Studi Perkembangan Tafsir Gender di Indonesia tahun 1990-an
Muhammad Barir, S.Th.I.
Persembahan untuk Dr. Abdul Mustaqim
Persembahan untuk Dr. Abdul Mustaqim
A.
Pendahuluan
Tulisan ini merupakan sebuah upaya dalam mengetahui fenomena
penulisan pemikiran tafsir yang berkembang di Indonesia. Dengan mengangkat Karya
“Tafsir Kebencian” yang ditulis oleh Zaitunah Subhan. Penelitian ini ditujukan
untuk menelusuri fenomena persentuhan antara al-Qur’an dengan realitas sosial
sebagaimana isu gender yang ternyata mampu memberikan warna baru dalam khazanah
penafsiran di Indonesia. Dalam teori resepsi, al-Qur’an yang hidup di
masyarakat yang bergerak akan terus direspon dan difahami sehingga memunculkan
tiga konsekuensi utama yakni: karya pemikiran, perilaku, dan produk materi. Salah
satu di antara ketiga aspek tersebut, yakni karya pemikiran akan menjadi titik
fokus kajian pada tulisan ini dengan beracuan pada beberapa pertanyaan utama
yakni: bagaimana konteks yang melahirkan pemikiran tafsir Zakiyah Subhan?,
Bagaimana gambaran dari pemikiran tafsir tersebut?, dan Bagaimana motivasi,
pra-pengetahuan, dan asumsi-asumsi yang membangunnya?.
Keywords : al-Qur’an, perkembangan isu Gender di Indonesia, dan Tafsir Kebencian.
B.
Konteks Indonesia dan Memuncaknya Isu Gender
Tahun 1980-an
merupakan tahun awal terbangunnya pilar-pilar kajian gender[1]
di Indonesia.[2] –Tentunya
dengan tanpa meragukan adanya kemungkinan masuknya kajian gender pada
tahun-tahun sebelumnya—Pada tahun ini, didirikan sebuah lembaga bernama PSW
(Pusat Studi Wanita). Lembaga ini didirikan oleh pemerintah yang bekerjasama
dengan berbagai lembaga universitas dengan bertujuan untuk meningkatkan
kwalitas dan mengangkat harkat martabat wanita. Lembaga ini kemudian berkembang
dengan mengusung ideologi kesetaraan antar kelamin yang pada akhirnya nanti
menjadi motor pembuka isu gender di Indonesia.[3]
Kemudian pada
1989, Majalah Pesantren, LKPSM NU DIY mulai melirik isu ini untuk dijadikan salah
satu kajian tersendiri. Berkembangnya wacana gender juga turut didukung oleh
pihak luar berkenaan dengan kerjasama antara Indonesia-Belanda “Indonesian-Netherlands
in Islamic Studies” di pusat kebudayaan Belanda Erasmushuis yang menggagas
seminar tentang dunia wanita tekstual dan kontekstual pada 1991. Dengan
banyaknya pintu yang membuka masuknya kajian gender, karya-karya tentang isu
tersebut banyak bermunculan yang salah satunya adalah “Tafsir Kebencian” yang
ditulis antara 1996 hingga 1998.[4]
Pada awal dekade
1990-an wacana gender semakin berkembang melalui dua pintu. Pintu pertama
adalah adalah mahasiswa Indonesia yang kembali dari studi di luar negeri dan
pintu kedua adalah penterjemahan karya-karya yang berbau feminis dan gender.
Salah satu di antara karya yang masuk di Indonesia adalah tulisan Fatimah
mernisi dan Amina Wadud Muhsin yang berjudul Woman in The Quran. Tulisan
Amina Wadud di terjemah di Bandung dan terbit pada tahun 1994. Tulisan tersebut
berbaur di antara tulisan-tulisan kaum kiri Islam lainnya seperti Riffat Hassan
dan Asghar Ali Engineer.[5]
Tahun 2001
menjadi masa-masa emas bagi PSW dan para pendukung gerakan gender di Indonesia.
Melalui Impres tahun 2001, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjabat sebagai
presiden menekankan pentingnya peran dan konstribusi kaum wanita dalam
memajukan Negara “gender mainstreaming into national development”.
Istilah “gender mainstreaming” dimaksudkan sebagai usaha dalam membuka
akses jaminan kerja beriringan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai
lembaga pemerintah mulai dari kementerian, kemiliteran, polisi, dan
institusi-institusi lokal. Sistem kerja dari program “gender mainstreaming”
adalah perencanaan (planing), perumusan (formulation), penerapan
(implementation), pengawasan (monitoring), dan evaluasi (evaluation).[6]
C.
Zaitunah Subhan, Akademisi Aktivis Gender[7]
Zaitunah Subhan
lahir di Gresik Jawa Timur, sebuah kabupaten di pesisir utara tepatnya di
pertemuan dengan Surabaya di sebelah timur dan bertemuan dengan kabupaten
Lamongan di sebelah barat, sedangkan di Tenggara berbatasan dengan Kabupaten
Sidoarjo. Zaitunah Subhan lahir pada tanggal 10 Oktober 1950. Pendidikan
formalnya dijalani di SRN yang ditempuh selama enam tahun. Ia juga memulai
pendidikan keislaman di PP Maskumambang Grasik dengan jenjang pendidikan
ibtidaiyah (setingkat SD) hingga tsanawiyah (setingkat SMP) yang ditempuh
selama tiga tahun. Menginjak Aliyah (jenjang setingkat SMA), Ia melanjutkan
perjalanan menimba ilmunya di Ihya’ul Ulum yang ditempuh selama dua tahun di
Gresik.
Pada tahun 1967,
ia memulai menapakan kaki di tingkat perguruan tinggi, tepatnya di IAIN Sunan
Ampel yang sekaligus menjadi angkatan pertama dan lulus berpredikat sarjana
muda (BA). Kelulusan ini kemudian diikuti kelulusannya empat tahun setelahnya
dengan berhasil meraih gelar (Dra) jurusan Pebandingan Agama. Dengan prestasi
akademis yang ia miliki, Zaitunah Subhan diutus sebagai duta belajar ke Kairo
Mesir jenjang dirasat al-ulya atau setingkat magister yang ia
selesaikan selama empat tahun tepatnya pada tahun 1978.
Sekembalinya
dari Mesir (1978), ia kemudian mengabdikan diri kepada almamaternya sebagai
tenaga dosen dan menjadi lektor kepala pada tahun 1999. Pada tahun 1989, ia
pernah mengikuti intensive course (Woman and Development
kerjasama INIS dengan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Kemudian pada
1996, ia berkesempatan untuk terbang ke Australia dalam rangka turut serta
dalam konferensi internasional yang tahun 1995-1999.di selenggarakan di
Adelaide. Selain itu, di dalam negeri juga pernah mengikuti Konferensi bertajuk
“international women: conference women in Indonesia society;acces,
empowerment and opportunity”.
Selama menempuh
studi keislaman di kampus IAIN, Zaitunah Subhan aktif dalam kegiatan
berorganisasi dengan menjadi ketua KPSW (Kelompok Pengembangan Studi Wanita)
IAIN Sunan Ampel dari 1991-1995, dan ketua PSW (Pusat Studi Wanita) di kampus
yang sama. Di laur kampus ia aktif dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekia
Muslim Indonesia) selaku ketua divisi hubungan antar oraganisasi wanita Orwil
Jawa Timur tepatnya pada tahun 1995-2000. Ia juga mengasuh kelompok pengajian
agama Islam di instansi pemerintah dan BUMN serta menjadi anggota Pokja P2W
Pemba Jatim. Di tengah kesibukan mengajar, berorganisasi, dan mengabdi kepada
masyarakat, ia turut mencurahkan waktunya untuk melanjutkan studi tingkat
doctoral (s3) bebas terkendali angkatan pertama tahun 1996/1997. Studi ini
merupakan tugas Direktorat Perguruan Tinggi Agama IslamDirjen Binbaga Islam
Departemen Agama RI. Studi ini diselesaikan pada tanggal 29 Desember 1998.
D.
Pandangan Zaitunah tentang Tafsir
Dalam dinamika
penulisan tafsir al-Qur’an, meski ulama telah memberi garis bawah tentang apa
yang dinamakan tafsir[8],
namun beberapa mufassir tertentu mengambil jalannya sendiri dan memilih makna
tertentu tentang tafsir. Hal ini sebagaimana Abduh yang dalam muqaddimah kitab
tafsir al-Mannar melayangkan keberatannya terhadap ulama terdahulu yang
memaknai tafsir secara sempit. Tafsir klasik ia anggap hanya dapat mengungkap
aspek lughawi dengan hanya membatasi kajiannya dalam aspek nahwiyah, balaghah,
dan lainnya, sedangkan di lain sisi, manusia masih haus akan solusi atas
permasalahan sosialnya. Dari sini, lahir tafsir adabi ijtima’iy.
Pemaknaan mufassir
terhadap konsep tafsir akan menjelaskan arah dan karakter pemikiran mufassir
itu sendiri. Beberapa mufassir mungkin ada yang mengikuti kaidah umum tentang
makna tafsir, namun beberapa mufassir yang lain memilih memahami tafsir secara
berbeda dengan pemaknaan umum. Jalan tersebut juga yang dipilih oleh Zaitunnah
Subhan, ia memiliki definisi khusus tentang apa yang dinamakan dengan tafsir.
Menurutnya tafsir berfungsi untuk memahami al-Qur’an baik makna maupun
keindahannya. Al-Qur’an menyimpan segala macam petunjuk dan ajaran yang
meliputi segala aspek kehidupan manusia di dunia. Dengan alasan tersebut,
tafsir merupakan anak kunci untuk membuka simpanan yang tertimbun dalam
al-Qur’an”.[9]
Dari pemaknaan
Zaitunah di atas, tersirat bahwa jalan yang ia ambil dalam memahami al-Qur’an
memiliki dua kategori. Pertama ialah al-Qur’an memiliki petunjuk dan kedua
adalah, bahwa petunjuk itu mencakup semua aspek kehidupan dunia, yang menarik,
Zaitunah tidak mencantumkan akhirat yang eskatologis. Corak yang ia bangun
terlihat bersifat humanis antroposentris yang memunculkan asumsi bahwa Zaitunah
ingin menunjukkan bahwa al-Qur’an sebenarnya diperuntukkan kepada manusia.
Sediki mirip dengan pandangan Abduh tentang al-Qur’an dalam muqaddimah
al-Mannar yang ia anggap sebagai hidayah untuk umat manusia dalam setiap tempat
dan waktu.[10]
E.
Deskripsi Tafsir Kebencian
Karya Zitunah
ini merupakan penelitian disertasi Program doktoral di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang ditulis sekitar tahun 1997. Pada mulanya, judul disertasi ini
adalah Kemitra Sejajaran Pria dan Wanita dalam Perspektif al-Qur’an. Karena
karya ini didominasi oleh upaya melakukan dekonstruksi atas asumsi-asumsi
seperti dominasi, hegemoni, dan diskriminasi, maka dari hal tersebutlah muncul
istilah Tafsir Kebencian: “Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’an”. Untuk
mengetahui, mengenal, dan memahami Tafsir Kebencian berikut akan dipaparkan
beberapa aspek mulai dari metode, corak, sistematika, sumber-sumber yang mempengaruhi,
hingga karakteristik Tafsir Kebencian.
1.
Metode
yang dipakai
Metode tafsir
yang dipakai dalam tafsir ini ialah metode tafsir maudhu’i. Karakter
metode tafsir maudhu’i sendiri ialah lebih bersifat induktif. Karakter ini
menuntut penelusuran ayat di mulai dari realitas. Di sisi lain, Zaitunah
sendiri masih menyertakan argument mufassir terdahulu yang menggunakan metode deduksi
yang mendasari penelusuran makna melalui teks. Meski sempat mengutip pendapat
farmawi, namun Zaitunah tidak mengambil rumusan farmawi secara total, meglainkan
mengkritisinya menjadi formula lain. Dari enam langkah yang dirumuskan oleh
Farmawi, ia mengadopsi beberapa di antaranya dan mengganti yang perlu hingga
kemudian ia merumuskan empat langkah menurut fersinya sendiri:
a)
Mengelompokkan
ayat dalam tema tertentu.
b)
Mendeskripsikan
pemikiran para mufassir tentang ayat-ayat yang telah dirumuskan.
c)
Memperkuat
argumen dengan hadis-hadis.
d)
Membuat
kesimpulan dengan analisis kritis.[11]
2.
Corak
Tafsir
Corak dalam
Tafsir Kebencian terlihat cukup terpengaruh oleh Abduh. Hal tersebut bisa
ditelusuri melalui pandangannya tentang makna tafsir. Ia memaknai tafsir adalah
pengungkapan makna terhadap ayat al-Qur’an yang orientasinya ialah kembali
kepada realitas kehidupan umat manusia. Dari hal ini, corak adabi ijtima’i
kemudian diambil dan digunakan dalam mengangkat isu sosial mengenai gender. Corak
sosial yang memiliki karakter relasi antar manusia dihubungkan dengan
mengangkat relasi antara perempuan dan laki-laki.
3.
Sumber-sumber
yang Dipakai
Mengenai sumber
penafsiran, Zaitunah melandasi interpretasi al-Qur’an berdasarkan kombinasi
atara argumentasi sejarah dan teks. Argumentasi sejarah mengenai gender
ditelusuri sebagai penjelasan dan penjabaran suatu ayat tertentu. Ia juga
menyertakan hadis-hadis yang berkaitan dengan isu gender. Selain mendasari
interpretasinya secara otentis, ia juga mengadopsi pemikiran dan penelitian
ulama yang telah lalu. Ada tiga kitab tafsir karya mufassir Indonesia yang juga
banyak menjadi rujukan dalam Tafsir kebencian. ketiganya adalah tafsir
al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus, al-Azhar karya Hamka, dan al-Qur’an dan
Tafsirnya yang disusun di bawah pengawasan Departemen Agama RI.[12]
Selain kitab tafsir ia juga merujuk karya Hamka tentang perempuan yang berjudul
“Kedudukan Perempuan dalam Islam”. Alasan pemilihan ketiga tafsir di atas ialah
didasari upaya Zaitunah dalam menampilkan tafsir-tafsir yang mewakili tiap
generasi di Indonesia. Dalam pembagian generasi tafsir, ia menggunakan pendapat
Howard M. Federspiel yang menyatakan bahwa tafsir Mahmud Yunus mewakili masa
1920-an, Hamka yang mewakili generasi 1970-an[13],
dan tafsir depag yang mewakili generasi 1990-an.
Selain
menggunakan tiga kitab tafsir di atas, penulisan Tafsir Kebencian juga
terpengaruh oleh tokoh-tokoh feminis seperti Rifat Hasan dan Fatima Mernisi.[14]
Selain itu, dalam aspek metodologis, ia terpengaruh oleh Abduh yang menyatakan
bahwa al-Qur’an tertutup oleh orang Islam sendiri.[15]
Dari ungkapan inilah corak tafsir adabi ijtima’i digunakan sebagai kunci
untuk membuka ketertutupan umat tersebut. istilah-istilah “kunci, pintu,
membuka, dan ketertutupan” yang dipakai oleh Zaitunah menggambarkan tentang
pengaruh Abduh pada pemakaian term-term tersebut dalam tafsirnya.
4.
Karakteristik
Tafsir Kebencian
Tafsir Kebencian
yang lahir di tengah asumsi diskriminasi antara wanita dan laki-laki
mengakibatkan karya tersebut memiliki karakteristik Gender. Sebuah konstruksi
yang menginginkan terciptanya keadilan sosial dan menempatkan wanita dalam
posisi yang setara dengan laki-laki. Karakter ini pula yang mengakibatkan penggunaan
analisis gender. Sebuah analisis yang secara praktis digunakan untuk menelusuri
penyebab-penyebab terjadinya ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin.[16]
Dengan mengetahui karakteristik tafsir ini, akan diketahui pula pra-pengetahuan
yang membangun Tafsir Kebencian, motivasi, dan orientasi yang menjelaskan akan
dibawa ke mana arah interpretasi al-Qur’an.
F.
Asumsi-Asumsi yang Dibangun dalam Tafsir Kebencian
Salah satu
argument yang dikutip dalam Tafsir Kebencian adalah ucapan sahabat Ali bin Abi
Thalib, “persilahkan al-Qur’an berbicara”.[17]
Ucapan sahabat Ali tersebut seharusnya menjadi pegangan setiap kali seseorang
berusaha memahami al-Qur’an, namun menurut Zaitunah, para mufassir yang
kebanyakan adalah laki-laki telah terjebak pada pra pengetahuan berupa adatnya,
budayanya, dan kodratnya sebagai seorang laki-laki. Wanita menurutnya
seringkali dikonotasikan dalam arti negatif dan keterbatasan kodratnya
dijadikan alasan dalam mereduksi peran dan fungsi wanita baik dalam keluarga
maupun dalam ranah sosial.[18]
Implikasi dari
penafsiran kaum bias gender pada akhirnya merambah ke dalam wilayah hukum.
Aspek hukum inilah yang pada gilirannya digunakan sebagai alat untuk
mengeksekusi hak kesetaraan kaum wanita. Di Sumatera abad ke VXII generasi
kepemimpinan empat sultan wanita—Din Syah (1641-1678 M), Nur Alam (1675-1678
M), Inayat Syah (1678-1688 M), dan Kamalat Syah—harus terputus karena fatwa
haram pemimpin wanita oleh seorang hakim agama di Makkah.[19]
Hal tersebut menjadi kain penutup mata atas kenyataan adanya dua sisi yang ada
pada diri manusia yakni kodrat dan fungsi.
Secara kodrati,
wanita memang berbeda dengan laki-laki, namun di sisi lainnya, wanita memiliki
akses yang sama dalam mengisi fungsi sosial, kebudayaan, pendidikan dan
fungsi-fungsi lainnya. Dua aspek ini, yakni “wanita, antara kodrat dan
fungsinya” merupakan asumsi utama Zaitunah Subhan dalam tafsirnya. Ia membagi
dua istilah yang merepresentasikan dua sisi pada manusia, pertama adalah
kemitraan dan kedua adalah kesejararan. Kemitraan ia anggap merupakan
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam aspek fungsional. Secara
bersama-sama hidup, beraktivitas, dan berkarya dengan saling beriringan. Aspek
kedua, yakni kesejajaran ia anggap sebagai kesetaraan pada aspek kodrati. Baik
perempuan dan laki-laki meski keduanya dibedakan menurut gen, namun tetaplah
sama sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Dengan
pemahaman seperti ini, akses menuju produktifitas wanita akan semakin terbuka. Sehingga
laki-laki tidak melulu berada pada wilayah produksi, sedangkan wanita berada
pada wilayah reproduksi. Laki-laki tidak melulu berada pada wilayah publik,
sedangkan wanita berada pada wilayah domestik. Keduanya saling mengisi.
Kedudukan dan keberadaannya akan dihargai secara sama rata sama rasa. Keduanya,
baik laki-laki dan perempuan akan sama-sama bergantian saling mengisi fungsi
dan perannya.
G.
Penafsiran-Penafsiran Zaitunah terhadap Ayat-ayat al-Qur’an
Salah satu ayat
yang ditafsiri oleh Zaitunah adalah surat an-Nisa’ 4: 34 yang berbunyi:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Ayat ini
diterjemahkan dengan : “Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)”. Terjemahan ini sebagaimana terjemahan
departemen agama RI dan beberapa terjemahan lainnya. Lebih lanjut, kata qawwam
pada ayat ini diterjemah sebagai pemimpin, namun ternyata kata ini juga
terdapat pada ayat lain yakni an-Nisa’ 135 dan al-Maidah 5: 8. Hal yang aneh
adalah pada kedua ayat tersebut kata qawwam tidak diterjemahkan dengan
arti pemimpin, tapi “berdiri karena Allah” dan “lurus karena Allah”.[20]
Menurut
Zaitunah, penafsiran seperti itu mengandung bias. Lebih lanjut menurutnya,
penafsiran yang tepat adalah pengayom dan penanggung jawab. Bagi wanita pun
kepemimpinan tetap layak untuk disandangnya. Ia memberikan sebuah contoh sosok
Ummu Waraqah. Seorang perempuan yang menjadi pemimpin bagi keluarga dan menjadi
guru bagi beberapa sahabat laki-laki. Hal tersebut sebagaimana kapabilitasnya
sebagai seorang hafizah dan qariah yang baik dan bagus bacaannya. Suatu ketika,
Rasulullah pernah menyuruh seseorang lelaki tua untuk melantunkan iqamat dan
menunjuk Ummu Waraqah mengimami keluarganya untuk shalat.[21]
Ia mengkritisi
ulama terdahulu yang mengaitkan term nisa’ dengan nasiya=lupa.
Perempuan hanya diproyeksikan sebagai mahluk yang lemah, lunak, dan lembek.
Dalam sisi lainnya, laki-laki diproyeksikan sebagai mahluq yang keras, kuat,
dan tajam ingatannya. Dalam tafsir kebencian, Zaitunah juga melakukan
kontekstualisasi atas kata wanita di Indonesia. sebagamana di Arab yang orang
akan memiliki pilihan secara paradegmatik untuk mengungkap sosok wanita dengan
beragam term diksi. Seperti untsa, nisa’, dan mar’ah, di
Indonesia juga demikian. Terdapat dua kata yang sering dipakai dalam
menunjukkan sosok jeniskelamin lawan laki-laki. Kedua kata tersebut adalah
wanita dan perempuan.
Kata wanita
berasal dari bahasa sangsekerta “wan”, yang berarti nafsu, sedangkan perempuan
sebagaimana tertulis dalam prasasti Ganda Suli berasal dari kata “parpuanta”
yang berarti yang dituankan atau dihormati. Dengan demikian diksi perempuan
lebih terhormat jika dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan dalam kakawin
arjuna wiwaha XXXII, kata wanita bermakna positif yang berasal dari kata “wani
ditata” atau keberanian untuk ditata.[22]
Dalam menafsiri
ayat di atas, Zaitunah Subhan menarik sebuah kesimpulan yang cukup berani
dengan memilih memaknai ulang kata nisa’ dan rijal sebagaimana
makna dasarnya. Menurutnya, kedua kata tersebut tidak bisa dimaknai sebagai
laki-laki dan perempuan secara biologis, namun secara sifat. nisa
sebagaimana makna dasarnya adalah lembek, domestik, dan mudah lupa. Sedangkan rijal
yang diambil dari kata rijl (kaki) menurut makna dasarnya adalah yang berjalan
kaki (lawan dari domestik), bergerak, dan beraktfitas di ruang publik.[23]
Sangat mungkin seorang wanita memiliki sifat rijal, sebaliknya, juga sangat
mungkin bagi laki-laki memiliki sifat nisa’, sehingga, pemimpin bisa
disandang baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan.
Menurut
Zaitunah, al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan realitas. Realitas itu
salah satunya adalah sejarah. Dan berdasarkan sejarah, tercatat adanya
perempuan-perempuan yang pernah menjadi pemimpin suatu bangsa dan
perempuan-perempuan yang memiliki peran penting dalam berbagai
peristiwa-peristiwa besar dunia. Di antara perempuan-perempuan itu adalah ratu
Bilkis yang memimpin Saba’ dan Bint Kisra’ yang memimpin Persia. Di Nusantara
pada abad ke VII sebelum kerajaan Mataram membangun Prambanan dan Borobudur,
terdapat ratu di Kerajaan kalingga yang merupakan seorang perempuan bernama
Simha. Selain itu, kerajaan majapahit yang termasyhur dengan wilayah yang
hampir meliputi seluruh wilayah nusantara dengan 24 negara bagian yakni
Majapahit pun pernah dipimpin oleh ratu perempuan yang bernama Tribuana Tungga
Dewi. Dia adalah cucu Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit yang berkuasa
pada tahun abad XIV.
Pada masa
Rasulullah, selain Khadijah dan Umu Waraqah, terdapat nama lain seperti Umu
Salamah yang berhasil memberikan solusi di saat tragedy boikot Makkah ketika
rombongan uslimin dari Madinah hendak berhaji. Sahabat yang tidak terima untuk
kembali dengan tangan hampa membuat rasulullah marah dan yang bisa memberikan
solusi ketika itu adalah Umu Salamah.[24]
Daftar Pustaka
Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2013).
Alimatul Qibtiyah, “Self Identified Feminists among Genderm Activists
and Scholars at Indonesian Universities”, makalah dipersentasikan dalam
diskusi dosen UIN Sunan Kalijaga tahun ke-35 tanggal 13 Maret 2015.
Zaitunah
Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999).
Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013).
Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim: Tafsir al-Mannar (Kairo:
Daar al-Mannar, 1947).
Nasaruddin
Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina,
Vol. 1 Juli-Desember 1998.
[1]
Gender—“jenis
kelamin” (inggris)—merupakan konsep kultural yang menurut Shorwalter mulai
ramai dibicarakan pada tahun 1977. Isu ini berkembang seiring kesadaran adanya pembedaan
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosiaonal antara perempuan dan
laki-laki yang berkembang dalam masyarakat. Istilah gender ini menggeser
penggunaan istilah-istilah sebelumnya seperti patriarchal dan sexist.
Merebaknya isu ini juga dimotori oleh kalangan agamawan yang melihat noda hitam
sejarah. Perempuan dipersepsikan merupakan mahluq yang mewarisi dosa sejarah
bagi kalangan abrahamik yang merupakan imbas dari dosa yang pernah dilakukan
oleh Hawa yang mengakibatkan diusirnya Adam dari surga. lihat Nasaruddin Umar,
“Perspektif Gender dalam Islam”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol.
1 Juli-Desember 1998. Hlm. 97-98.
[2] Islah Gusmian,
Khazanah Tafsir Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2013), hlm. 307-308.
[3]
Alimatul
Qibtiyah, “Self Identified Feminists among Genderm Actiists and Scholars at
Indonesian Universities”, makalah dipersentasikan dalam diskusi dosen UIN Sunan
Kalijaga tahun ke-35 tanggal 13 Maret 2015.
[4] Islah Gusmian,
Khazanah Tafsir Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2013) hlm. 307-308.
[5]
Alimatul
Qibtiyah, “Self Identified Feminists among Genderm Actiists and Scholars at
Indonesian Universities”, makalah dipersentasikan dalam diskusi dosen UIN Sunan
Kalijaga tahun ke-35 tanggal 13 Maret 2015. Hlm. 152.
[6]
Ibid. hlm 153.
[7] Zaitunah
Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 257.
[8] Makna tafsir
sendiri secara umum difahami sebagai upaya menyingkap (idhah) atau
menjelaskan (tibyan) sebagaimana pendapat Ibn Faris (w 395 H) dalam karyanya
al-Maqayis fi al-Lughah yang menyatakan tentang makna tafsir yang terdiri
dari fa’-sin-ra’ yang mengandung arti keterbukaan dan kejelasan. Lihat
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 9.
[9] Zaitunah
Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 9.
[10] Muhammad
Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Hakim: Tafsir al-Mannar (Kairo: Daar
al-Mannar, 1947), hlm. 1.
[11]
Zaitunah
Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 15.
[12]
Ibid, hlm. 12.
[13]
Ibid, hm. 13.
[14] Feminis muslim
adalah mereka (orang-orang muslim) yang mempunyai faham dalam memperjuangkan
kebebasan dari dominasi kaum pria. Ibid, hm. 6.
[15]
Ibid, hm. 8.
[16]
Ibid, hlm. 5.
[17]
Ibid, hm. 14.
[18]
Ibid, hm. 2.
[19]
Ibid, hm. 3.
[20]
Ibid, hm. 105.
[21]
Ibid, hm. 108.
[22]
Ibid, hm. 20.
[23]
Ibid, hm. 110.
[24]
Ibid, hm. 111.
No comments:
Post a Comment