Oleh : Muhammad Barir, S.Th.I
A.
Pendahuluan
Bahasa bukan sekedar alat untuk berfikir, namun model yang darinya
pemikiran tersebut akan terbentuk, karena “masyarakat bertutur sebagaimana
mereka berfikir dan masyarakat berfikir sebagaimana mereka bertutur”.[1]
Dalam penggunaannya, Bahasa yang diuraikan dalam sebuah pernyataan diperuntukan
dengan tujuan menyampaikan pesan dari orang pertama (author) kepada
orang kedua sebagai pendengar (audience), namun dalam proses
transformasi pesan ini, seringkali terjadi misskomunikasi sehingga
mengakibatkan gugurnya tujuan (necessity).
Dengan permasalahan seperti ini, filsafat bahasa menjadi semacam
renungan dalam memahami berbagai persoalan kebahasaan yang darinya bahasa tidak
sekedar menjadi barang yang mati, namun barang yang hidup dan bisa dikaji seluk
beluknya. Karena bahasa memiliki pengaruh langsung terhadap keberlangsungan
manusia.
Dalam tulisan ini, beberapa topik dalam kajian filsafat bahasa akan
coba dikaji lebih jauh. Di antara topik-topik tersebut adalah makna, modalitas,
dan Kemungkinan dunia semantis. Sedangkan beberapa tokoh juga—karena
keterkaitanya dengan pembahasan kali ini—akan sedikit mengisi beberapa lembar-lembaran
berikutnya dalam tulisan ini berhubungan dengan gagasan mereka mengenai topik.
Di antara tokoh-tokoh tersebut terdapat nama-nama seperti Saul A. Kripke (1940)
dan David Lewis (1936) yang keduannya turut memberikan andil dalam kajian
filsafat bahasa terutama mengenai kajian semantika dan makna.
B.
Makna dan Teks
Makna merupakan unsur yang terpenting dalam kajian semantika. Ada
dua instrumen yang bisa digunakan sebagai alat dalam mengungkap makna, pertama
adalah teks dan kedua adalah ekspresi. Teks mengandung nilai kebenaran
sedangkan ekspresi merupakan penjelas dalam menyampaikan makna.[2]
Teks merupakan kumpulan entitas-entitas yang digunakan sebagai
simbol dalam mengungkap makna.[3]
Lebih jauh dari susunan teks, memiliki korelasi dengan ekspresi yang mendasari
susunan epistemik dalam terbentuknya pernyataan. Baik teks maupun ekspresi,
keduanya merupakan alat pendukung dalam memahami sebuah gagasan dan maksud.
Teks sendiri dapat dikaji melalui dua model analisis. Pertama
adalah analisis paradigmatik, yakni analisa terhadap alasan-alasan yang
mendasari pilihan kata (diksi). Contoh dari hal ini adalah sebagaimana
pemilihan kata rijal dalam surat an-Nisa ayat 34: ar-rijal
qowwamuna ala an-nisa “laki-laki adalah pemimpin atas perempuan”.[4]
Analisis paradigmatik digunakan untuk mempertanyakan mengapa diksi yang dipilih
adalah rijal, padahal masih terdapat diksi lain yang setara dengan makna
rijal, yakni dzakar. Beberapa penafsir dengan menggunakan
analisis paradigmatik mencari alasan penggunaan kata rijal dan menemukan
bahwa kata tersebut dipilih karena rijal memiliki makna yang lebih
inklusif jika dibandingkan dengan kata dzakar. Rijal tidak sekedar
menunjukkan makna laki-laki secara fisik maupun biologis, namun rijal menunjukkan
makna sifat, yakni sifat maskulin atau kejantanan. Dari sini, beberapa mufassir
mengklaim bahwa tidak hanya laki-laki saja yang dapat menjadi pemimpin, namun
juga perempuan.
Analisis kedua yakni analisis sintagmatis. Analisis ini digunakan
dalam mengetahui hubungan suatu kalimat atau pernyataan dengan kalimat-kalimat
lain yang ada di sekitarnya baik sebelum dan sesuadahnya. Contoh dari analisis
ini sebagaimana interpretasi atas ayat 4 surat al-Ma’un 104: “maka,
kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat,” pernyataan dalam ayat ini secara
tekstual mengandung kejanggalan karena tidak malah mendapat pujian, orang-orang
mengerjakan sholat malah mendapat celaan. Dengan menggunaan analisis
sintagmatis dengan menelusuri ayat setelahnya—yakni ayat 5 dan 6—, barulah
kejanggalan pada ayat tersebut hilang dengan mengetahui bahwa yang dimaksud
kecelakaan bagi orang-orag yang sholat adalah
hanya kepada mereka yang mengerjakannya dengan lalai dan diikuti rasa
sombong (riya’).
C.
Saul Kripke dan Konsep Kemungkinan Dunia Semantis
Dalam sebuah pernyataan, baik dalam gramatikal maupun leksikal,
makna memiliki kemungkinan untuk dapat ditangkap melalui logika literal, namun
sebenarnya tidak semua apa yang disampaikan secara literal telah mewakili
maksud pernyataan disampaikan. Menurut Kripke (1940), kebutuhan yang menjadi
alasan suatu pernyataan muncul merupakan gagasan metafisika. Karena makna
adalah sesuatu yang tersembunyi dalam teks, sehingga makna terkadang bisa
memiliki arti berbanding terbalik dengan apa yang termaktub dalam teks. Sebagaimana
modalitas dalam suatu bahasa mengandung prasangka (necessity),
kemungkinan (posibility), dan ketidakmungkinan (impossibility). Dalam
mamahami sebuah teks, bagaimanapun peran prasangka tidak dapat diabaikan, meski
sifatnya yang abstrak, namun dalam prasangka tetap memiliki celah kebenaran
nilai (truth value gap).
Dalam sebuah contoh seseorang ayah yang putus asa menasehati
anaknya berkata: “silahkan lakukanlah apa yang ingin kau lakukan..!” pernyataan
ini tidak berarti bahwa sang ayah memerintahkan anaknya untuk meneruskan
perbuatan buruknya, namun malah sebaliknya, pernyataan perintah tersebut lebih
mengarah pada larangan untuk tidak meneruskan melakukan tindakan buruk. Dengan
kasus-kasus yang serupa seperti ini, logika literal dianggap telah gagal dalam
mengungkap makna atau hanya menjadi logika palsu. Di sinilah letak semantika
dalam mengungkap makna prediksi atau prasangka (presupposition).
Kripke memulai penelusuran makna ialah berawal dari teks. Setelah
itu, makna dasar teks disinambungkan berdasarkan relasinya dengan dunia aktual
(actual world). Makna yang telah teruji dengan realitas disertai dengan
pembuktian-pembuktiannya akan menjadi kebenaran yang disebut sebagai kebenaran
posteriori.
model logika
ex. p : Gunung-gunung dapat terbang
ex. q : Daun
memiliki warna hijau
a (…) = …
|
a : the assignment function
& : Conjunction
v : disjunction
if 0=false and 1=truth
hasil :
Gunung-terbang
|
Daun-hijau
|
a
(p)=0
|
a (q)=1
|
a
(P&Q)=0
|
a (PvQ)=1
|
Possible Worlds Kripke
ex. p :
Gunung-gunung dapat terbang
Wo-R-W1
|
@ : Actual World
a : the assignment function
W : the set of worlds
R : the accessibility relation
False Truth
Asumsi : pernyataan
dianggap benar dan salah sesuai dengan dunia dan konteksnya masing-masing. Melalui
sudut pandang sejarah gunung yang terbang merupakan hal yang tidak bisa dibuktikan,
sebaliknya hal ini berubah menjadi suatu kebenaran jika hal tersebut dibataskan
pada sudutpandang dunia Islam yang menggambarkan hari akhir kehancuran bumi
dengan bukti nash kitab suci agama tersebut al-Qari’ah 101: 5.
D.
Kontrafaktual (Counterfactuals) Robert Stalnaker dan David
Lewis
Dalam teori kontrafactual (counterfactual) Robert Stalnaker
dan David Lewis mencoba memberikan arah yang berbeda dan cukup berani. Berbeda
dengan Frege maupun Russell yang melandasi makna teks dengan berpegang pada
fakta. Robert Stalnaker dan David Lewis justru melakukan sebaliknya. Menurut
keduanya, dalam memahami sebuah bahasa, memang diperlukan pengetahuan atas
fakta yang terjadi, namun fakta yang sebenarnya, tidak mungkin terjadi tanpa
adanya alasan atau sebab. Dengan sendirinya fakta tersebut menjadi akibat dari
sebab pertama. Jika sebab tidak ada, barangkali faktapun tidak akan ada.
Dengan pendekatan kontrafaktual tersebut, makna yang lebih luas
akan masuk secara deras. Sehingga kemungkinan-kemungkinan kebenaran akan
menjadi semakin kaya. Lebih jauh, dari hal ini, pilihan-pilihan makna akan
semakin banyak. Dalam sebuah contoh dari teori ini adalah sebagaimana air.
Bagaimana andaikata unsur dalam air tidak terdiri dari molekul H²O? akankah air
akan mendidih pada titik didih 100 °C?, atau membeku pada titik 0 °C?.[6]
contoh lain:
“Surat al-Lahab turun dalam merespon
tindakan Abu Lahab yang mencela Muhammad SAW”
Dengan teori kontra faktual, kemungkinan-kemungkinan yang
bertentangan dengan realitas akan dihimpun sedemikian rupa seperti halnya
berupa pengandaian-pengandaian jika saat itu Abu Lahab tidak mencela
Rasulullah, apakah surat al-Lahab juga tidak akan turun?, atau bagaimana jika
yang mencela adalah sahabat lainnya, misalkan Abu Jahal, akankah nama suratnya
pun akan berubah menjadi al-Jahal.
E.
Visi Montagonian
Dalam mengungkap makna, selain menggunakan kontrafaktual dan
modalitas, hal lain yang sangat membantu menurut Montague adalah aturan
sintaksis dengan mempertimbangkan bahasa klasik yang masih murni. Bahasa
natural memiliki kekuatan dalam mengungkap pemahaman, bermula dari bahasa
natural ini pulalah bahasa formal akan terbentuk. Ketika manusia berfikir, maka
seketika itu secara natural ia akan membuat pernyataan. Dengan memposisikan
secara sejajar antara semantika dengan aturan sintaksis, maka hal yang akan
dapat diketahui adalah tentang bagaimana bahasa bisa terbentuk dan bagaimana
aturan-aturan tersebut diterapkan.
Dalam penerapannya, aturan sintaksis bisa digunakan dalam memahami
sebuah pernyataan adalah dengan tiga tahap. Pertama adalah dengan mengetahui
cakupan subjek (S), kedua adalah dengan mengetahui kondisi prediket (P), dan
ketiga adalah dengan melakukan klarifikasi kesesuaian hasil dengan pernyataan
sebelumnya. Dalam sebuah contoh kasus sebagaimana seseorang yang berkata:
“setiap kalian semua adalah pemimpin,”
Secara literal, pernyataan ini mengandung ambiguitas, karena dalam
realitasnya tidak semua orang memiliki kepemimpinan, sehingga yang perlu dicari
adalah kepemimpinan yang bagaimana yang diinginkan dalam pernyataan ini?.
Dalam tahap pertama, hal yang harus dicarai adalah siapa yang
dimaksud dengan kalian? Semua umat manusiakah atau hanya segelintir
orang yang hadir saat ucapan tersebut disampaikan?. Memang kata “setiap” menunjukan sebuah
ketidakterbatasan subjek, namun tidak menutup kemungkinan bahwa apakah predikat
pemimpin hanya ditujukan pada orang-orang yang saat itu menghadiri majlis Nabi.
Jika yang dikehendaki adalah kepada semua umat manusia, maka pertanyaan kedua
adalah tentang bagaimana kriteria pemimpin yang dimaksud, pernyataan ini benar
jika subjek dapat memenuhi criteria tersebut. dan pada tahap ketiga adalah
tentang bagaimana hasil berupa jawaban atas pertanyaan tersebut disesuaikan
dengan pernyataan. Dan pada kesimpulannya, pernyataan di atas bisa dinilai
benar jika yang dimaksud kalian adalah semua umat manusia yang menjadi
pemimpin karena pemimpin tidak hanya terbatas pada orang yang memiliki
kekuasaan atas wilayah dan massa, namun cukup dengan menjadi pemimpin bagi
dirinya sediri. Secara lebih jauh, pernyataan pemimpin yang diucapkan oleh Nabi
ialah dengan diksi raa’ yang berarti “penggembala” hal tersebut menjadi
bukti bahwa yang dimaksud pemimpin adalah orang yang merawat sehingga kata ini
tidak terbatasi hanya kepada penguasa.
Daftar Pustaka
Jorge J. E. Gracia, a Theory of Textuality: the Logic and
Epistemology (New York: State University of New York Press, 1995).
Saul Aaron Kripke, Naming and Necessity (Harvard: Harvard
University Press, 2001).
Scott Soames, Philosophi of Language (Princeton: Princeton
University Press: 2010).
[1] Muhammad Abid
al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) hlm. 224.
[2] Scott Soames, Philosophi
of Language (Princeton: Princeton University Press: 2010). Hlm. 50.
[3] Jorge J. E.
Gracia, a Theory of Textuality: the Logic and Epistemology (New York:
State University of New York Press, 1995), hlm. 51.
[4] Al-Qur’an
al-Karim, Diponegoro, 2001.
[5] Saul Aaron
Kripke, Naming and Necessity (Harvard: Harvard University Press, 2001),
hlm. 35.
[6] Scott Soames, Philosophi
of Language (Princeton: Princeton University Press: 2010). Hlm. 58.
No comments:
Post a Comment