuh sampai kedua
siku.[23]
Atas
beragamnya perbedaan qira>’ah ini, sebenarnya meski terkesan mempersulit pembaca untuk menimbang
bacaan yang benar, namun dari kedua bacaan tersebut baik yang nas{ab maupun yang ja>r menegaskan bahwa hukum perlakuan wudhu pada kaki sangat luwes.
Mukallaf boleh membasuh dan juga menyapu kaki jika dalam kondisi tertentu[24],
bahkan dalam cuaca yang ekstrim bagi mukallaf yang berada di suhu dingin
diperbolehkan menggunakan khuf[25]
dan ketika wudhu cukup mengusap khuf tanpa menyentuhkan air pada
kulit.
b) Perbedaan qira>’ah yang berimplikasi terhadap perbedaan alasan diperbolehkan
tayammum.
Selain itu,
dalam terusan ayat di atas (surat al-Ma>i’dah 5: 6) juga terdapat term lain yang
diperdebatkan oleh para ulama yakni redaksi أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ[26], dalam
redaksi tersebut terdapat dua bacaan yang berbeda, sebagian ulama menggunakan
lafad لامَسْتُمُ “bersetubuh” dan sebagian yang lain
menggunakan لَمَسْتُمُ”menyentuh”.
Hal ini berimplikasi pada alasan bersuci baik tayammum maupun wudhu, mana yang
diperbolehkan bertayamum, apakah bersetubuh atau menyentuh lawan jenis begitu
pula yang membatalkannya.[27]
Sementara yang membaca panjang,
mereka mengartikan kata
لامَسْتُمُ dengan
bersetubuh. Sebab, mengikuti wazanمفاعلة
yang berfaidah
al-musyārakah baina isnain (melibatkan dua orang dengan maksud
yang sama). Argumentasinya, riwayat bahwa ketika
menafsirkan ayat tersebut, ‘Ali ibn Abī
Tālib berkata, “Maksudnya kamu menyetubuhinya, tetapi Allah
mengungkapkan dengan kata sindiran.” Ibn ‘Abbās juga menafsirkannya
dengan mendatangi dan berjimak.[28]
c) Perbedaan qira>’ah yang
berimplikasi terhadap penentuan hukuman pencuri.
Terkadang dalam
beberapa hal, bacaan qira>’ah Sya>żah dijadikan penafsiran qira>’ah masyhur. Hal ini sebagaimana dalam qira>’ah Ibn Mas’u>d[29]
:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْماَنَهُمَا
Bacaan qiro>’ah tersebut menjadi tafsiran ayat :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Ibn mas’ud mengambil mengambil ayat dengan bacaan pertama untuk
mencari kepastian tentang
mana tangan yang dipotong terlebih dahulu. Kemudian berdasarkan bacaan
tadi أَيْمَنَهُمَا iya
mengambil ketetapan bahwa tangan yang dipotong adalah tangan bagian kanan
terlebih dahulu.
d)
Perbedaan
qiroah yang berimplikasi terhadap hukum bersetubuh dengan Istri setelah Haid.
Salah satu ayat
yang mengalami perbedaan bacaan di kalangan ulama adalah ayat dalam surat al-Baqarah
ayat 222. Surat ini berbicara tentang masalah keharusan mandi sebelum menggauli
istri yang baru selesai masa Haid.
وَلا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
“dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”
Berbeda dengan
bacaan Na>fi’ dan Abu> Amr, menurut bacaan H{amzah
dan Kisa>’I, ayat tersebut menggunakan
term يَتَطَهَّرْنَ sehingga
diperlukan mandi bagi istri sebelum menggaulinya.[30]
Pendapat tersebut dari sudut pandang penafsiran sekaligus menjadi penjelasan
lafad يَطْهُرْنَ yang sebelumnya
bermakna suci (tidak sedang haid) kemudian
menjadi penentu hukum bahwa istri yang telah keluar dari masa haid
memiliki keharusan untuk mandi besar sebelum digauli. Hal ini tentunya
merupakan penafsiran sebuah qiroat terhadap qiroah lainnya. Menurut Quraish
Shihab, kata يَتَطَهَّرْنَ
pada ayat di atas mengandung makna “sangat suci”,[31]
hal ini menjurus bahwa untuk diperlukan mandi besar bagi perempuan untuk bisa
berpredikat مُتَطَهِّرَة.
Dari sekian
banyak perbedaan para imam qira>’ah tentang cara
baca al-Quran, az-Zarkasyi merangkum perbedaan tersebut menjadi tujuh hal:[32]
a)
Perbedaan
‘I’ra>b yang tidak
mempengaruhi makna
b)
Perubahan ‘I’ra>b yang mempengaruhi makna seperti وادّكر بعد
أُ مّة menjadi وادّكر
بعد أَمّة. Susunan
ini terdapat dalam surat Yusu>f 12: 35 yang artinya :
“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan
teringat kepada Yusuf, sesudah beberapa waktu lamanya: ‘Aku akan
memberitakan kepadamu tentang orang yang pandai menakbirkan mimpi itu, maka
utuslah aku kepadanya’." Menurut Ali as{-S{a>bu>ni>, term ‘ummah
dalam ayat di atas memiliki makna مدّة طويلة“masa yang panjang“[33]
c)
Pergantian
huruf pada kalimat dengan disertai perubahan makna namun tidak mempengaruhi
gaya penulisan Pada khat. Sebagaimana contoh
وَانْظُرْ إِلَى
الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا
“lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana
Kami menyusunnya kembali.”
Term نُنْشِزُهَا juga dibaca نُنْشِرُهَا mengganti za’ dengan ra>’.
d)
Perubahan
tampilan kalimat namun tidak mempengaruhi makna. Sebagaimana contoh dalam surat
Ya>si>n 36: 29
إِنْ كَانَتْ إِلا
صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ خَامِدُونَ
“Tidak ada melainkan satu teriakan suara saja;
maka tiba-tiba mereka semuanya mati”.
Term صَيْحَةً pada ayat di atas tidak dipakai oleh beberapa bacaan qira>’at yang mengganti term tersebut dengan الزَقْيَة.
Pendapat
az-Zarkasyi dan beberapa ulama lainnya tentang penggunaan dua kata yang
menunjukan satu makna (mura>dif)[34]
sebenarnya masih diperdebatkan. Ibn Faris menyatakan argumennya bahwa di dalam
al-Qur’an tidak terdapat sinonimitas. Setiap kata memiliki maknanya sendiri.[35]
e)
Perubahan
tampilan kalimat dan mempengaruhi makna. Sebagaimana contoh dalam surat al-Wa>qi’ah 56: 29:
وَطَلْحٍ مَنْضُودٍ
“dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya)”
Term طَلْحٍ pada ayat di atas tidak dipakai oleh beberapa bacaan qira>’at yang mengganti term tersebut dengan طلْع. [36]
f) Perbedaan qiro’at dengan mendahulukan term yang akhir dan mengakhirkan term
yang awal. Hal ini sebagaimana bacaan ‘Umar terhadap surat qa>f 50: 19:
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ
“Dan datanglah sakaratulmaut dengan sebenar-benarnya.”
Sahabat ‘Umar membaca term
tersebut dengan
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْحَقِّ
بالْمَوْتِ
g)
Perbedaan
bacaan dengan bentuk menambah atau mengurangi Sebagaimana contoh dalam surat Sa>d 38: 23:
إِنَّ هَذَا أَخِي لَهُ
تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً
“Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh
sembilan ekor kambing betina.”
Dalam bacaan lain, ayat di atas memiliki tambahan term
lain
إِنَّ هَذَا أَخِي لَهُ
تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً أنثى
Demikian juga dalam contoh:
لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي
تَحْتَهَا
“bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya”
Ayat di atas ditambahkan huruf mi>m menjadi:
لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي
من تَحْتَهَا
4.
Ilmu Qira>’a>t Terbentuk dan Membentuk Bahasa Arab, Sebuah
Tinjauan Semantika
Ilmu qira>’a>t berbeda dengan ilmu kebahasaan pada masanya, antara
penggunaan kata pra-Qur’anik, Qur’anik, dan Pasca Qur’anik masing-masing
menunjukan penyimpangan dan karakteriswtik bahasa al-Qur’an dengan bahasa
keseharian bangsa Arab. Oleh karena itu sangat berbeda bentuk dan ragam
karakter kata dalam ilmu tersebut bukan merupakan penyimpangan dan tidaklah
bisa dikatakan salah karena al-Qur’an tidak terikat oleh bahasa Arab, bahkan
al-Qur’an memiliki peran dalam penanaman dasar pembentukan bahasa Arab pada
masa setelahnya.
Selain itu
beragamnya qira>’a>t merupakan sesuatu yang disandarkan pada rasulullah yang langsung
menerima arahan Jibril. Walau terikat dengan bahasa Arab, posisi ilmu ini
menunjukan bahwa bahasa al-Qur’an merupakan bahasa yang independen dari bahasa
Arab selain al-Qur’an. Hal ini sebagaimana ilustrasi berikut:
Al-Qur’an
|
Bahasa
Pewahyuan |
Qira>’a>t
|
Bahasa
Arab |
Dari diagram di
atas, terlihat pentingnya bahasa pewahyuan untuk menggandeng bahasa Arab agar
pesan ilahi dapat difahami oleh manusia terutama yang hidup di mana dan kapan
al-Qur’an diturunkan. Proses interkoneksi ini penting untuk menjamin
otentisitas al-Qur’an sebagai wahyu yang membumi. Hal ini juga menjadi
sanggahan terhadap orientalis yang menyatakan validitas al-Qur’an diragukan
karena bertentangan dengan kaidah bahasa Arab. Al-Qur’an sama sekali tidak
terikat dengan bahasa Arab, bahasa al-Qur’an merupakan representasi keunikan
integritas dua bahasa sehingga perbedaan bahasa al-Quran dengan bahasa
keseharian yang dipakai bangsa Arab tidak dapat menggugurkan otentisitas
al-Quran.
Dalam proses
interpretasi al-Qur’an, terlebih dalam memahami qira>’a>t, salah satu hal yang penting adalah mengetahui perbedaan penggunaan
kata pada masa sebelum pewahyuan (pre-qur’anic), masa pewahyuan (qur’anic), dan
masa setelah pewahyuan (pasca Qur’anic).[37] Mengetahui penggunaan kata ini penting untuk
melakukan pillihan makna karena kata yang sama ketika digunakan pada tempat dan
masa yang berbeda dapat memiliki arti yang berbeda pula.
Dengan adanya
hubungan antara qira>’a>t dengan penggunaan kata oleh mayarakat Arab, maka semantika
merupakan salah satu perspektif baru dalam memahami ilmu ini, secara lebih jauh
juga turut dikaji beberapa aspek mengenai alasan pemilihan diksi-diksi kata
dalam qira>’a>t. dari
sini, penggunaan ilmu historisitas bahasa seperti filologi merupakan salah satu
hal yang tidak ada salahnya untuk dicoba dalam memperkaya keilmuan al-Quran dan
sebagai upaya integrasi-interkoneksi antar ilmu.[38]
5.
Kesimpulan
Dari perbedaan-perbedaan tersebut, dapat dikatakan bahwa perbedaan qira>’at dari masing-masing imam tidak hanya mempengaruhi
tampilan bacaan luar, namun juga berimplikasi dalam interpretasi ayat al-Qur’an, bahkan berhubungan dengan tindak amaliyah mukallaf. Sehingga mengetahui qira>’ah sah{i>h{ah merupakan
salah satu hal urgen untuk dipertimbangkan dalam interpretasi al-Qur’an. Hal
ini juga tidak melupakan urgensi ilmu lain dalam kaidah bahasa yang juga
sebenarnya akan sangat membantu dalam memahami ilmu qira>’ah.
Ilmu qira>’ah memiliki perbedaan dengan ilmu nah}wu
karena kompleksitas kajian yang ada di dalamnya. Terlebih yang membedakan ilmu
ini dengan ilmu nahwu adalah anomali-anomali bacaan yang memerlukan pemahaman
dan pengetahuan khusus yang tidak didapat dari ilmu nah}wu. Alasan ilmu qira>’ah begitu berbeda dengan ilmu nah}wu adalah karena kaidah kebahasaan
Arab telah berelasi dengan al-Qur’an dan mengikuti prosedur dan cara pengucapan
berdasarkan historisitas pewahyuan. Dari sinilah letak urgensi mempelajari Ilmu
Qiro’ah yang tidak dapat dikesampingkan.
Walaupun ilmu
ini merupakan ilmu tauqi>fi sebagaimana
ungkapan az-Zarkasyi dalam al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n,[39] namun bagaimanapun tauqi>fi yang dimaksud di sini adalah sebuah ketetapan tentang keragaman
bacaan yang bermacam-macam hukum yang terkandung di dalamnya masih bisa berubah
seiring banyaknya opsi qiro’ah lain bahkan di luar tujuh imam yang sudah
dibakukan oleh ulama seperti Abu Bakar Ibn Muja>hid. Lebih
jauh lagi, perubahan
realitas historis dimungkinkan
juga bisa mempengaruhi perubahan pilihan qira>’ah yang paling sesuai.
Daftar Pustaka
Abdullah,
M. Amin. Islamic Studies (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
al-Qat{t{a>n, Mana>’ Khali>l. Mabah{is fi> Ulu>m al-Quran (Kairo: Maktabah Wahbah).
al-Qurt{ubi>, Abu> Abdilla>h Muh{amamd bin Ah{mad al-Ans{a>ri. Jami>’ al-Ah{ka>m al-Qur’a>n Jilid III
(Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).
an-Naisa>bury, Muslim bin H{ajja>j. S{ah{i>h{ Muslim, No. 1357. CD
Lidwa Pustaka
as{-S{a>bu>ni>, Ali. S{afwah at-Tafa>sir (Beirut:
Maktabah al-‘As{riyyah, 2008).
asy-Sya>t}ibi, Abu Ish}a>q. al-Muwa>faqa>t jilid II (Kairo:
Da>r al-H}adi>s 2006).
az|-z|ahabi, Mus}t}ofa Muh}ammad H}usain. at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n Juz I (Kairo: Da>r al-H}adi>s, 2005).
Ba>qi’, Muh{ammad Fu’a>d
Abdul. al-Mu’jam al-Mufahrasy li al-fa>z{ al-Qur’a>n (Kairo,
Da>r al-H}adi>s, 2007).
Fakhrudin, Ali. “Relasi Gender dalam Keragaman qira>’a >t”
dalam Jurnal Suhuf Vol. III 2010.
Izutsu, Toshihiko. God and Man in the Koran: Semantics of the
Koranic Weltanschauung (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and
Linguistic Studies, 1964).
Manz{ur, Ibn. Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
Muh{ammad bin Abdulla>h az-Zarka>syi, Badruddi>n. al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Daru
Ahya’I Kutub al-‘Araby, 1957).
Munawwir, al-Ahmad
Warson. Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif 1997).
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer
(Yogyakarta: LKiS, 2010).
Muzakki, Lihat Ahmad. Stilistika al-Qur’an (Malang: UIN
Malang Press, 2009).
Qayyu>m bin Abdul Ghafu>r as-Sindy, Abdul. ‘Ulu>m al-Qira>’a >t (Beirut: al-Maktabah al-Amda>diyah, 2001).
Rizq,
Sayyid. Fi> ‘Ulu>m al-Qira>’a>t: Madkhal, Dira>sah, wa at-Tah}qi>q (Makkah: Fais}aliyyah, 1985).
[1]
Badruddin
Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut:
Da>r
al-Kita>b
al-‘Ilmiyyah, 2007), Hlm. 326.
[2]
Kata qara’a dengan
makna ini lebih menekankan makna sesuatu yang memuat sesuatu yang lain
sebagaimana contoh: بعضَه إلى بعض و ضممت جمعت lihat Ibn Manz{ur, Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah), hlm.157.
[3] Abdul Qayyu>m bin Abdul Gaffu>r as-Sindy, ‘Ulu>m al-Qira>’at (Beirut:
al-Maktabah al-Amda>diyyah, 2001), hlm. 15.
[6]
Badruddin
Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut:
Da>r
al-Kita>b
al-‘Ilmiyyah, 2007), Hlm. 220.
[8]
Badruddin
Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Daru
Ahya’I Kutub al-‘Araby, 1957), Hlm. 338.
[11] Kriteria mutawa>tir dalam ilmu ini penting karena posisi al-Qur’an sebagai dasar utama
sebagaimana ungkapan Sayyid Rizq yang menyatakan bahwa derajat sanad dalam al-Qira>’a>t merupakan derajat yang tertinggi karena tidak ada sanad lain
yang melebihi kedudukan sanad al-Quran dan tidak ada yang lebih mutawa>tir disbanding
dengannya. lihat Sayyid Rizq, Fi> ‘Ulu>m al-Qira>’a>t: Madkhal, Dira>sah, wa at-Tah}qi>q (Makkah: Fais}aliyyah, 1985), hlm. 283.
[16] Nama lengkapnya
Ah}mad
bin Mu>sa bin al-Abba>s at-Taymi,
lihat Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut:
Da>r
al-Kita>b
al-‘Ilmiyyah, 2007), Hlm. 226.
[17] Badruddin
Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut:
Da>r
al-Kita>b
al-‘Ilmiyyah, 2007), Hlm. 226-227.
[18] Badruddin
Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Daru
Ahya’I Kutub al-‘Araby, 1957), Hlm. 338.
[19] Ijtiha>d bisa dimaknai dengan mengerahkan segenap
upaya melalui akal untuk melakukan istinba>t. beberapa ulama sering mengaitkan term Ijtiha>d, dengan jiha>d dan muja>hadah. Meski ketiga term tersebut terkesan memiliki akar kata yang sama, namun
ketiganya dapat dibedakan. Jika Ijtiha>d dengan menggunakan akal, beda halnya dengan jiha>d yang menggunakan fisik, dan muja>hadah yang
menggunakan hati.
[21] Mus}t}ofa Muh}ammad H}usain az|ahabi, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n Juz I (Kairo: Da>r al-H}adi>s, 2005), hlm. 230.
[23] Abu Abdillah
Muhamamd bin Ahmad al-Anshary al-Qurthubi, Jami>’ al-Ah{ka>m al-Qur’a>n Jilid III
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), hlm. 61.
[25] Khuf merupakan
sejenis sepatu atau kaus kaki yang terbuat dari kulit yang digunakan untuk
menghangatkan tubuh bagian kaki ketika musim dingin.
[26] Selain dalam surat al-Ma>idah 5:6, term serupa juga dapatditemukan jika kita
membuka surat an-Nisa> 4: 43. Term yang berakar kata لمس
dalam al-Qur’an terdapat dalam lima tempa,
pertama adalah dalam al-Ji>n 72: 8, al-an’a>m 7: 27, an-Nisa>’ 4:
43, al-Ma>’idah 5:6, dan al-H}adi>d 57:13. Lihat: Muhammad
Fu’ad Abdul Baqi’, al-Mujam al-Mufahrasy li al-fa>z{ al-Qur’a>n
(Kairo, Da>r al-H}adi>s, 2007|), hlm. 752.
[27] Badruddi>n Muhammad bin Abdulla>h az-Zarkasyi, al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Da>r Ahya>’I Kutub al-‘Araby, 1957), Hlm. 326.
[28] Ali Fakhrudin, “Relasi Gender dalam
Keragaman qira>’a >t” dalam Jurnal Suhuf Vol. III 2010,
hlm. 39
[30] Badruddi>n Muhammad bin
Abdulla>h az-Zarka>syi, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Daru Ahya’I Kutub al-‘Araby, 1957), Hlm. 326.
[32] Badruddi>n Muhammad bin Abdulla>h az-Zarka>syi, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Daru Ahya’I Kutub al-‘Araby, 1957), hlm.
232.
[34] Ibnu Jinni
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tara>duf adalah
kata-kata yang berbeda namun memiliki titik temu persamaan. Menurut ar-Ra>zi tara>duf adalah lafad
yang menunjukan makna sesuatu dengan satu ungkapan. Literature bahasa Arab yang
pertama kali menggunakan istilah tara>duf adalah karya
Abi> al-H}asan Ali> bin Isa> ar-Ramma>ni> dalam kitab Alfad} al-Mutara>ddifah wa
al-mutaba>’idah fi al-Ma’na. istilah
ini lebih popular berkat Abu> al-H}usain Ah}mad bin Fa>ris dalam kitab as}-S}a>hibi>. Lihat Ahmad
Muzakki, Stilistika al-Qur’an (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 48.
[35] Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm.
78.
[36] Term طلْع bisa memiliki
beberapa makna, salah satunya ialah mayang Kurma’ lihat al-Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif 1997), hlm. 860.
[37] Toshihiko
Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung
(Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1964), hlm. 37.
[38] Tunas gagasan
teori integrasi-Interkoneksi pertamakali muncul tahun 1980-an melalui tiga
tokoh yakni Harun Nasution (rector UIN Syarif Hidayatullah era itu), Manawir
Syadzali (menteri Agama era itu), dan Mukti Ali (Rektor UIN Sunan Kalijaga era
itu). Pada era selanjutnya, Amin Abdullah mengembangkan gagasan tersebut
menjadi teori khusus dalam pembentukan paradigm jarring laba-laba di perguruan
tinggi. Lihat M. Amin Abdullah, Islamic Studies (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), hlm. 107.
[39] Badruddi>n Muhammad bin
Abdulla>h az-Zarka>syi, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Daru Ahya’I Kutub al-‘Araby, 1957), Hlm. 225.
No comments:
Post a Comment