Dipersembahkan kepada:
Disusun Oleh :
Muhammad Barir,
S.Th.I
YOGYAKARTA
2015
A.
Pendahuluan
Ta’wil yang menjadi salah satu konsep dalam keilmuan al-Qur’an
sebenarnya telah ada dalam perjalanan sejarah masa lalu. Kata tersebut pernah
digunakan dalam menggambarkan kisah nabi yusuf. Tepatnya istilah tersebut
digunakan untuk menyebut upaya beliau dalam memahami mimpi teman tahanannya dan
mimpi raja. Al-Qur’an menggunakan istilah ta’wil untuk menggambarkan kemampuan
Nabi Yusuf tersebut yang merupakan anugerah dari Allah SWT.
Selain itu, istilah ta’wil juga digunakan sebagai konsep memahami
ayat mutasyabbihat. Perdebatan tersebut mengalir berdasarkan pemahaman akan
adanya dua pembagian karakter ayat al-Qur’an. Yakni mhkam dan mutasyabbih.
Beberapa ulama ada yang memahami bahwa ayat mutasyabbih dapat dita’wilkan oleh
orang-orang yang mendalam ilmunya (رسخون), dan beberapa ulama ada yang menganggap
bahwa ayat mutasyabbih tidak dapat dita’wilkan oleh siapa pun selain Allah SWT.
Berangkat dari beberapa perdebatan di atas, terdapat dua rumusan
masalah yang bisa diambil:
1. Bagaimana definisi dan konsep mengenai ta’wil?
2. bagaimana sejarah ta’wil al-Qur’an?
B.
Definisi dan Konsep mengenai Ta’wil
Ada dua istilah yang sering dipakai ulama dalam merepresentasikan
sebuah upaya pengungkapan makna atas al-Qur’an. Kedua istilah itu adalah tafsir
dan ta’wil. Secara etimologis, kata “tafsir” berasal dari bahasa Arab
Fassaro-yufassiru tafsiron, yang bermakna memberi petunjuk (Idzoh) dan
memberi penjelasan (tibyan), dalam lisan al-Arab dijelaskan bahwa bentuk
mashdar al-Fasr bernakna “menyingkap sesuatu yang
tertutup” dan dalam bentuk mashdar at-tafsir bermakna menyingkap sesuatu
makna yang musykil dan pelik dalam al-Qur’an.[1] Menurut
Ibn Faris (w 395 H) dalam karyanya al-Maqayis fi al-Lughah tafsir yang
terdiri dari fa’-sin-ra’ yang mengandung arti keterbukaan dan kejelasan.
Dari sini, kata fasara bersesuaian dengan kata safara, hanya saja
yang pertama mengungkap sesuatu hal yang bersifat konseptual, sedang yang kedua
mengungkap hal-hal materi yang bersifat inderawi. Sedangkan, kata fasara
yang mengikuti bentuk wazan fa’ala menjadi fassaro-tafsiran, menunjukan
makna kesungguhan dan pengulangan dalam mengungkap makna.[2]
Ta’wil berasal dari
kata ‘aul yang bermakna kembali. Ta’wil merupakan upaya untuk
mengembalikan maksud ayat pada makna yang sebenarnya. Beberapa ayat al-Qur’an
dianggap banyak memiliki makna majazi, sehingga penta’wil mencoba menggeser
makna dari sisi tekstualitas redaksi ayat. Menurut Quraish Shihab, ta’wil adalah
mengembalikan makna kalimat kea rah yang bukan makna harfiyahnya. Terlepas dari
pemaknaan ini, beberapa ulama ada yang menyamakan antara tafsir dengan ta’wil
dan ada pula yang membedakannya. Beberapa mufassir juga bahkan menamai kitab
tafsirnya dengan menggunakan istilah ta’wil. Hal ini sebagaimana
ath-Thabari (839-923 M) yang menamai kitabnya dengan “Jami’ al-Bayan fi
Ta’wil ayat al-Qur’an”. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Muhammad
Ibrahim al-Qasimy (1866-1914 M) yang menamai karyanya dengan Mahasin
at-Ta’wil. [3]
C.
Sejarah Ta’wil
1.
Ta’wil Era Sahabat
Abdullah
Ibn Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abbas menjadi salah satu
nama yang paling populer yang sering dikaitkan dengan pen-ta’wil-an
al-Qur’an. Kemampuan yang ia miliki telah diakui bahkan oleh sahabat senior
seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Kota suci Makkah menjadi awal
perkembangan pemikiran Ibn Abbas sebagai guru yang juga menghasilkan
ulama’-ulama’ baru seperti Said bin Jubair dan Mujahid bin Jabr.[4]
Ibn Abbas merupakan sepupu Rasulullah.
Hal tersebut bisa ditelusuri melalui namanya, yakni Abdullah bin Abbas bin
Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Quraisyi al-Hasyimi. Ibunya bernama
Umul Fadl lubanah bint al-Harits al-Hilaliyah.[5] Ibn
Abbas lahir di Syi’b. Mengenai waktu lahir Ibn Abbas, terdapat perbedaan
pendapat antara ahli sejarah, menurut Husain ad-Dhahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun
ibn Abbas berusia 13 tahun ketika Rasulullah wafat (633 M)[6]
itu artinya ia lahir sekitar tahun (620 M) yang bertepatan dengan tahun pertama
Hijriyah dan juga bertepatan dengan peristiwa pembaikotan kaum Quroisy kepada
kaum Hasyim, namun menurut Imam Mana’ al-Khattan ia mengungkapkan bahwa ada dua
pendapat, yakni Ibn Abbas lahir 3 tahun sebelum Hijriyah dan menurut sebagian
lainya Ibn Abbas lahir 5 tahun sebelum Hijriyah. Di antara dua pendapat ini, ia
lebih condong untuk memilih pendapat pertama.
Beberapa argument mengenai
kredibilitas dan reputasi Ibnu Abbas banyak diutarakan oleh sahabat dan
orang-orang setelahnya. Ali bin Abi Tholhah (w. 143 H)—salah satu orang yang
mengumpulkan berbagai riwayat penafsiran Ibn Abbas—menjuluki Ibn Abbas dengan
Orang yang bisa melihat hal ghoib secara jelas dibalik tabir.[7] Selain
julukan tersebut, Ibn Abbas juga
memiliki beberapa julukan lain seperti Habrul (Pemuka, sang tokoh), bahrul
(lautan) dan masih banyak lagi julukan yang ia sandang seperti turjuman
al-Qur’an. Ia dikatakan sebagai juru tafsir paling baik oleh Baihaqi dalam
kitabnya ad-Dala’il. Kapabilitas Ibn Abbas dibidang al-Qur’an juga
pernah diungkap oleh Mujahid yang berkata, “Ibn Abbas disebut dengan al-bahr
(laut) karena ilmunya yang luas.”[8]
Nama Ibn Abbas yang dikaitkan dengan
istilah ta’wil bukan tanpa sebab. Hal tersebut berkaitan dengan kisah
Ibn Abbas dengan Rasulullah. Suatu ketika Nabi pernah merangkul dan
mendo’akanya, “ya Allah ajarkanlah kepadanya Hikmah”. Dalam mu’jam Baghawi
dan lainya, terdapat pernyataan Umar mengenai kisah Ibnu Abbas dengan
Rasulullah, Umar berkata pada Ibnu Abbas: “sungguh saya pernah melihat
Rosulullah pernah mendo’akanmu, lalu membelai kepalamu dan meludahi mulutmu dan
berdo’a “ya Allah berilah ia pemahaman dalam urusan agama dan ajarkanlah ia ta’wil.”[9]
Suatu ketika Umar pernah
mengumpulkan sahabat senior untuk meminta mereka menafsiri surat an-Nasr.
Kebanyakan mereka menafsiri surat tersebut sebagai surat yang menjelaskan
kemenangan kaum muslimin dalam peristiwa Fathu Makkah. Setelah semua sahabat
senior menyampaikan argumennya, sahabat Umar malah memberikan kesempatan kepada
Ibn Abbas yang saat itu masih berusia muda untuk menafsiri surat an-Nasr. Setelah
menyampaikan argumennya, apa yang disampaikan oleh Ibn Abbas membuat terkejut semua sahabat saat itu. Ia
tidak mencoba menafsiri ayat-ayat dalam surat an-Nasr secara tekstual, namun
lebih memilih memalingkan pemahamannya pada makna lainnya yang ada dibalik
surat tersebut. menurutnya, surat an-Nasr adalah berita tentang akan segera
wafatnya Rasulullah, karena Islam telah disempurnakan dan kaum Muslimin telah
meraih kemenangan.[10]
Jika diruntut berdasarkan karakter
Ibn Abbas, Ta’wil yang ia bangun juga terpengaruh oleh kecenderungan dan
ketertarikannya pada syair-syair. Bahkan Ibnu Abbas sendiri menyatakan bahwa
jika seseorang kesulitan memahami bahasa al-Qur’an, maka periksalah dalam
syair-syair. Ibnu Abbas pernah mengungkapkan makna 200 kata yang ia jelaskan
berdasarkan syair pra-Islam untuk menjawab pertanyaan Nafi’ ibn Azraq, salah
seorang muridnya.
Pada mulanya, ulama tidaklah
berkepentingan untuk memisah definisi tafsir dengan ta’wil, namun
seiring berjalannya masa, ta’wil yang dahulu menjadi sinonimitas tafsir
kemudian didikotomi. Tasir lebih merujuk makna eksternal, sedangkan ta’wil
merujuk pada makna internal dengan penelusuran makna alegoris dan metaforis.
Pembedaan ini tampaknya dilakukan untuk menghantam berbagai kecenderungan liar yang melalui
penjelasan alegoris telah memaksa gagasan aneh masuk pada makna al-Qur’a’an. Penafsiran-penafsiran liar yang berkembang
yang sangat dibenci oleh kalangan ortodok kemudian diistilahkan dengan ta’wil.
Ulama mulai menganggap penting untuk memberi sekat antara tafsir dengan ta’wil
agar bisa memantau perkembangan penafsiran yang mengalami pergeseran.[11]
2.
Ta’wil
era Klasik, disintegrasi, dan Kemunduran :
Persinggungan
Ta’wil dengan Pertikaian Mazhab Kalam dan Filsafat
Harun Nasution membagi periode
perkembangan Islam dalam empat kerangka. Pertama adalah periode klasik yang
dimulai pada era kenabian hingga 1000 M. kedua adalah periode disintegrasi pada
1000-1200 M yang ditandai dengan runtuhnya Abbasiyah. Ketiga adalah
periode pertengahan yang berlangsung
dari 1200 -1800 M yang dianggap sebagai era kemerosotan, dan keempat adalah era
Modern yakni era setelah tahun 1800 M.[12]
era ini akan terus bergerak seiring masa sejarah.
Pada era klasik, terutama setelah
kewafatan Rasulullah, umat Islam mulai terpecah. Mereka terkotak-kotak pada
kelompok fikih, kalam, filsafat, dan politis. Perdebatan dan perbedaan menjadi
hal yang lumrah dan mulai bermunculan pada era ini. salah satu perdebatan yang
muncul adalah mengenai aspek Teologis yang berhubungan dengan pemaknaan
konsep-konsep dalam ayat al-Qur’an. Pembagian ayat menjadi muhakam dan mutasyabbih
idiikuti dengan perdebatan tentang boleh-tidaknya pemaknaan
ayat-ayat yang dianggap mutasyabbih. di antara beberapa ulama mencoba
menghindarinya secara pasif dengan ebrkata allahu a’lan bi ash-shawab,
beberapa lagi dengan tegas menggunakan makna tekstual tanpa berani
memalingkannya, dan beberapa lagi mencoba memalingkan maknanya pada makna yang
bisa difahami. Hal ini sebagaimana pemaknaan ayat-ayat teologies yang
menjelaskan mengenai dzat Allah yang digambarkan dengan tangan (al-Fath [48]:
10), bertempat (al-Furqan [25]: 29 ), dan berwajah (ar-Rahman [55]: 27).
Beberapa ulama mencoba pasif, beberapa menggunakan makna teks, dan beberapa
mencoba melakukan ta’wil.
Era ini juga sekaligus menandai
munculnya pemahaman ahli Kalam terhadap al-Qur’an yang kemudian menjadi legitimasi
dogtrin yang mereka percayai sebagai dasar dalam alirannya. Di antara mazhab
yang menggunakan ta’wil sebagai upaya menginterpretasi al-Qur’an adalah
Mu’tazilah yang menafsiri tentang melihat Allah di akhirat. Hal tersebut
terdapat dalam al-Qiyamah (75) : 22-23. Mu’tazilah berpendapat bahwa kata nadzirah
tidak bisa difahami melalui makna dasarnya, namun harus dipalingkan.[13]
Selain itu, munculnya tafsir al-Kasyaf
‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil karya Mahmud
bin Umar bin Muhamamd bin Umar al-Khawarizmi yang terkenal dengan sebutan Imam Zamakhsyari
(lahir 467 H)[14]
juga disinyalir merupakan upaya menanamkan doktrin Mu’tazilah dalam karya tafsir.
Dalam menafsiri kata “kalam” pada an-Niza (4) : 164. (“dan Allah telah berkata
kepada Musa secara langsung”) Zamakhsyari menggunakan ta’wil tentang
bagaimana kata kalam yang sejatinya bermakna “berkata”, kemudian dirubah
maknanya menjadi “menguji”. Di luar kontroversinya, keindahan bahasa pada
tafsir ini menjadi nilai tersendiri yang cukup berharga. Bahkan ulama sunni,
Nashr ad-Din ibn Sa’id al-Baydhawi (w 1270) sangat menyayangkan keindahan
bahasa tafsir al-Kasyaf di tengah ke-mu’tazilah-annya. Untuk itu ia menyusun kitab tafsir yang merangkum
keindahan gaya bahasa al-Kasyaf dan membuang aspek ke-Mu’tazilah-annya. Karya
tersebut ia namai Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil.[15]
Selain munculnya tafsir yang berbau
teologis, muncul pula tafsir yang diwarnai oleh gagasan filsafat. Salah satu
tokoh filsafat yang mencoba melakukan penafsiran adalah al-Farabi (w. 339 H).
keberanian al-Farobi dalam menafsiri ayat al-Qur’an ini seiring beredarnya
karya Fusus al-Hikam yang memuat beberapa pemahamannya tentang filsafat
yang ia kaitkan dengan al-Qur’an. Dalam al-Hadid ayat 3: “Allah
merupakan dzat yang awal dan yang akhir”, ia mencoba mengaitkan makna ayat
dengan teori emanasi tentang Tuhan adalah akal pertama yang darinya seluruh
mahluk tercipta secara bertahap. Dari penafsiran ini pula muncul argument
tentang kekekalan alam semesta.[16]
Selain karya al-Farabi, karya yang
dinilai paling kontroversial adalah kitab Fakhruddin ar-Razi (w 1209).
Obsesinya atas filsafat dan teologi mengakibatkan ia sering melekatkan argument
kedua keilmuan tersebut ke dalam tafsirnya. Apa yang dilakukan oleh ar-Razi ini
mengakibatkan pembaca kebingungan dalam memisahkan antara penafsiran dengan
tanggapan individual dari ar-Razi. Lantaran kecenderungan seperti ini,
as-Suyuti memberikan argument keras bahwa “di dalam Mafatih al-Ghayb terkandung
berbagai hal kecuali tafsir”.[17]
Dalam dunia sufistik, muncul pula
karya yang lahir dari upaya penta’wilan. Karya tafsir mistik ini disusun oleh
Muhyiddin Ibn Arabi (w. 1240 M). Asumsi dasar dalam Tafsri al-Qur’an
al-Karim adalah kenyataan alam yang merepresentasikan wujud tunggal. Meski pernah
terdapat kesimpangsiuran tentang siapa penulis yang sebenarnya berkenaan dengan
munculnya nama Abdur Razak al-Kashani yang diduga sebagai pengarang sebenarnya,
namun bagaimanapun murid Ibn Arabi ini telah bisa membahasakan gaya tasawuf
gurunya kedalam tafsir al-Qur’an.[18]
Dengan penafsiran-penafsiran
sebagaimana di atas. Ta’wil berkembang tidak hanya sebagai upaya
melakukan interpretasi atas ayat al-Qur’an, namun ta’wil juga menjadi
alat untuk memberikan dukungan serta legitimasi atas mazhab dan pemahaman yang
diikuti oleh mufassir. Dengan demikian, pada era klasik, ta’wil menjadi
semacam jembatan yang digunakan untuk mempertemukan pemikiran dengan al-Qur’an.
Al-Qur’an tidak lagi terbebas untuk berbicara berdasarkan dirinya sendiri
melainkan terkungkung oleh minat, pemahaman, dan tujuan seorang mufassir.
3.
Ta’wil era Modern sebagai Upaya Demitologi al-Qur’an
Era tafsir modern ditandai dengan rmasuknya ajaran mengenai
kebenaran harus beriringan dengan logika dan ilmu pengetahuan. Dari sini,
cendekia muslim ternyata terpengaruh dengan mencoba menafsiri ayat-ayat
al-Qur’an yang berbau mitos kepada makna lain yang sesuai dengan akal. Karena
kesadaran akan posisi Islam membuat beberapa cendekia muslim pada abad 19 M
berupaya mendekonskruksi pemikiran konserfatif. Menurut J.M.S. Bljon, salah
satu tokoh yang pertama kali menjadi pembuka kajian tafsir modernis adalah Sir
Sayid Ahmad Khan (w. 1898 M). Ia menulis tafsir al-Qur’an berbahasa Urdu dan
diterbitkan pada tahun 1880 M. Ia juga yang menggagas anggapan vurd af Gad “kalam
tuhan” tidak boleh bertentangan vurk af Gad “ciptaan Tuhan”. Dari sini
ia mencoba melayangkan argument bahwa tidak mungkin al-Qur’an bertentangan
dengan hokum alam semesta.[19]
Di antara beberapa tokoh lainnya ialah salah satu perintis tafsir adabi
ijtima’I, al-Mannar yakni Muhammad Abduh (1864-1905 M) yang
menafsiri burung ababil dengan mikroba. Selain itu, muncul karya Tafhim
al-Qur’an[20]
pula Ahmad Khan (lahir 1817[21]) yang menafsiri Q.S. asy-Syu’ara’ (26): 63
tentang nabi Musa yang memukul tongkat dita’wilkan menjadi nabi musa yang
bepergian melalui laut dengan menggunakan tongkatnya.[22]
Abduh mencoba menafsiri surat al-Fil dengan beracuan pada
kata thair yang bermakna “burung”. Menurutnya kata ini bersesuaian
dengan kata thara atau “terbang”, kemudian dari kata terbang inilah
muncul asumsi bahwa kisah Abrahah dan tentaranya yang gugur sebelum mencapai
Makkah bukan karena serangan burung Ababil yang datang dari neraka, namun
karena virus yang berterbangan melalui udara.[23]
Al-Qur’an menggunakan istilah demikian karena saat itu bangsa Arab belum
memiliki kapasitas keilmuan yang bisa memahami hal-hal yang dapat dicapai oleh
ilmu pengetahuan saat ini.
Di antara penafsiran-penafsiran di atas, banyak lagi bentuk
penafsiran ilmiyah lainnya. Tokoh-tokoh saintifik yang juga mendalami al-Qur’an
juga mulai bermunculan. Di antara mereka adalah Harun Yahya, Dzakir Naik, dan
Zaglul an-Najjar. Ayat-ayat al-Qur’an dikaitkan dengan ilmu perbumian
(geologi), ilmu air, ilmu fisika, kimia, dan kedokteran. Beberapa bahkan sampai
malakukan penelitian khusus tentang ilmu biologi yang telah ada pada al-Qur’an
sebagai sebuah mu’jizat.
D.
Kesimpulan
Ta’wil sebagai sebuah term tertentu dalam pemaknaan al-Qur’an telah
ada embrionya semenjak era Rasulullah. Hal tersebut sebagaimana munculnya
Abdullah Ibn Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abbas menjadi
salah satu nama yang paling populer yang sering dikaitkan dengan pen-ta’wil-an
al-Qur’an. Untuk era pertama, antara tafsir dan ta’wil tidaklah dibedakan,
keduanya menempati tempat yang sama. Namun pada era setelahnya kedua istilah
tersebut dibedakan.
Munculnya pembedaan istilah antara tafsir dengan ta’wil berkenaan
dengan adanya kelompok yang menjadikan ayat al-Qur’an sebagai alat legitimasi
kepentingan golongan dan kelompoknya. Apa yang dilakukan kelompok dhohiri juga
memberikan imbas tentang pengambilan jarak para mufassri dengan para penta’wil.
Pada era tersebut beberapa jenis penta’wilan terjadi dalam dunia sufi, mazhab,
dan pada akhri-akhir eabad 20 telah berimplikasi pada penta’wilan yang
dilakukan oleh para pecinta ilmu pengetahuan.
Era tafsir modern ditandai dengan rmasuknya ajaran mengenai
kebenaran harus beriringan dengan logika dan ilmu pengetahuan. Dari sini,
cendekia muslim ternyata terpengaruh dengan mencoba menafsiri ayat-ayat
al-Qur’an yang berbau mitos kepada makna lain yang sesuai dengan akal. Karena
kesadaran akan posisi Islam membuat beberapa cendekia muslim pada abad 19 M
berupaya mendekonskruksi pemikiran konserfatif. Menurut J.M.S. Bljon, salah
satu tokoh yang pertama kali menjadi pembuka kajian tafsir modernis adalah Sir
Sayid Ahmad Khan (w. 1898 M). Ia menulis tafsir al-Qur’an berbahasa Urdu dan
diterbitkan pada tahun 1880 M. Ia juga yang menggagas anggapan vurd af Gad “kalam
tuhan” tidak boleh bertentangan vurk af Gad “ciptaan Tuhan”. Dari sini
ia mencoba melayangkan argument bahwa tidak mungkin al-Qur’an bertentangan dengan
hokum alam semesta.[24]
Daftar Pustaka
Ali bin Abi Tholhah, Tafsir Ibn Abbas, Terj. Muhyiddin Mas
Rida dkk. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009).
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan
Bintang. 1975).
Mana’ al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Halim
Jaya, 2007).
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati,
2013).
-------------, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004).
Muhammad Husain ad-Dhahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I
(Kairo: Darul Hadis, 2005).
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung: Mizan,
2010).
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:
LKIS, 2012).
----------, “Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN
Sunan Kalijaga, 2006).
Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta:
Alvabet, 2013).
Kamaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Bandung : Miazan, 2011).
[1] Mana’
al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Halim Jaya, 2007), Hlm.
456.
[2]
Quraish Shihab,
Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 9.
[3] Selain
definisi-definisi tersebut, banyak lagi definisi yag menjelaskan tentang ta’wil.
Salah satunya adalah Abu al-Qasi bin Habib an-Nisaburi (406-1016 M) bahwa ta’wil
adalah mengalihkan makna ayat namun tetap dengan berpegang pada ayat sebelum
dan sesudahnya. Dalam melakukan penta’wilan diperlukan sebuah istinbat. Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa
tidak semua penafsir adalah penta’wil.
Beberapa cendekia muslim sangat menekankan kehati-hatian atas ta’wil
ini, bahkan Nasr Hamed (1943-2010 M) dalam mafhum an-Nash juga turut
membatasi bahwa bagaimanapun ta’wil harus tetap berpegang pada teks,
sehingga ta’wil tidak dapat meloncat dari teks. Ibid. 220. Sementara,
para Pakar menyebut bahwa ta’wil mengandung empat unsure 1. Nash/teks,
2. Maqashid asy-syari’ah, 3. Kondisi atau kenyataan yang dibicarakan
oleh Nash, dan 4. wawasan seorang penta’wil. Ibid. hlm. 225.
Sehingga, darisini dapat diketahui bahwa Tafsir adalah proses mengurai dalam
menjelaskan, sedangkan ta’wil adalah upaya mengembalikan makna pad aide
awal gagasan. Lihat : Kamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Bandung
: Miazan, 2011), hlm. 211.
[4]
Quraisy Shihab,
Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 71.
[5]
Mana’ Kholil
Al-Qotton, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Halim Jaya. 2002). Hlm.
522.
[6]
Muhammad Husain
ad-Dhahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Kairo: Darul Hadis, 2005),
Hlm. 61.
[7] Ali bin Abi
Tholhah, Tafsir Ibn Abbas, Terj. Muhyiddin Mas Rida dkk. (Jakarta:
Pustaka Azam, 2009), Hlm. vii.
[8] Arif Munandar
Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung: Mizan, 2010), hal. 296.
[9]
Mana’ Kholil
Al-Qotton, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Halim Jaya. 2002). Hlm.
523.
[11]
Taufiq Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Alvabet, 2013), hlm. 396.
[12]
Nasution, Pembaharuan
dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975), hlm. 5.
[13] Abdul Razak
dan Rasihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 203.
[14] Muhammad
Husain Az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun Juz I (Kairo: Daar
al-Hadits, 2005), hlm. 362.
[15]
Taufiq Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Alvabet, 2013), hlm. 396.
[16]
Muhammad Husain
Az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun Juz I (Kairo: Daar al-Hadits,
2005), hlm. 367.
[17]
Taufiq Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Alvabet, 2013), hlm. 396.
[20] Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm. 52
[21] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975), hlm.
158.
[22]
Abdul Mustaqim,
“Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an
dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga,
2006), hlm. 30.
[23] Lihat Quraish Shihab, Kaidah Tafsir
(Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 225 dan Abdul Mustaqim, “Kontroversi
tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis
vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 30.
No comments:
Post a Comment