Muhammad Barir,S.Th.I
catatan Penelitian Lisafa 2015,
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
A.
Introduction
Kesadaran asketik (ascetic awareness) dalam pengertian
lampau dianggap sebagai sebuah bagian dari mitologi normatif dan diasumsikan
jauh dari nilai pragmatis historis. Hal ini tentunya tidak dapat diambil secara
keseluruhan (taken for granted) sebagai sesuatu hal yang final. Banyak
orang mengartikan kesadaran asketik hanya sebatas ruh zuhudiyah sebagai ungkapan
kebencian terhadap kenikmatan dunia. Padahal di dalam kesadaran asketis
terdapat sisi lain yang menjadi nilai esensial berupa sifat kesederhanaan,
kejujuran, dan sekaligus kedisiplinan. Bahkan Max Weber menyatakan bahwa
kesadaran asketik di Jerman difahami sebagai sebuah bentuk motivasi etos kerja
masyarakat untuk selalu berkarya dan berdaya cipta.[1]
Orang akan sepakat bahwa penyebab utama kemiskinan di era modern
adalah monopoli kapitalisme. Berangkat dari sini, jalan satu-satunya untuk
mengentaskan kemiskinan adalah dengan cara menghilangkan penyebab kemiskinan
itu sendiri dengan menghadirkan tandingan dari sistem monopoli dan kapitalisme.
Konsep yang paling sesuai sebagai tandingan dua hal tersebut yang dicari-cari
sebenarnya telah ada bahkan jauh sebelum monopoli dan kapitalisme itu ada.
Para pendahulu telah mencoba untuk mengentaskan kemiskinan dengan
beragam cara. Salah satunya ialah dengan menggunakan kekerasan massif
sebagaimana Revolusi Perancis tahun 1789 dengan runtuhnya penjara Bastille yang
merupakan lambang monarki absolut tahta raja Louis XVI yang berlanjut dengan
putusnya kepala diktator tersebut di papan pancung Guillotin pada tahun
1793 dan sejak itulah hak-hak istimewa para bangsawan dihapus dan kedudukan
warga negara disejajarkan.[2] Namun
ternyata, kekejaman tidaklah bisa dihilangkan dengan kekejaman yang lainnya,
penindasan tidak bisa dihapus dengan penindasan lainnya. Pernyataan tersebut
terbukti bahwa revormasi tidak hanya membawa nilai positif namun malah juga
menjadi pintu gerbang lahirnya kapitalisme.
Pada era kemudian, lahirlah Marx dengan strukturalisme
dialektisnya. Marx mencoba menjelaskan bahwa di dalam budaya kapitalisme
terdapat tiga penyimpangan kondisi masyarakat dalam alienasi. Masyarakat
pekerja akan terasing dari produk mereka sendiri, terasing dari dirinya
sendiri, dan terasing dari masyarakat sosialnya. Menurut Marx, seorang pekerja
pabrik dengan aturan kapitalis akan teralienasi dengan barang yang mereka
produksi sendiri.[3]
Hal-hal tersebutlah yang hanya akan mengakibatkan sekat antara borjuis dengan
proletar dan dari sini akan mengakibatkan strata kelas ekonomi.[4]
Saat ini, perjuangan kelas (class struggle) perlu dibangkitkan kembali
dengan berupaya menumbuhkan kesadaran baru.
Berbeda dengan apa yang dilakukan Marx dan Frederic E. dalam
megentaskan kemiskinan dan penindasan, artikel ini akan menampilkan sisi lain
perjuangan kelas dengan wajah yang berbeda. Dengan melakukan eksplorasi lebih
jauh peranan agama dengan mengkaji ulang makna kesadaran asketik dengan turut
menyertakan fenomena tersebut dalam tradisi Islam dan bagaimana peran dan
urgensinya dalam menata ulang permasalahan budaya individual-konsumtif beralih
menjadi budaya sosial-produktif.
Menurut Fazlur Rahman, masyarakat muslim bisa maju dengan dirinya
sendiri tanpa terpaku pola yang diterapkan oleh Barat, namun untuk melakukan
perubahan sistem sosial tersebut harus diikuti oleh perubahan cara berfikir
masyarakat pula. Dalam era ini dianggap penting untuk terus bergerak menuju
kemajuan dan merumuskan sistem yang lebih kongkrit untuk mengentaskan
kemiskinan dan menghilangkan penderitaan.[5]
Dari sini, membangkitkan topik yang menjembatani antara peran agama dengan proyek
pengentasan kemiskinan merupakan salah satu terobosan dalam mengintegrasikan
agama dengan isu-isu sosial sehingga Agama tidak sekedar difahami sebagai
ajaran normatif namun juga memiliki peran dalam wilayah historis.
Jika berbicara dari sudut pandang praktik keseharian pemeluknya, Islam
merupakan salah satu Agama yang juga memiliki nilai kesadaran asketik dengan munculnya
thoriqoh Sanusiyah di Libya yang didrikan oleh Muhammad bin Ali as-Sanusi yang
mengkolaborasikan antara budaya tasawwuf dengan budaya etos kerja. Beberapa
aspek tentang thoriqoh ini masih berserakan dan belum banyak diketahui behkan
oleh kalangan muslim sendiri, sehingga memunculkan asumsi bahwa dalam Islam
masih tersisa banyak hal menarik tentang kesadaran asketis.
Berangkat dari sini, beberapa hal yang berkenaan dengan agama,
filsafat, dan pengentasan kemiskinan merupakan aspek yang tidak hanya menarik,
namun juga penting untuk dikaji secara lebih dalam lagi. Studi tentang tema ini
juga bisa diawali dengan mencoba mengetahui lebih jauh tentang bagaimana teori
yang berkembang serta sejarah tentang kesadaran asketik? dan bagaimana pengaruh
kesadaran asketik pada problematika kemiskinan saat ini?. Terdapat dua kata
kunci dalam tulisan ini, yakni asketis dan kemiskinan.
B.
Kesadaran Asketis: Makna dan Perkemangannya dalam Tradisi Islam
Asketik (dalam bahsasa Inggris = ascetic) merupakan kata
sifat yang menggambarkan perilaku tertentu. Kata ini berasal dari bahasa Yunani
asketikos yang pada mulanya istilah ini digunakan untuk menyebut seorang
petapa yang mengasingkan diri, namun belakangan istilah ini difahami sebagai faham
ascetic–isme yang menunjukan sebuah ajaran anti budaya konsumtif dengan
melepaskan nafsu basyariyah. Secara lebih jauh, kesadaran asketik juga bisa
dimaknai dengan kepatuhan, disiplin, dan hidup sederhana.[6] Dalam
tulisan ini kesadaran asketis akan ditampilkan dalam dua porsinya sebagai
kesadaran tentang kesederhanaan manusia dan kedua sebagai kesadaran etos kerja
manusia sebagai mahluk aktif-produktif.
Dalam perjalanan sejarah, kesadaran asketik pernah menjadi pemicu
munculnya perubahan. Menurut Max Weber, Kesadaran Asketik bahkan dituding
merupakan sebab terjadinya kapitalisme. Pemeluk Kristiani Barat yang dulu memiliki
kepercayaan tentang keharusan untuk terus berkarya demi Tuhan dan bukan demi
diri pribadi, mengakibatkan karya mereka terus mereka sumbangkan ke dalam kas
dana sosial dan tidak mereka jadikan pemuas konsumsi sendiri. Dengan
berlimpahnya hasil usaha ini, mengakibatkan Barat kebanjiran modal dan modal
inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum kapitalis.[7]
Islam dan Kesadaran Asketik
Kesadaran asketis yang telah ada pada Islam dapat dibuktikan
melalui sosok Muhammad SAW. Nabi merupakan contoh sosok asketik terbaik
sepanjang sejarah yang sederhana namun pekerja keras. Pasca penaklukan Makkah,
Nabi merupakan satu-satunya sosok pemimpin yang tertinggi dari Hijaz sampai
Yatsrib dan runtuhlah semua bangunan kekuasaan-kekuasaan lain di bawah panji
Islam. Dengan prestasi dan kedudukan ini, Muhammad SAW sangat mungkin
mendeklarasikan dirinya sebagai raja saat itu juga dan membangun kehidupan
hedonis, menumpuk kekayaan pada dirinya dengan menarik upeti dari rakyat
seperti kebanyakan budaya raja saat itu, namun anehnya Muhammad SAW lebih
memilih hidup di dalam salah satu ruangan di sudut masjid dengan berbantal batu
dan bertikar pelepah kurma.
Kesederhanaan yang dimiliki Muhammad SAW di atas adalah ajaran dan
sumber nilai kesadaran asketis dalam budaya Islam. Muhammad SWA yang berprofesi
sebagai pedagang berusaha memposisikan dirinya sebagai sosok manusia yang
membutuhkan penghidupan dan terus berkarya dengan bekerja keras tidak
pasif-konsumtif namun aktif-produktif. Sekedar memenuhi kebutuhan hidup,
Muhammad SAW sebagai sosok pekerja keras menolak budaya konsumtif dan lebih
memilih mengisi hari-harinya dengan berpuasa dari fajar hingga Maghrib tiba di
petang hari.
Berangkat dari sini, Islam memiliki ajaran tentang kesadaran
asketik yang unik sebagaimana yang tercermin dari sosok Muhammad SAW sebagai
representasi dari Islam itu sendiri. Untuk itu, menggali dan mengkaji tentang
bagaimana konsep utuh kesadaran asketik versi Islam dari kedua sumbernya
merupakan hal yang bermanfaat bagi perkembangan kajian akademis dan perkembangan
bangunan masyarakat modern yang ideal di tengah maraknya budaya konsumtif.
Asumsi pada hipotesis ini juga akan berguna dalam menonjolkan dua sisi yang
sempat tercecer namun sebenarnya ada pada Islam, yakni sisi Islam sebagai Agama
yang mengajarkan nilai sufistik kesederhanaan dan juga Islam sebagai Agama yang
visioner dalam membangun etos kerja pada masyarakatnya. Para peneliti
sebelumnya hanya menilai Islam dari sisi yang pertama dan melewati sisi kedua,
sehingga menampilkan kedua sisi ini diharap mampu menjadi penyeimbang dan
koreksi kritis studi yang telah lalu.
Menengok Thoriqah
Sanusiyah dan Pemberdayaan Masyarakat di Libya
Munculnya
gerakan asketik dalam Islam juga terjadi pada tahun 1800-an dengan munculnya
sebuah thoriqoh unik yang bermula dari Afrika Utara. Didirikan oleh as-sanusi
al-kabir yang bernama Muhammad bin Ali as-Sanusi (w. 1859).
Thoriqoh ini berjasa besar terhadap pemberdayaan masyarakat miskin di Afrika
Utara. Keberhasilan gerakan ini mengantarkan nama as-Sanusi al-Kabir
sebagai bapak pembaharu. Strategi Thoriqah ini dalam pemberdayaan masyarakat
adalah dengan mendirikan lembaga zawiyah.[8]
Lembaga Zawiyah mulai pertama kali
didirikan di kota Jagbub, kemudian mengalami perkembangan yang pesat sehingga
kemudian as-Sanusi mendirikan zawiyah II di Kufro ketika ia berkunjung ke sana.
Pada masa berikutnya, di Qiru juga didirikan zawiyah yang merupakan karya
puteranya al-Mahdi. Zawiyah-zawiyah yang didirikan di beberapa tempat sangat
berpengaruh terhadap perkembangan sosial kemasyarakatan dan ekonomi penduduk
setempat.
Salah satu konsep pemberdayaan
masyarakat yang dikembangkan di zawiyah adalah tehnik pengelolaan lahan dan
irigasi. Banyak lahan yang dulunya tandus disulap menjadi lahan subur. Berbagai
tanaman serta tumbuhan pada akhirnya dapat menghijau di tanah petani dan dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari mereka. hal ini karna pengelolahan
sistem pengairan yang baik oleh as-Sanusiyah seperti di kota Firafra yang
dulunya tandus berubah menjadi suatu oasis baru di tengah padang pasir.
Kesadaran asketik yang ditanamkan pada
para pengikut thoriqoh sanusiyah adalah budaya sederhana namun terus produktif
dengan banyak berkarya baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Di Zawiyah
para pengikut as-Sanusi diajari kerajinan tangan dan berbagai keterampilan
seperti membuat karpet, patri, bangunan, menenun, menyablon, menjilid buku,
membikin tikar, dan lain-lain, bahkan menurut Ahmad Syarif di Jagbub terdapat
tukang yang pandai membuat senjata api. Zawiyah juga kerap dikunjungi oleh para
saudagar yang berdagang menjual apapun untuk ditukar dengan peralatan dan hasil
tanah zawiyah.
Di Zawiyah didirikan Universitas dan
perpustakaan. Dengan program ini masyarakat badui mulai keluar dari dunia
kegelapan sebelumnya dan merasakan terangnya ilmu pengetahuan. Para santri
belajar dengan selalu diberikan asupan motivasi dari guru-gurunya. Mereka
diajari kerja keras dan tidak mengharap bantuan orang lain. Santri-santri
zawiyat diberikan makanan, tempat tinggal, dan pakaian yang layak, pada pagi
hari mereka diberi kurma dan susu, pada siang hari mereka mendapat hidangan
roti dan sop, dan ketika sore diberikan teh. Setiap jum’at mereka diberi
daging. setiap tahun para santri akan mendapat dua baju, dua kopiah, dua celana
kombor, dua pasang sepatu, dan mendapat jubah bulu dua tahun sekali.
Hampir
tidak pernah ada hari-hari sepi di zawiyah, selalu saja ada yang dikerjakan
disana. Dengan adanya zawiyat masyarakat yang berada di sekitarnya menjadi
tersugesti untuk bekerja keras. Dalam lingkungan zawiyah tidak akan sulit menemukan
para santri yang hilir-mudik mengaji, di lain sudut ada para pengikut yang
bekerja membuat kerajinan-kerajinan, dan pada sudut lain juga terdapat
masyarakat yang mengolah tanah serta tak luput juga suasana yang di tambah
sejuk dengan zikir yang selalu berkumandang dari masjidnya. Keharmonisan ini bahkan
membuat kagum beberapa tokoh yang berkunjung ke zawiyah-zawiyah seperti Ahmad
Muhammad Husnaini pada tahun 1922 yang kemudian menulis buku berjudul The
lost Oasis dan juga pada tahun 1920 kufra dikunjungi Rosita Forbes yang
kemudian menulis The secret of Sahara.
Ketika
gubernur Cirenaica Rosyid pasya berkunjung ke Zawiyah, ia diantar oleh seorang
kepercayaan al-Mahdi untuk berkeliling zawiyah, ia bertanya kepada orang
kepercayaan al-Mahdi tersebut:
“Apakah
sayid al-Mahdi mempunyai senjata?”
“tentu”
(jawab orang itu) ia mempunyai beberapa gudang senjata dan tuan boleh
melihatnya.”
Ternyata
Rosyid Pasya tercengang ketika orang kepercayaan al-Mahdi mengantarkannya ke
sebuah ruangan perpustakaan. Ia baru tahu bahwa yang dimaksut gudang senjata
oleh orang kepercayaan al-Mahdi tersebut ialah perpustakaan yang menyimpan
berbagai macam buku yang menjadi senjata untuk kemajuan umat.[9]
C.
Peran Kesadaran Asketis dalam Problematika Kemiskinan saat ini
Jika berbicara tentang problematika kemiskinan, maka yang tergambar
dalam alam pikiran kita adalah penyakit, anak jalanan yang jauh dari pendidikan
dan deretan rumah dengan lingkungan kumuh. Sayangnya, gambaran-gambaran
tersebut malah lebih banyak terjadi di Negara yang mayoritas berpenduduk
muslim. Menurut sumber PBB, separuh penduduk Bangladesh merupakan masyarakat
dibawah garis kecukupan. 10 % di antara jumlah tersebut terjadi di ibu kota
Dacca yang memiliki jumlah penduduk dua setengah juta jiwa. Di kota tersebut
rawan terjadi kriminalitas, pengemis di mana-mana dan tempat prostitusi
menjamur. Terlibat di dalam lingkaran hitam tersebut 34 % wanita dan 12 %
anat-anak mulai usia 12 hingga 17 tahun.[10]
Dari kasus ini, ada dua hal yang perlu digaris bawahi. Pertama,
kemiskinan yang terjadi di Bangladesh tidak bisa dijadikan alasan untuk
mengeneralisir dan mengklaim Negara berpenduduk mayoritas Islam selalu identik
sebagai Negara miskin. Kedua, Islam tidak dapat disalahkan ketika pemeluknya
mengalami kemiskinan. Hal yang menimpa pemeluk Islam dalam penelitian tersebut—walau
tidak terjadi di semua Negara dengan mayoritas Islam—agaknya berbanding
terbalik dengan cita-cita kemajuan Islam. Jika melakukan interpretasi al-Qur’an
dengan mengambil kata rizki رزق kita
akan menemukan sebuah replika konsep etos kerja. Dalam sebuah surat dalam
al-Quran tepatnya surat Huud ayat 6:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي
الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezekinya”
Kata دَابَّةٍ memiliki arti hewan melata, beberapa ulama pesantran memaknai kata
tersebut dengan gegeremetan yang bergerak di muka bumi, hal ini
dimaksudkan bahwa hewan atau siapapun yang ingin memperoleh rizki dari Tuhan
harus terus bergerak dan berupaya semaksimal mungkin untuk menghidupinya dan
keluarganya.
Dalam wawasan al-Qur’an, Quraish Shihab mengambil salah satu
argument ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya yang menjelaskan bagaimana naluri
kepemilikan itu kemudian mendorong manusia bekerja dan berusaha. Hasil kerja
tersebut apabila mencukupi kebutuhannya—dalam istilah agama—disebut rizki
(rezeki), dan bila melebihinya disebut kasb (hasil usaha). Kalau demikian kerja
dan usaha merupakan dasar utama dalam memperoleh kecukupan dan kelebihan.
Sedang mengharapkan usaha orang lain untuk keperluan itu, lahir dari adat
kebiasaan dan di luar naluri manusia.[11]
Memang, kebiasaan dapat membawa manusia jauh dari hakikat kemanusiaannya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa jalan pertama dan utama yang diajarkan
Al-Quran untuk pengentasan kemiskinan adalah kerja dan usaha yang diwajibkannya
atas setiap individu yang mampu. Puluhan ayat yang memerintahkan dan
mengisyaratkan kemuliaan bekerja. Segala pekerjaan dan usaha halal dipujinya,
sedangkan segala bentuk pengangguran dikecam dan dicelanya.
Al-Alusi pernah
menafsiri surat al-Ma’a>rij
(70): 24 dengan menceritakan sebuah tentang kisah Abu Dzar, dari Abu Bakar bin Abu Syaibah, Al Ma'rur bin Suwaid berkata:
"Suwaid pernah melewati Abu Dzar di Rabżah, saat itu dia mengenakan kain burdah. Sebagaimana dia, budaknya
juga mengenakan pakaian yang sama. Suwaid lalu bertanya: "Wahai Abu Dzar, sekiranya kamu menggabungkan dua kain burdah
itu, tentu akan menjadi pakaian yang lengkap." Kemudian Abu Dzar berkata:
"Dahulu aku pernah adu mulut dengan saudaraku (seiman), ibunya adalah
orang 'Ajam (non Arab), lalu aku mengejek ibunya hingga ia pun mengadu
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Ketika aku berjumpa dengan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda: "Wahai Abu Dzar, sungguh dalam dirimu masih terdapat
sifat jahiliyah." Maka aku membantah, "Wahai Rasulullah, barangsiapa
mencela laki-laki, maka mereka (para lelaki itu) akan mencela bapak dan
ibunya." Beliau bersabda lagi: "Wahai Abu Dzar, sungguh dalam dirimu
masih terdapat sifat Jahiliyah, mereka semua adalah saudara-saudaramu yang
dijadikan Allah tunduk di bawah kekuasaanmu. Oleh karena itu, berilah mereka
makan sebagaimana yang kamu makan, berilah mereka pakaian sebagaimana pakaian
yang kamu kenakan, dan janganlah kamu membebani mereka di luar kemampuannya.
Jika kamu memberikan beban kepada mereka, maka bantulah mereka."[12]
Kisah Abu Dzar tersebut seolah jauh
dari kebudayaan masyarakat saat ini yang penuh dengan ketamakan hedonis. Menurut
Gus Dur (Abdurrahman Wahid) Sebuah proses maha besar yang melibatkan jutaan
jiwa warga masyarakat, sedang terjadi dalam bentuk yang sama sekali tidak
terduga, liberalisasi. Sajak tombo ati yang merupakan terjemahan Bisri Musthofa
dari kata mutiara Ali bin Abi Thalib yang berisi “perintah agama” untuk
berdzikir tengah malam, mengerti dan memahami isi kandungan kitab suci
al-Qur’ân, bergaul erat dengan para ulama dan berpuasa untuk menjaga hawa
nafsu, adalah hal-hal utama dalam asketisme (khalwah) yang merupakan
pola hidup ideal bagi seorang muslim, yang menempa dirinya menjadi “ orang baik
dan layak” (shaleh). Jika anjuran itu diikuti oleh kaum muslim dalam
jumlah besar, tentu saja keseluruhan kaum muslimin akan memperoleh “kebaikan”
tertentu dalam hidup mereka. Gambaran itu sangat ideal, namun modernisasi
datang untuk menantangnya.[13]
Sehingga kesadaran asketis merupakan penyeimbang zaman yang tanpanya dunia akan
mengalami kegoncangan.
Budaya konsumtif murupakan salah satu hal yang sering dianggap
sepele padahal akan memberikan pengaruh besar. Pemerintah atau ulil amri
yang kuat akan berperan penting dalam melewati ujian ini. Sebaliknya, pemerintah
yang lamah harus siap-siap menunggu waktu untuk menerima kenyataan. Karena
eratnya hubungan antara kebijakan/tindakan pemerintah di bidang ekonomi dengan
pencapaian kesejahteraan, maka jalur politik sangat mempengaruhi terhadap
tercapainya pengentasan kemiskinan.
Gus Dur pernah melontarkan sebuah pertanyaan tentang Indonesia dan
kesejahteraan. Pertanyaan tersebut berbunyi “dapatkah diharapkan akan tercapai
kesejahteraan yang merata bagi bangsa kita?”[14] walau
kalimat tersebut seolah merupakan sebuah pertanyaan, namun pertanyaan tersebut
bukanlah untuk dijawab melainkan untuk dilakukan. Jawabannya nanti bisa
diketahui tentang beranih atau tidaknya bangsa Indonesia banting setir/kemudi
dalam upaya mencapain kesejahteraan. Kalau tidak, berarti kita rela membiarkan
sebagian besar bangsa kita hidup di bawah garis kemiskinan atau tidak jauh dari
garis tersebut. Inginkah kita hal itu akan terjadi, manakala kita ingat tujuan
mendirikan negeri ini?
Dalam konteks ke-Indonesiaan, Dengan diberlakukannya ASEAN Free
Trade Area (AFTA) pada tahun 2015, karakter budaya bangsa sedang dipertaruhkan.
Ujian yang paling tampak adalah ujian budaya konsumtif. Lulus dan tidaknya
bangsa dalam ujian ini sangat bergantung pada kesadaran bangsa itu sendiri,
apakah masyarakat terlena dengan pernak-pernik keindahan beragam produk yang
berharga murah, ataukah bangsa tersebut bisa menjaga keseimbangan dengan tetap
teguh menjaga nilai dan norma yang dimilikinya. Ujian ini juga sekaligus
menjadi sarana belajar ulang tentang tata cara mempertahankan tradisi lama yang
baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Merupakan salah satu hal penting
untuk saat ini adalah introspeksi pola yang ditawarkan Hasan Hanafi tentang
Pembaharuan (tajdid) yang harus selalu diimbangi dengan tradisi (turats)
yang kuat.
Salah satu hal lain yang perlu dipertimbangakan dalam memberdayakan
masyarakat adalah cara dan prosedur yang tepat dalam membangkitkan etos kerja
rakyat miskin. Sedekah yang diberikan oleh sikaya bukan merupakan satu-satunya
jalan yang terbaik. Sedekah terkadang malah akan membuat masyarakat miskin
terlena. Salah satu hal yang perlu difikirkan oleh pemerintah adalah mengenai
pembentukan lembaga pemberdayaan masyarakat dengan modal dan beberapa pelatihan
skill yang dibutuhkan dalam membangun usaha mandiri rakyat menengah ke bawah.
Selain hal tersebut, penyediaan pasar bagi para pedagang kecil juga
perlu diperhatikan. Dengan banyaknya monopoli berwajah minimarket saat ini yang
tersebar di mana-mana terkesan mematikan para pedagang kecil. Dengan fasilitas
yang lebih lengkap dan kebebasan memilih barang kebutuhan membuat pembeli akan
lebih memilih pergi ke minimarket daripada harus ke tokok kecil yang serba seadanya.
Hal ini perlu dilakukan agar pendapatan tidak hanya berputar terus-menerus pada
pemodal.
Kekayaan yang hanya berputar pada satu pihak tentunya akan
menghisap darah pihak lainnya. Untuk itu usaha dan kerja individu harus
diarahkan untuk pembangunan sosial. Namun hal tersebut tidak dapat dijadikan
alasan untuk melayani masyarakat lain agar bermalas-malasan. Sumbangan berupa
pemberian uang langsung tidaklah bisa mencetak masyarakat produktif, namun
sebaliknya, hal tersebut malah akan mencetak kader rakus dengan budaya
konsumtif.
Menurut Farid Esack, kemampuan untuk selalu siap
membantu orang lain pada saat orang lain tidak pernah bisa berbuat sebaliknya
pada kita, itulah jalan cinta. Seorang sahabat Farid Esack yang bernama Ashiek
menyatakan bahwa pepohonan mengembangkan cabang-cabangnya untuk tetap bisa
bertahan hidup, namun suatu ketika seseorang datang dan berteduh di bawah pohon
tersebut. Pepohonan telah memberikan keteduhan terhadap seseorang tersebut,
padahal pepohonan itu mengembangkan cabang dan dahan dalam proses perimbunan
tidak bermaksud menaungi seseorang tadi, namun ia malakukan hal demikian adalah
untuk dirinya sendiri.[15] Hal ini menggambarkan bahwa seorang manusia yang
berbuat kebaikan kepada sesamanya sebenarnya hal itu adalah akan kembali pada
dirinya sendiri.
Beragam cara yang bisa dilakukan untuk memberi. Di antaranya adalah
memberi lapangan kerja, memberi jaminan kesehatan, maupun memberi jaminan
pendidikan. hal-hal seperti itu penting dilakukan daripada memberi bantuan
tunai langsung yang hanya akan membuat manja masyarakat yang terus-menerus
mengulurkan tangan. salah satu negara yang berhasil meningkatkan perekonomiannya adalah
Bangladesh.
Grameen Bank dan Solusi Pemberdayaan Bangladesh
Momen yang menjadi titik balik suksesnya Bangladesh adalah ketika Negara ini diterjang bencana alam. Bermula pada tahun
1976, seseorang bernama Muhammad Yunus berusaha mencari solusi dengan mencari
modal dari Bank of Bangladesh. Setelah berhasil meyakinkan Bank of Bangladesh
karena ia tidak memiliki banyak aset, maka ia hanya meminjam modal bank dengan
memberikan jaminan diri dan nyawanya. Kemudian hal berikutnya yang ia lakukan
adalah membagi-bagikan pinjaman tersebut kepada masyarakat kecil yang terkena
bencana untuk dijadikan modal usaha. Sedikit demi sedikit usaha yang ia namai
grameen Bank ini sukses dan ia dinobatkan sebagai peraih nobel pada tahun 2006.[16]
Apa yang dilakukan oleh Muhammad Yunus menunjukan bahwa majunya
suatu perekonomian tidak perlu menunggu waktu untuk memiliki modal, namun hal
penting yang perlu dilakukan adalah kemauan dan langsung memulai untuk
melakukan suatu tindakan real. Bahkan Grameen Bank yang dirintis Muhammad Yunus
berhasil menjadi penyumbang terbesar kedua pendapatan Negara setelah devisa
pekerja di luar negeri.
Indonesia dan Tantangan Masa Depan Penanggulangan Kemiskinan
Dilansir dari data perwakilan World Bank di Jakarta, Indonesia
sedang berada di ambang era yang baru. Sesudah mengalami krisis multi-dimensi
(ekonomi, sosial, dan politik) pada akhir tahun 1990-an, Indonesia sudah
kembali bangkit. Secara garis besar, negeri ini telah pulih dari krisis ekonomi
yang menjerumuskan kembali jutaan warganya ke dalam kemiskinan pada tahun 1998
dan telah menurunkan posisi Indonesia menjadi salah satu negara berpenghasilan
rendah. Belum lama ini Indonesia telah berhasil kembali menjadi salah satu
negara berkembang berpenghasilan menengah. Angka kemiskinan yang meningkat
lebih dari sepertiga kali selama masa krisis telah kembali pada kondisi sebelum
krisis. Sementara itu, Indonesia telah
mengalami transformasi besar di bidang sosial dan politik, berkembang dengan
demokrasi yang penuh semangat dengan adanya desentralisasi pemerintahan, serta
keterbukaan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan masa lalu.[17]
Dengan adanya keterbukaan pemasaran produk baik dari dalam,
terlebih dari luar negeri. Saat ini, Indonesia dihadapkan dengan masalah
tawaran produk global. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan masyarakat
yang memiliki tingkat konsumsi tinggi. Hal ini mengakibatkan perusahaan luar
negeri melirik Indonesia sebagai lahan investasi yang sangat empuk. Dengan
adanya hal tersebut, mental masyarakat harus terus dipersiapkan agar tidak
terlalu mudah tergiur tawaran beragam fasilitas yang ada.
Dalam ujian globalisasi, masyarakat yang berhasil adalah masyarakat
yang dapat terus berkarya dan berproduksi, namun juga terus menjaga hasrat
konsumsi. Utuhnya kestabilan sosial dengan sistem desentralisasi juga menjadi
cirri masyarakat yang berjiwa maju. Beberapa fasilitas publik di Indonesia saat
ini masih terpisah dan jauh dari jangkauan masyarakat pedesaan. Dalam banyak
kasus, masyarakat masih sulit menjangkau rumah sakit. Kebanyakan rumah sakit
dengan fasilitas yang memadai hanya terdapat di jantung kota. Bagi masyarakat
pedesaan akan kesulitan untuk membuka akses fasilitas tersebut, belum lagi
ketika mereka dihadapkan dengan kondisi darurat. Akibat hal tersebut, orang
akan berfikir untuk hidup di kota dengan lengkapnya fasilitas dan bekerja di
sana. Dari sinilah salah satu alasan kenapa tingkat kemiskinan di desa lebih
tinggi.
Selain itu, desentralisasi yang perlu dibuka adalah bidang
industri. Pembukaan lapangan kerja sebanyak-banyaknya perlu diperluas hingga
menyentuh masyarakat pedesaan sehingga tidak terjadi penumpukan perputaran uang
hanya berputar di daerah perkotaan. Industri yang baik juga harus disesuaikan
dengan kemampuan masyarakat. dan untuk mendongkrak kemampuan masyarakat salah
satu solusinya adalah dengan pendidikan untuk meningkatkan skill dan
produktifitas.
Ada empat elemen yang dapat mendongkrak kemajuan ekonomi suatu
daerah, yakni pusat pemerintahan, rumah sakit/fasilitas publik,
universitas/tempat pendidikan, dan industri. Kebanyakan Negara maju telah
mempertimbangkannya sebagai prosedur berdirinya sebuah daerah. Majunya empat
hal tersebut bisa dijadikan acuan dalam manial majunya suatu kota. Hal tersebut
dapat dilihat dengan mencermati Negara-negara maju yang telah menerapkannya dan
dapat dipastikan diiringi dengan majunya keempat elemen tersebut. Sedangkan
daerah yang tidak begitu maju biasanya dipengaruhi dengan tidak majunya atau
bahkan tidak adanya salah satu atau kesemua dari keempat elemen tersebut.
Tidak selalu kesadaran asketik hanya bisa tumbuh sebagai sebuah
kontrol individu. Kesadaran asketik juga diharapkan mampu tumbuh di dalam birokrasi
pemerintah. Sosok Umar bin Abdul Aziz yang sederhana malah lebih berhasil
membangun kepercayaan rakyanya dibanding dengan pemimpin hedonis. Konsep
berfikir seperti tawaran Machiavelli (1469-1527) yang mempengaruhi ideologi
politik Jerman melalui karyanya “the Prince” tidaklah selalu bisa
dibenarkan—walau juga tidak selalu bisa disalahkan—. Dalam beberapa kasus, pemimpin yang realistis
dan mengabaikan kedekatan kepada rakyatnya malah harus melepaskan jabatannya
dengan tidak terhormat.
Kesadaran asketik memberikan bangunan semangat etos kerja dan upaya
meningkatkan kwalitas individu untuk berkarya membangun keseimbangan sosial.
Dengan keseimbangan sosial, kesetabilan suatu masyarakat juga akan dapat
terkontrol dan terjaga. Untuk membangun tatanan masyarakat ke depan diperlukan
komitmen bersama untuk mengumpulkan karya dan hasil individu demi kepentingan
sosial terutama untuk memajukan keempat elemen kemajuan suatu daerah yang
tentunya dilakukan dengan desentralisasi atau pemerataan.
Manusia yang hidup di dunia memang memerlukan dunia sebagai lahan
usahanya, namun bukan menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya. Bagaimanapun
berlebihan dalam segala hal merupakan tindakan yang tidak sewajarnya. Bahkan
hal mubahpun jika dilakukan dengan berlebihan bisa memberikan dampak negatif.
Yang baik adalah menempatkan sesuatu sebagaimana kadar dan porsinya
masing-masing.
D.
Kesimpulan
Ada tiga aspek yang bisa dipetik dari proses berfikir dengan
kesadaran asketik. pertama, perubahan haluan dari budaya pasif-konsumtif
ke arah aktif produktif merupakan salah satu tawaran pengentasan kemiskinan.
Dalam beberapa kasus, miskin tidaklah diakibatkan karena kecilnya penghasilan
seseorang, namun diakibatkan besarnya pengeluaran seseorang. Godaan yang muncul
pada generasi saat ini adalah tersedianya berbagai tawaran fasilitas-fasilitas
media hiburan yang sebenarnya menjadi kebutuhan skunder namun disugestikan
kepada publik sebagai kebutuhan primer. Budaya konsumtif seperti ini tentu
perlu diluruskan dengan sifat kesederhanaan sebagaimana prinsip dasar Agama
ukhrowi. dari sini juga akan tampak peran agama sebagai kontrol sosial dalam
realitas historis.
Kedua, menumbuhkan
budaya aktif-produktif. Manusia sebagai khalifatullah di atas bumi
berkewajiban menjaga dan terus bergerak sebagaimana term da>bbah yang berarti
melata dalam arti terus bergerak menuju rizki dari Tuhan. Prinsip masyarakat
produktif ini juga penting untuk menjaga kesetabilan ekonomi secara sosial.
Berkarya tidak hanya bagi diri sendiri namun juga bagi orang lain dengan
memajukan pendidikan, kesehatan, tempat tinggal dan biaya hidup yang belum bisa
dijangkau oleh masyarakat miskin.
Ketiga, Peran serta
pemerintah menjadi aspek penting sebagai ulil ‘amri terlebih untuk
menjaga pola distribusi dengan lebih banyak membuka lapangan kerja. Keadilan
dalam penyediaan pasar dan pembatasannya dianggap perlu dalam menjaga
keseimbangan dan pemerataan pendapatan agar kekayaan tidak menumpuk dilumbung
para pemodal kapitalis. Desentralisasi berbagai sarana publik juga menjadi
salah satu hal penting dalam aspek ini, termasuk di dalamnya dalah pemerataan
hingga fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja yang sampai
menyentuh ke desa-desa.
Jika dilihat dari beberapa aspek, tulisan ini memang terkesan
idealis. Hal tersebut wajar karena bagaimana pun setiap tindakan manusia
memerlukan semangat konseptual dari mimpi-mimpi. Selain itu, tulisan ini dalam
bentuknya sebagai sebuah pemikiran, tentunya masih bisa dikritisi lebih lanjut
karena kebenaran manusia merupakan kebenaran relatif. Kebenaran sejati dan
niscaya merupakan kebenaran Tuhan yang bersifat absolut. Menjadi hal yang patut
dipertahankan adalah terus berusaha mencari kebenaran. Wallahu a’lam bi
ash-shawab.
Daftar Pustaka
al-Alusi, Mahmud. Ru>h}ul Ma’a>ni (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2009).
Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, (Jogjakarta:
Djambatan, 1995).
Esack, Farid. On Being a Muslim (Jakarta: Erlangga, 2002).
Essay World
Bank, “Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”, The World Bank
Office Jakarta, Jakarta, November 2006.
Marx, Karl and Engels, Friedrich. German Ideology (New York:
Prometheus Book, 1998).
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity (Chicago: The University
of Chicago Press, 1984).
Rana, Muhammad Sohel. “the Advance of Grameen Bank: a Simple Story
of Micro Credit”, makalah, dipresentasikan pada Diskusi Ilmiyah Dosen Tetap UIN
Sunan Kalijaga tanggal 15 Agustus 2014.
Shihab, Quraish. Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996).
Subhi, Nabil ath-Thawil. Kemiskinan dan Keterbelakangan di
Negara-Negara Muslim (Bandung: Mizan, 1993).
Sungkar, Lubna. “Perang Golongan Borjuis pada Tahun 1789”, jurnal
Sejarah Citra Lekha, Vol. XI, No. 1, Februari 2007.
Syafii, Inu Kencana. Ilmu Politik (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010).
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1995).
Wahid, Abdurrahman. Islam ku, Islam Anda, Islam Kita
(Jakarta: Democracy Project, 2011).
Weber, Max. Essays in Sociology (New York: Oxford University
Press, 1946).
----------------. The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism
(London: Routledge, 2005).
[1] Max Weber, Essays
in Sociology (New York: Oxford University Press, 1946), hlm. 30.
[2] Inu Kencana
Syafii, Ilmu Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Hlm. 194.
[3] Karl Marx and
Friedrich Engels, German Ideology (New York: Prometheus Book, 1998).
hlm. 54.
[4] dari bahasa
Latin “Burgensis” yang sinonim dengan le marchand yang artinya
adalah pedagang. Kaum borjuis atau kaum kota pada akhirnya identik dengan
penyedia modal sebagai pemilik sumber daya. Arti borjuis menjadi lebih
eksklusif yakni sekelompok pengusaha yang tidak mau disejajarkan dengan bangsa
perancis yang kebanyakan adalah petani kemudian muncul istilah bourg yakni
kota dan dari situlah masyarakat borjuis seringkali disebut masyarakat
perkotaan, sedangkan buruh (Proletar)
merupakan kelas pekerja sebagai pihak yang mengolah sumber daya. Lihat: Lubna Sungkar, “Perang Golongan
Borjuis pada Tahun 1789”, jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. XI, No. 1,
Februari 2007, Hlm. 62.
[5] Fazlur Rahman,
Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago Press, 1984),
hlm. 90.
[6] Tim Penulis
Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995), hlm. 24.
[7] Max Weber, The
Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (London: Routledge, 2005), hlm
102.
[8] Tempat
kegiatan yang menjadi pusat pendidikan, dakwah, markas, dan juga tempat yang
menjadi pusat pengaturan pergerakan. Istilah ini memiliki kemiripan dengan
istilah pesantren jika memahami zawiyat dalam konteks keindonesiaan.
[9] Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern Di
Timur Tengah, (Jogjakarta: Djambatan, 1995). Hlm. 82.
[10] Nabil Subhi
ath-Thawil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di Negara-Negara Muslim
(Bandung: Mizan, 1993), hlm. 39.
[11] Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 447.
[13] Abdurrahman
Wahid, Islam ku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: Democracy Project,
2011), hlm. 281.
[14] Abdurrahman
Wahid, Islam ku, Islam Anda, Islam Kita… hlm. 194.
[15]
Farid Esack, On
Being a Muslim (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 93.
[16] Muhammad Sohel
Rana, “the Advance of Grameen Bank: a Simple Story of Micro Credit”, makalah,
dipresentasikan pada Diskusi Ilmiyah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga tanggal 15
Agustus 2014. Hlm 2.
[17] Essay World Bank, “Era Baru dalam
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”, The World Bank Office Jakarta, Jakarta,
November 2006. Hlm. Ix.
No comments:
Post a Comment