Muhammad Barir
A.
Posisi
al-Qur’an dan Bible
Sebenarnya, menyandingkan antara al-Qur’an dengan Bible tidaklah
tepat. Hal tersebut dikarenakan bagian al-Kitab yakni perjanjian baru (new
testament) sebagaimana yang dipercayai oleh umat Kristiani bahwa wahyu
bukanlah Bible, namun wahyu adalah apa yang termanifestasikan dalam segumpal
darah dan daging, yakni sosok Kristus.[1]
Namun, meski tidak cukup tepat, menyandingkan antara al-Qur’an dengan Bible
adalah penting, sebab keduannya sama-sama hadir sebagai sesuatu yang diyakini
merupakan Kitab Suci. Selain itu, kuduanya saat ini adalah salah satu
peninggalan yang tersisa yang sampai pada kita dari masa dimana baik Islam
maupun Kristen menyampaikan ajarannya pada umat kala itu.
Umat Islam menempatkan al-Qur’an sebagai kitab sakral (par
excellence), qadim, dan suci. Penafsiran terhadapnya diperketat dengan
syarat-syarat yang telah dibakukan oleh kesepakatan ulama. Hal tersebut tidak
terjadi pada Bible. Kitab ini diterima dan disadari oleh umat kristiani sebagai
karya yang ditulis. Lima kitab (Pentateuch) dapat ditafsiri dan
diterjemah ke dalam berbagai bahasa dengan kaidah yang lebih longgar, sebuah
kebebasan yang tidak sulit ditemukan dalam sejarah al-Qur’an. Penterjemahan
Bible bersentuhan dengan Septuagint.[2]
Dengan menggunakan hermeneutika, Bible bisa dikatakan lebih dekat pada
mobilitas zaman dan lebih kontekstual. Dengan masing-masing kelemahan dan
keunggulan ini, baik al-Qur’an dan Bible keduanya menjadi salah satu rujukan
dalam hokum, keshalehan (piety), dan ibadah (liturgy).
B.
Tuhan
dalam al-Qur’an dan al-Kitab
Tuhan dalam pengertian dan keyakinan pemeluk Yahudi memang memiliki
perbedaan dengan apa yang menjadi keyakinan hampir keseluruhan pemeluk Islam,
namun ada sedikit kesamaan jika kita melihat keterangan dalam Kitab Keluaran 3:
14 di mana Tuhan yang saat itu ditanya oleh Musa tentang siapa namanya hanya
menjawab Ehyeh asher Ehyeh “Aku adalah Aku”. Dalam bahasa Ibrani,
istilah seperti itu merupakan sebuah idiom yang disengaja oleh seseorang untuk
menutupi jati dirinya atau dalam bahasa maknawiah, ungkapan “Ehyeh asher
Ehyeh” menunjukan Tuhan ingin berkata pada musa bahwa “janganlah kau
berfikir tentang aku, namun pikirkanlah dirimu sendiri.”[3]
Dari kisah ini, secara umum menyebut nama Tuhan merupakan hal yang dianggap
tabu bagi pemeluk Yahudi bahkan dalam penulisan pun mereka menggunakan inisial YHWH
dalam mengungkapkan istilah Yahweh.
Tidak
hanya dalam tradisi Yahudi, dalam Islam pelarangan memikirkan Tuhan juga pernah
menjadi acuan pelarangn ilmu kalam umat Islam mengenal tafakkaru fi khalq
Allah wa la tafakkaru fi dzat Allah “pikirkanlah ciptaan Allah, jangan
pikirkan dzat (wujut materi) Allah”. Kesamaan ini menunjukan bahwa antara umat
Yahudi dengan Islam memiliki kesamaan perlakuan dalam memproyeksikan Tuhan
sebagai sesuatu yang sacral dengan member sekat antara Ia dengan manusia.
Secara lebih jauh, antara keduanya mengajukan Tuhan sebagai sosok yang tidak
dapat dijangkau akal.
[1] Wilfred
Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-Agama (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 76.
[2] Septuagint
adalah terjemahan kitab suci bahasa Yahudi ke dalam bahasa yunani yang
dilakukan beberapa abad sebelum masehi.
[3] Keluaran 3:
14, lihat Karen Armstrong, Sejarah
Tuhan (Bandung: Mizan, 2011), hlm. 53.
No comments:
Post a Comment