(Dari pembongkaran tradisi hingga formasi nalar Arab)
dipersembahkan kepada :
:
Dr. Alim Ruswantoro, M.Ag.
Oleh :
MUHAMMAD BARIR,
S.Th.I
YOGYAKARTA
2014
A.
Pendahuluan
Dalam kajian filsafat ilmu, ada tiga aspek yang tidak dapat
dilepaskan, adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiganya merupakan jaringan
filsafat ilmu dari sumber, olah pemikiran, hingga kemungkinan untuk
dipraktekkan. Tarlepas dari mana yang lebih penting, salah satu di antara tiga
aspek tersebut yakni epistemologi merupakan aspek yang tidak dapat ditinggalkan
ketika berbicara mengenai proses pengetahuan. Epistemologi memiliki urgensinya
sendiri dalam mengetahui karakter, metode, dan landasan pemikiran yang lahir.
Makalah ini merupakan sebuah upaya untuk mengetahui proses berfikir
tersebut. tokoh yang pada kesempatan kali ini akan dibahas adalah Abid
al-Jabiri. Kajian pada makalah ini akan menyoroti sumberdata, metode, dan
validitas pemikiran Abid al-Jabiri dalam perspektif filsafat ilmu. Dalam
makalah ini juga secara ringkas akan mengkaji biografi Abid al-Jabiri yang
sebenarnya penting untuk memahami aspek-aspek kontekstual yang mempengaruhi
pemikirannya.
Dari paparan-paparan di atas, berikut merupakan beberapa rumusan
masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini:
1.
Bagaimana
Biografi Abid al-Jabiri?
2.
Bagaimana
pemikiran Abid al-Jabiri?
3.
Bagaimana
analisis atas epistemologi Abid al-Jabiri?
A. Biografi Muhammad Abid al-Jabiri
Negeri
Maghrib yang kini meliput negara Maroko, Aljazair, dan Tunisia merupakan negara
yang perah menjadi negara protektoriat Perancis, setelah merdeka Maroko
mengenal bahasa resmi, yakni bahasa arab dan perancis, dengan masuknya negara
ini, tidak hanya memberi pengaruh gerakan fisik namun juga memicu munculnya
pemikiran-pemikiran terutama pemikiran Modernis, salah satu tokoh yang lahir di
tengah kondisi ini adalah Muhammad Abid al-Jabiri.
Muhammad
Abid al-Jaberi lahir pad tanggal 27 Desember 1953 di Firguig Maroko tenggara[1].
Menenai Tahun lahir ini dalam keterangan lain disebut secara berbeda yakni
1936.[2] Ia
tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mendukung partai Istiqlal sebuah
pertai pejuang kemerdekaan dari penjajahan kolonial Perancis dan Spanyol. Kedua
Negara ini menjadikan Maroko sebagai Negara protektoriatnya, dari penjajahan
ini pula nantinya mempengaruhi penggunaan bahasa Perancis sebagai bahasa kedua
setelah bahasa Arab di Maroko.[3]
Ia
mengenyam pendidikan pertamanya di madrasah Hurratul Wathaniyah (sekolah swasta
Nasionalis) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951 dampai
1953 ia belajar di sekolah lanjutan pemerintah di Casablanca, setelah Maroko
merdeka, ia melanjutkan studinya di perguruan tinggi setingat diploma pada
seklah tinggi Arab bidang ilmu pengetahuan (Science Section). Ia sangat
mengidolakan tokoh-tokoh seperti Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, Ibn Hazm, dan
asy-Syatibi. Tokoh-tokoh inilah yang
pada gilirannya mempengaruhi pemikiran Abid al-Jabiri yang memilih menjadi
seorang post-modernis sebagaimana Nasr Hamid, Arkoun, dan Hasan Hanafi.[4]
Sebelum
bergulat di dunia akademis, Ia juga memiliki pengalaman politik bersama dengan
Mehdi B. Barka seorang pemimpin sayap kiri yang kemudian bersamanya ia
mendirikan Union National des forces Populaires (UNFP) yang kemudian berganti
nama menjadi Union Sosialeste Des Forces Populairesi (USFP), Mehdi menyarankan
agar ia menjadi Humas parta Istiqlal. di tengah padatnya politik yang
dijalaninya, pada tahun 1959 ia memulai studi Filsafat di Universitas Damaskus
Syiriya setahun kemudian ia memulai
studinya di Universitas Rabat yag beru didirikan. Ia dan kawan-kawanya di UNFP
dijebloskan ke penjara bulan juli1964 atas tuduhan konspirsi melawan negara.
Namun pada tuhun itu juga ia dikeluarkan dari penjara sekeluar dari penjara ia
aktif mengajar di Universitas lanjutan. Pada tahuj 1967 ia menyelesaikan
pendidikanya dan kemudian mengajar di Universitas of Muhammad V Rabat. Seluruh pendidikan
formalnya diselesaikan tahun 1970 dengan menyandang gelar doctor.
Kondisi
sosial masyarakat di Mesir saat itu sedang dalam goncangan di mana bangsa Arab
harus merasakan penjajahan dan harus mengakui kekalahan dengan Israil dan mulai
menyadari tentang keterbalikan posisi yang mereka alami dengan masa dimana
Islam menjadi pusat pengetahuan menjadi cerminan kemajuan dunia. Saa itu
seiring dengan munculnya kesadaran akan ketertinggalan dunia Islam, pemikir
muslim terpecah menjadi dua kubu ekstrim antara pemikiran tradisionalis dan
pemikiran modernis, namun Abid al-Jabiri mencoba memosisikan pada islam jalan
tengah dengan bersifat eklektis.
Al-Jabiri
adalah seorang pakar Filsafat di dunia Arab Kontemporer, dia termasuk kelompok
elit yang mengamati tradisi Filasafat klasik sehingga dapat merumuskan dan
menyelami filsafat klasik itu secara hidup.[5]
Perkenalan Abed al-Jabiri dengan dunia pemikiran filsafat dimulai dengan
kanalnya ia terhadap pemikiran perancis bermula semenjak ia masih kuliyah
di Universitas of Muhammad V Rabat di
Maroko sekitar decade 1950-an, saat pemkiran Marxisme berkembang pesat di dunia
Arab. Dan ia sendiri saat itu tumbuh sebagaimana—yang dia akui sendiri—sebagai
pengagum Marxisme, namun kekaguman ini kian teerkikis saat ia membaca karya
Yves Lacoste tentang Ibn Khaldun. Filsafat adalah hal yang membangun pemikiran
abid al-Jabiri tidak heran jika ia banyak mengunggulkan akal dalam pemikiranya,
kekaguman terhadap filsafat ini juga terlihat dengan kekagumanya atas Ibnu
Rusyd seorang tokoh filsafat Islam yang hidup di era keemasan pemikiran dan
pengetahuan Andalusia.
Al-Jabiri
banyak menyusun karya di bidang ilmiyah di antaranya ialah tulisan rutinnya di
beberapa harian ternama di Timur Tengah seperti al-Syarq al-Ausath.
Tercatat ada 17 buku yang menjadi buah tangannya. Ia juga sering mengisi
seminar baik di Timur tengah dan Eropa. Ia dalam seminar bahkan pernah berada
dalam satu forum dengan Syaikhuna Allamah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan
Fatimah Mernisi di Berlin Jerman dalam tema Civil Society in the Muslim
World.
Karya
beliau banyak yang telah terbit namun juga ada yang belum diterbitkan di
antaranya ialah sebagaimana yang disebut di atas yakni harian timur tengah al-Syarq
al-Ausath, ia juga menulis tentang pemikiran Ibn Khaldun dalam karyanya Fikru
Ibn Khaldun, Ashobiyah wa ad-Daulah karya ini ditulis 1971. Beliau juga
melakukan kritik atas pendidikan dimaroko dalam bukunya adlwa ala Musykil
at-Ta’lim tulisan ini ia tulis tahun 1973. Ia jiga meluncurkan dua
jilid buku epistemology ilmu pengetahuan yakni Madkhol ila falsafah al-Ulum
(pengantar filsafat ilmu), dan banyak buku lainya, dan buku yang menjadi
magnum opusnya ialah buku I dan II tentang kritik nalar Arab yakni Naqd
al-aql al-Aroby dan Bunyah al-‘Aql al-Arabi[6],
kehebohan karya ini sampai-sampai membuat jurnal ilmiyah al-Mustaqbal
al-Araby menganggap karya ini sebagai perestroika (perombakan) Arab karena
berani membongkar epistemologi yang telah mapan.
B. Pemikiran Abid al-Jabiri
Salah
satu proyek besar Abid al-Jabiri ialah kritik sistem pengetahuan bangsa Arab (naqd
aql al-Araby). Upaya ini dilakukannya sebagai proses penelusuran dan
penyelidikan atas landasan dasar, metode, serta pengaruh akar historisitas
budaya Arab dalam tradisi penalaran. Dari sini, sangat terlihat bahwa Abid
al-Jabiri begitu memperhatikan urgensi epistemologi dalam pembentukan budaya
Arab yang pada gilirannya juga sekaligus membentuk budaya Arab. Meski fokus
yang menjadi kajian al-Jabiri adalah nalar Arab, bukan nalar Islam, namun,
karena keterkaitan antar kedua budaya ini, maka membicarakan Islam dalam kajian
kritik nalar Arab merupakan sebuah keniscayaan.[7]
Dalam
bukunya Takwin al-‘Arabi, al-Jabiri mendefinisikan epistemologi sebagai
sejumlah konsep, prinsip, dan cara kerja untuk mencari pengetahuan dalam
rentang sejarah dan kebudayaan tertentu dengan struktur tak sadar yang
melingkupinya. Sementara yang dimaksud dengan Nalar Arab adalah aql
al-mukawwan yang melingkupi aturan dan kaidah yang digunakan oleh orang
dalam kebudayaan Arab untuk memperoleh pengetahuan. Menurut al-Jabiri
keberadaan Nalar Arab ditentukan dan dipaksakan secaratidak sadar.[8]
Berikut lebih lanjut mengenai pemikiran Abid al-Jabiri tentang kritik nalar
Arab.
1. Modernisasi Tradisi Islam : memposisikan turats
dan tajdid
Dalam
tradisi Islam, porsi akal sebelumnya telah tertutupi. Terlebih setelah imam
Ghazali mengkritisi filsafat, banyak kaum muslimin menganggapnya sebagai
larangan untuk bersentuhan atau sekedar mendekati ilmu tersebut. Dengan ini, umat Islam tidak lagi bisa berfikir secara merdeka dan
untuk melakukan tindakan-tindakannya dalam urusan agama harus mengikuti
pendapat yang telah disepakati ulama (taqlid). Tentunya pelarangan itu
hanya untuk orang awam, bagi cendekia muslim diperbolehkan Ijtihad Jama’i namun
namun hal tersebut pada dasarnya tetaplah taqlid. Meski mereka tidak bertaqlid
dalam produk fiqih, namun mereka tetap bertaqlid karena terkukung oleh metode
ushul fiqih dan qoidah yang telah dibakukan.
Salah satu hal lain yang tersisihkan oleh budaya Islam dengan ini
adalah nilai sosial dan kemodernan. Kaum muslimin abad tengah (1400-1800 M)
lebih menyibukkan diri memenuhi masjid dan hidup dalam jalan tasawwuf. Lebih
jauh, umat Islam terkungkung oleh dikotomi ilmu agama dan non agama. hal ini
berakibat pada kemandekan dan dalam urusan dunia, umat Islam hanya berjalan
ditempat. Hal inilah yang menurut al-Jabiri harus dibebaskan.
Dengan
kolonialisasi, persentuhan antara peradaban Barat dengan peradaban Tumur tidak
terelakkan lagi. Hal ini menyayat, namun cukup menginspirasi kaum muslimin
untuk membuka mata bahwa Barat beberapa langkah telah lebih maju. Bagai
gerbong, umat Islam terseok-seok mengikuti lokomotif kemajuan yang terus
bergerak seiring mobilitas zaman.[9]
Selain itu, Ilmu Logika menurut al-Jabiri masih berada pada kondisinya yang
teralienasi atau tersisihkan karena di depak oleh ilmu-ilmu sifistik, fiqih,
dan kebahasaan. Ia mengumandangkan hal tersebut adalah penghambat kemajuan
Islam.
2. Nalar Arab
Ada
tiga sitem berfikir yang mewarnai pemikiran Arab Islam yang menjadi tema besar
kajian Abid al-Jabiri. Ketiga sistem berfikir tersebut adalah Bayani, Irfani,
dan Burhani. Ketiga sistem ini pula yang pada gilirannya akan dikorelasikan
dengan proses dinamika pembacaan al-Qur’an dalam tradisi Arab Islam, sebuah
istilah yang muncul berhubungan dengan kesadaran bahwa Islam tidak hanya lahir
dengan terpengaruhi kebudayaan Arab sebelumnya, namun secara seimbang Islam
juga turut mempengaruhi Kebudayaan bangsa Arab setelahnya.
Meski
ketiga term yang dipakai oleh Abid al-Jabiri merupakan sebuah kritiik terhadap
apa yang tidak terpikirkan oleh para cendekia sebelumnya, namun beberapa
cendekia sebelum al-Jabiri pernah menyinggung tentang tiga term tersebut walau
apa yang mereka upayakan masih sebatas penjabaran—sebut saja Imam Qusairi yang
membagi pengetahuan menjadi tiga aspek yakni ‘ilm al-yaqin (nalar
burhani), ‘Ain al-Yaqin (nalar bayani), dan haq al-yaqin (nalar
irfani)—[10].
Hal ini bagaimanapun cukup memberikan andil besar terhadap kajian al-Jabiri,
Brikut ketiga nalar Arab menurut pendapat al-Jabiri :
a) Nalar
Bayani
Nalar
bayani atau yang dikenal dengan berfikir untuk mencapai pengetahuan atau nilai
adalah dengan berpedoman pada upaya menjelaskan (explanation) berhubungan
dengan tekstualitas. Ibn Manzur dalam Lisan al-Arab menyatakan bahwa bayani
terdiri dari tiga huruf (ba-ya-nun) merupakan upaya menuntut suatu penjelasan
kebahasaan.[11]
Definisi etimologis ini tentunya tidak menjadi satu-satunya definisi, namun hanya
satu diantara lima definisi yang dikemukakannya. Definisi ini kemudian
diperlengkap lagi oleh al-Jabiri bahwa yang dimaksud bayani adalah tidak hanya
sekedar upaya memahami dan menyampaikan suatu pesan pengetahuan, namun juga
merupakan segala sesuatu yang karnanya pemahaman atas pengetahuan akan menjadi
sempurna.[12]
Budaya Arab dengan sistem kebahasaanya yang unggul mendorong terciptanya
karakter masyarakat yang menggebu dalam berlomba-lomba berkarya dengan
sastranya dan pada saatnya Al-Qur’an Hadir dengan bahasa yang menakjubkan, ia
turut serta dalam khazanah kebudayaan Arab ini. Karena hal tersebut, tidak
heran jika Nasr Hamid Abu Zaed menyatakan bahwa budaya Arab merupakan budaya
teks.[13]
Dari
pengertian di atas, dapat diketahui bahwa sumber pengetahuan dalam epistemologi
bayani merupakan teks. Dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan
berdiri tegak di atas landasan teks sebagai titik sumbunya.[14] Abid
al-Jabiri menyebut orang yang berpedoman pada nalar ini sebagai baya>niyyin (para ahli bayani).
Apa yang menjadi landasan golongan ini mengacu pada ilmu-ilmu tekstualitas
seperti nahwu, balagah, kalam dan keilmuan lainnya yang berlandaskan pada qanu>n
al-Lughawi atau aturan-aturan kebahasaan tertentu secara baku. Berangkat
dari hal tersebut, kajian pada nalar bayani terkesan lebih terbatasi oleh
bingkai keilmuan internal dan lebih eksklusif.[15] Akibat dari penggunaan sumber teks ini,
metode yang dipakai oleh ahli bayan (baya>niyyi>n) adalah lebih mengacu
pada metode deduktif dengan mengusung dalil al-‘ibrah bi umu>m al-lafz la> bi khusu>s as-sabab.
Pemakaian
nalar bayani akan terlihat dalam pembacaan realitas al-Quran, Menurut Abid
al-Jabiri, memahami al-Qur’an tidak bisa dengan pengalihan bahasa lain, karena
tidak mungkin suatu teks dialihbahasakan tanpa mengalami perubahan. Dan jika
al-Qur’an dialih bahasakan, bukanlah dianggap sebagai al-Qur’an, karena cakupan
makna suatu kosa kata akan sangat tereduksi oleh satu pilihan makna, padahal
satu kosa kata al-Qur’an terkadang memiliki bisa lebih dari satu makna. Al-Qur’an
memiliki sisi dimana ia bisa dikaji dengan metode Bayani yang menurut Herder
(1733-1803) bahasa bukan sekedar alat untuk berfikir, namun model yang darinya
pemikiran tersebut akan terbentuk, karena “masyarakat bertutur sebagaimana
mereka berfikir dan masyarakat berfikir sebagaimana mereka bertutur”.[16] Ungkapan
Herder ini sangat pas dalam memahami Islam dan budaya Arab yang keduanya saling
berdialog.
b) Nalar
Irfani
Kata
Irfan (عرفان)
dalam bahasa Arab merupakan bentuk mas{dar dari
runtutan jumlah istilahi عرف- يعرف - عرفانا
yang berarti sepadan dalam bahasa Indonesia dengan ilmu atau pengetahuan.
Sedangkan dalam tradisi sufistik kata tersebut عرفان atau معرفة menunjukan tingkatan tertentu dalam tangga
tasawwuf, sebuah istilah yang disematkan kepada orang yang telah sampai pada
maqam mengenal Allah.[17] Nalar
Irfani menunjukan model pengetahuan yang
ditiupkan ke dalam sanubari (intuisi) seseorang dengan mekanisme kasyf/ilham
sebagai sumber otoritatif pengetahuan.[18]
Istilah
ma’rifat ini dipakai oleh beberapa ulama dengan penggunaannya yang beragam.
Dzun Nun al-Mishri membagi marifat menjadi tiga aspek. Pertama adalah ma’rifah
at-tauhid (pengetahuan akan keesaan Tuhan) yang dimiliki oleh semua orang
yang beriman; kedua adalah ma’rifah al-Hujjah (pengetahuan tentang
pedoman hukum) yang dimiliki oleh ahli fiqih; dan ketiga adalah ma’rifah as-sifat
al-wahdaniyyah (pengetahuan terhadap sifat-sifat keesaan Tuhan) yang
dimiliki oleh para ahli hikmah.[19]
Al-Irfan
adalah fenomena sistem pengetahuan yang dikenal oleh agama-agama besar seperti
Yahudi, Kristen, dan Islam bahkan oleh agama-agama pagan. Konsep irfan dalam
keilmuan Islam menurut al-Jabiri bisa dilajak dari masa pra Islam. Imlikh Jamlichus
pada sekitar abad II atau III yang merupakan filsuf keturunan Syiria beraliran
Neo-Platonis lebih memilih tradisi filsafat Hermes daripada fislsafat
aristoteles dalam menyelesaikan persoalan. Ajaran ini berkembang bahkan hingga
kedatangan Islam pada pertengahan abad VII M dan menjadi mazhab oposan terhadap
rasionalisme Yunani.[20]
c) Nalar
Burhani
Al-Burhan
dalam bahasa Arab diarikan sebagai al-hujjah al-fasilah al-bayyinah (argumentasi
yang definiif dan jelas), dalam bahasa inggris demonstration yang pemaknaannya
adalah merujuk pada bahasa latin demonstratio yang bermakna isyarat, sifa,
penjelasan, dan penampakan. Menurut istilah epistemologis, al-Burhan bermakna
aktifitas mental yang menetapkan kebenaran suatu proposisi dengan metode
deduksi, atau mengaitkan suatu proposisi dengan proposisi yang lain yang
bersifat aksiomatik (kebenaran yang telah disepakati) dan terbukti
kebenarannya.[21]
Sumber
keilmuan yang otoritatif dalam epistemology burhani adalah
eksperimentasi akal dengan kerangka teoritis dalil-dalil logika yang dalam.
Episteme burhani ini dikenal dengan silogisme atau al-qiyas al-jami’ yang
mengandalkan nalar dan eksperimentasi. Peran nalar antara lain dalam melihat realitas
adalah memproduksi pengetahuan dalam menyingkap sebab (idrak as-sabab) atau
menemukan hokum kausalitas dibalik sesuatu. Aristoteles yang mengklasifikasikan
sebab menjadi empat macam, yakni : materi, bentuk, pelaku, tujuan.[22]
3. Relasi
antar Nalar Arab
Dalam
interaksinya, masing-masing nalar Arab tidak selalu berdiri sendiri, namun juga
dalam beberapa perkembangannya, antara satu nalar dengan nalar lain saling
berhubungan. Ada tiga model interaksi nalar Arab yang sekaligus menunjukan
tahapan fase perkembangannya. Fase pertama merupakan fase dimana antara
masing-masing Nalar berdiri sendiri dengan eksistensinya masing-masing. Meski
nalar Arab merupakan sesuatu yang terpengaruhi oleh budaya atau secara lebih
tegas nalar Arab merupakan bentukan budaya (muntaj s|aqa<fi),
namun nalar Arab sekaligus juga memiliki tujuan membentuk budaya pemikiran baru
(mutij s|aqa<fi).
Pada fase ini, masing-masing alar saling berlomba dalam mempengaruhi budaya
penalaran Arab.[23]
Fase
kedua merupakan fase di mana antar masing-masing nalar sudah mulai saling
bersentuhan. Hal ini ditandai dengan upaya al-Harith al-Muhasibi yang mencoba
menyatukan antara nalar bayani dengan irfani, al-Kindi yang berusaha menyatukan
antara bayani dengan burhani, dan ihwan as-safa yang berusaha menyatukan antara
nalar burhani dengan irfani.[24]
Dari sini, merupakan hal yang wajar jika filsafat ihwan as-safa lebih terkesan
mengkaji aspek metafisika dan eskatologis yang keduanya bersifat esoteris
melalui nalar burhani.
Pada
fase ketiga merupakan fase penyusunan ulang relasi antar epistem.[25] Mengenai lebih jauh tentang bagaimana
penyusunan ulang ini, al-Jabiri memberikan perhatian khusus terhadap nalar
Burhani sebagai nalar yang lebih unggul dan sebaliknya, ia terkesan ingin
mendepak nalar irfani yang selama ini dinilai kurang memiliki relevansi untuk
masa depan epistem Arab. Mengenai nalar bayani, ia tetap menganggapnya sebagai
bagian yang mendukung terhadap proses epistem burhani.
C. Analisis atas Epistemologi Abid al-Jabiri
Al-Jabiri
melihat kenyataan bahwa sebelumnya bangsa Arab seringkali memposisikan tipe
penalaran dengan tidak sesuai kadarnya. Porsi yang diberikan antara
masing-masing nalar tidak ditakar dengan seimbang, namun bagaimanapun seiring
perubahan generasi, budaya penalaran ini pada akhirnya terus bergeser secara
tidak disadari (la’iy). Tampak bahwa Ia banyak melakukan kritikan baik
terhadap nalar bayani terutama irfani di satu sisi dan terlihat sangat antusias
dalam mewacanakan nalar bayani di sisi lainnya. Berdasarkan analisis sosio-historis
perkembangan nalar Arab, al-Jabiri menempatkan nalar sebagai “struktur
berfikir” (episteme) yang menguasai gerak budaya Arab yang masing-masing
memiliki kelemahan dan kelebihan.
1. Kritik
atas Epistem Bayani
Seiring berjalannya
waktu, nalar bayani tradisional yang berupa budaya lisan pada akhirnya berubah
menjadi budaya tulis. Hal ini terus berkembang hingga proses peletakan
aturan-aturan dan pembentukan kaidah baku dalam interpretasi teks untuk
pertamakalinya dicanangkan oleh asy-Syafi’I (w. 204 H). meski demikian, apa
yang dilakukan oleh asy-Syafi’I belum dirasa memuaskan. Menurut al-Jahidz,
upaya asy-Syafi’I baru pada tingkat memahami makna teks secara sepihak dan
belum berusaha melibatkan pendengar, padahal al-bayan pada sisi pedagogik
menuntut tersampainya pesan pada pendengar sehingga pendengar harus dilibatkan,
bahkan sebagai tujuan.[26]
Menurut asy-Syatibi, seorang tokoh kelahiran Cordova
Spanyol, nalar bayani harus diperbarui dengan melakukan pembacaan realitas.
Untuk mensukseskan tujuan tersebut, epistem burhani tidak cukup hanya dengan
beracuan pada teks yang menggunakan analisis kebahasaan dengan berbagai
transformasinya, namun juga harus disertai dengan dalil-dalil burhani.
Berangkat dari hal ini, Asy-Syatibi menawarkan tiga metode, pertama adalah al-Istintaj
(qiyas jama’I atau silogisme), istiqra’ (induksi), dan maqasid
asyariah. Untuk lebih jauh memahami aspek metodologi epistemologi bayani,
menurut al-Jabiri ada hal-hal yang harus diperhatikan, dalam hal ini,
unsure-unsur yang mengkonstruk sistem pengetahuan bayani yaitu pasangan
lafadz-makna, ashl-far’, dan khabar-qiyas.[27]
Salah satu kelemahan episteme bayani adalah dalam
membaca realitas yang terus berkembang dengan metode qiyas bayani.
Permasalahan baru yang tidak terdapat dalam teks dirumuskan dengan menggunakan qiyas
(silogisme) dengan menyimpulkan pemikiran melalui premis-premis. Dari hal
tersebut, hukum yang muncul bukanlah hal baru dan akan bersifat mengekor pada
teks. Qiyas sangat beracuan pada illat hukum, membandingkan dan
mencocok-cocokkan kesamaan antara pesan teks dengan realitas, karena ini,
al-Jabiri melihat bahwa hokum yang dihasilkan oleh qiyas bayani adalah petunjuk
yang tak pasti (dhanny adz-dzilalah).
2. Kritik
atas Epistem Irfani
Salah
satu hal yang menjadi perhatian al-Jabiri dalam pemikirannya adalah mengenai
wahyu. Meski kajian al-Jabiri bisa dikatakan murni sebagai kajian filosofis,
namun pengaruh Islam sebagai agama yang dianut oleh bangsa Arab membuat
al-Jabiri banyak berbicara tentang konsep wahyu. Kajian al-Jabiri terhadap
wahyu inilah yang sekaligus menjadi alat yang ia gunakan untuk mengkritisi
Nalar Irfani. Secara sederhana, gambaran penggunaan nalar irfani dalam
penafsiran adalah sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan Syiah yang
menggunakan qiyas irfani dalam penafsiran al-Qur’an. Hal ini sebagaimana
penafsiran pada surat ar-rahman ayat 19-22. Menurut kalangan Syiah, kata bahrayni
ditafsirkan dengan Sayyidina ali dan Fatimah, barzakh sebagai Muhammad
SAW, dan lu’lu wal marjan sebagai sebagai sayyidina Hasan dan Husain.[28]
Di
luar sikap eklektif al-Jabiri yang menyandingkan secara seimbang antara tradisi
dan modernitas, nalar irfani dalam arti negatif sering dituding sebagai aspek
yang bertanggungjawab atas ketertinggalan dunia Islam saat ini. Nalar ini
dianggap sebagai nalar irasional dan melakukan penyingkiran akal dalam proses
mencari kebenaran.[29] Secara
lebih jauh, Bangsa Arab klasik ia anggap tidak menggunakan porsi yang seimbang
dalam menggunakan masing-masing nalar dengan lebih menekankan nalar Irfani. Dalam
membahas alasan diutusnya nabi-nabi, al-Jabiri menyatakan bahwa bangsa Arab pra
Islam lebih terkesan mengunggulkan nalar irfani hingga pada akhirnya datanglah rasul
membawa ajaran yang rasional, namun setelah rasul wafat, maka bangsa ini
kembali pada dunia irasionalnya. Kemudian pada saatnya mereka akan kembali pada
ajaran yang benar dengan diutusnya rasul yang lain, namun setelah rasul
tersebut wafat, maka mereka kembali pada budaya irasionalnya. Hal ini berlanjut
hingga diutusnya nabi Muhammad. Inilah gambaran bahwa Nalar Irfani sangat
berpengaruh dan telah mengakar dalam dunia Arab yang memang telah berjalan
turun temurun dari generasi ke generasi.
Begitu melekatnya nalar irfani dalam
dalam budaya Arab membuat al-Makmun yang merupakan salah satu Khalifah dari
bani Abbasiyah memanfaatkannya dalam mendeklarasikan logika. Sebelumnya, Ia berusaha
mencari cara agar ajaran logika Yunani dapat diterima oleh masyarakat. Pada akhirnya
dalam sebuah ceramah, ia mengklaim bahwa pada suatu malam ia bermimpi bertemu
dengan seseorang beralis tebal yang menyambung dari ujung ke ujung, bermuka
merah, dan menyebut dirinya sebagai aristoteles. Si lelaki tadi berpesan pada
al-Makmun bahwa kebenaran bisa di peroleh dari Nash, kemudian Ijma’, dan
terakhir adalah dengan menggunakan akal.[30] Tindakan
ini adalah bentuk politis agar ajaran logika bisa diterima oleh masyarakat yang
saat itu sangat antusias terhadap hal-hal mistis.
3. Membangun
Nalar Arab berbasis Nalar Burhani
Apa
yang dilakukan oleh Abid al-Jabiri ini sebenarnya lebih pada upaya untuk
mendeklarasikan sebuah model penalaran baru yakni Nalar Burhani yang sebelumnya
terhegemoni oleh nalar irfani dan bayani. Nalar burhani beracuan pada hukum
kausalitas. Bagaimanapun, munculnya teks adalah bermula dari sebuah keadaan
sehingga teks hanyalah proyeksi dari realitas yang terjadi sebagaimana
seseorang yang mengalami peristiwa tertentu akan berusaha menjelaskan peristiwa
tersebut dengan teks, namun teks sangat terbatas dan tidak dapat mewakili dari
keseluruhan peristiwa yang terjadi. Gagasan al-Jabiri sebenarnya tidak bisa
lepas dari al-Farabi yang menyatakan bahwa makna hadir lebih dahulu daripada
teks, bahasa hanya sebuah ekspresi dari ide dan bukan ide itu sediri. Sangat
ironis jika ide terpenjara oleh kekakuan teks.[31]
Selain itu nalar bayani juga sangat rentan ketika dihadapkan dengan sebuah
permasalahan realitas yang tidak terdapat pada teks.
Meski
al-Jabiri mengkritisi model penalaran bayani, bukan berarti ia menolaknya
secara apriori, bahkan ia merumuskannya dalam metode memahami pengetahuan.
Menurutnya, teks tetap berperan penting dalam memahami suatu pesan karena teks
merupakan salah satu instruen utama yang digunakan seseorang untuk menyampaikan
realitas. Karena hal tersebut, al-Jabiri menyandingkan antara pendekatan
struktural (al-ma’a<lijah
al-bunya<niyyah) dengan analisis historis (at-tah{a<yul at-ta<rikhi).[32]
Untuk
mendapatkan suatu pengetahuan, ada lima tahapan yang harus ditempuh dalam
penalaran sebagaimana yang ada dalam isagoge Aristoteles. Kelima unsur tersebut
disebut dengan lima konsep universal 1) jenis (genus), yakni konsep
universal yang memiliki kesamaan hakikat, 2)
nau’ (spises), konsep universal yang searti namun berbeda
hakikat hakikat, 3) fasl (differentia), yakni sifat yang
membedakan secara mutlak, 4) khas (propirum), sifat khusus yang dimiliki
suatu benda, namun hilangnya sifat ini tidak akan mempengaruhi hilangnya
hakikat suatu benda, dan 4) ard (aksidensi) sifat khusus yang
tidak dapat diterapkan pada semua benda.
D. Kesimpulan
1. Dari
biografinya, Aljabiri sebagai tokoh yang menggeluti percaturan politik memang
terlihat sebagai sosok post-modernis yang berusaha mengusung nilai kemodernan
dalam diri Islam itu sendiri. Meski demikian ia juga dengan agenda besarnya
yakni naqd aql al-Araby bisa pula digolongkan sebagai tokoh yang
beraliran reformis dengan misi merekonstruksi bangunan pemikiran terdahulu.
2. Beberapa
pemikiran al-Jabiri sangat berkaitan dengan apa yang menjadi agenda besarnya
yakni naqd aql al-Araby, dengan mengkritisi tiga tradisi berfikis yang
ia istilahkan dengan nalar atau struktur berfikir dalam mencari pengetahuan
yakni epistem bayani, irfani, dan burhani.
3. Dari
pemikiran-pemikirannya epistemologi al-Jabiri bisa dirumuskan sebagaimana
berikut:
Aspek
Tradisi dan Kemodernan
a. Membuka
kembali pintu ijtihad
b. Membongkar
alienasi kelas proletar ilmu
c. Modernisasi
dan Mobilisasi Keilmuan Islam
Aspek
Nalar Arab
a. Epistemologi
Bayani
1
|
Origin
of Science
|
Teks,
Wahyu, Nash
|
2
|
Methode
|
Qiyas
Bayani
|
3
|
Approach
|
Lughawiyyah
(linguistic)
|
4
|
Validity
|
Illat
(keserupaan) dalam hubungan koherensif dengan realitas.
|
b. Epistemologi
Irfani
1
|
Origin
of Science
|
Esoterical
Experience, intuisi (bisikan kalbu)
|
2
|
Methode
|
Qiyas
al-Irfani, riyadhoh, mujahadah
|
3
|
Approach
|
Sufistik
|
4
|
Validity
|
Kesesuaian
antara Dzauq (rasa) dengan universal reciprocity
|
c. Epistemologi
Burhani
1
|
Origin
of Science
|
Akal
dan realitas
|
2
|
Methode
|
-
Pengartian (Ma’qulat)
= abstraksi
-
Pernyataan (ibarat)
= ekspresi
-
penalaran
|
3
|
Approach
|
Filosofis
– Saintific
|
4
|
Validity
|
-
Korespondensi
-
Koherensi
-
Pragmatis
|
Daftar Pustaka
al-Jabiri, Abid.
Bunyah al-Aql al-Arabiy (Beirut: Markaz Dira>sah al-wahdah al-Arabiyyah).
----------, Muhammad Abid. Formasi Nalar Arab (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2003).
Abrori, “Studi Komparasi Muhammad Abed al-Jabiri dan Mohammad
Arkoun”, Skripsi fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003
Dwi Haryono,
“Hermeneutika al-Qur’an Abid al-Jabiri” dalam Syahiron
Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: Elsaq.
2010) Hlm. 86.
Muslih, Mohammad.
Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 180.
Choir, Tholhatul. dan Fanani, Ahwan. (ed.), Islam dalam Berbagai
Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
[1]
Dwi Haryono,
“Hermeneutika
al-Qur’an Abid al-Jabiri” dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits,
(Yogyakarta: Elsaq. 2010) Hlm. 86.
[2] Abrori, “Studi
Komparasi Muhammad Abed al-Jabiri dan Mohammad Arkoun”, Skripsi fakultas
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003. Hlm. 56.
[3]
Tholhatul Choir
dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009). Hlm. 181.
[4]
Tholhatul Choir
dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbaga,i … 182.
[5]
Abrori, “Studi
Komparasi Muhammad Abed al-Jabiri dan Mohammad Arkoun”, Skripsi fakultas
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003. Hlm. 57
[6] Tholhatul
Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 180.
[7] Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 180.
[8]
Tholhatul Choir
dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 183.
[9] Ali Harb, Kritik
Nalar al-Qur’an (Yogyakarta, LKiS), 186.
[10]
al-Jabiri, Bunyah
al-Aql al-Arabiy…, hlm. 252.
[11]
Lihat, Abid
al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabiy (Beirut: Markaz Dira>sah al-wahdah al-Arabiyyah), hlm. 15.
[12]
Lihat, Abid
al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabiy …, hlm. 14.
[13]
Tholhatul Choir
dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 184.
[14]
Tholhatul Choir
dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 184.
[15] Lihat, Abid
al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabiy …, hlm. 13.
[16] Muhammad Abid
al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) hlm. 224.
[17]
Abid al-Jabiri,
Bunyah al-Aql al-Arabiy (Beirut: Markaz Dira>sah al-wahdah al-Arabiyyah), hlm. 251.
[18]
Tholhatul Choir
dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 187.
[19]
al-Jabiri, Bunyah
al-Aql al-Arabiy…, hlm. 252.
[20]
Choir dan Ahwan
Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 187. Sebagaimana Abid
al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabiy.., hlm. 252.
[21]
Choir dan Ahwan
Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 190.
[22]
Choir dan Ahwan
Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 190-191.
[23]
Choir dan Ahwan
Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 192.
[24]
Choir dan Ahwan
Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 192.
[25]
Choir dan Ahwan
Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 192.
[26]
Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 183.
[27]
Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 185.
[28]
Tholhatul Choir
dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 189.
[29] Muhammad Abid
al-Jabiri, Formasi Nalar Arab..., hlm. 232.
[30]
Muhammad Abid
al-Jabiri, Formasi Nalar Arab …, hlm. 365.
[31]
Choir dan Ahwan
Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 197.
[32]
Dwi Haryono,
“Hermeneutika
al-Qur’an Abid al-Jabiri” dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits,
(Yogyakarta: Elsaq. 2010) Hlm. 99.
No comments:
Post a Comment