tulisan ini dipersembahkan kepada :
Dr. H. Agung Danarto, M.Ag.
Disusun Oleh :
MUHAMMAD BARIR,
S.Th.I
YOGYAKARTA
2015
A.
Pendahuluan
Penulisan Hadis telah terjdi semenjak era Nabi, namun penulisannya
terbatas pada catatan pribadi masing-masing sahabat. Hadis pada era awal Islam
telah tercatat dalam hafalan dan amalan para sahabat. Salah satu sahabat yang
giat melakukan penulisan hadis adalah Abdullah bin Amr. Apa yang dilakukannya
pada mulanya tidak berjalan dengan mulus, ia mendapat itervensi dari kafir
Quraisy yang menyatakan bahwa Nabi merupakan manusia biasa yang bertutur sesuai
kondisi batin sebagaimana manusia pada umumnya yang terkadang ramah, namun juga
terkadang marah. Setelah mempertanyakan hal tersebut pada Nabi, kemudian Nabi meneguhkan
hati Abdullah bin Amr dan menunjuk mulut beliau sendiri dengan berkata
“tulislah!, demi dzat yang jiwaku berada pada tangannya, tidaklah sesutau
keluar darinya kecuali itu adalah kebenaran”.[1]
Saat itu, pencatatan hanya dilakukan secara personal ialah karena
tidak ada perintah untuk menyusun hadis yang diakibatkan kekhawatiran bercampur
dengan pencatatan al-Qur’an sebagaimana larangan Nabi : “Janganlah kamu tulis
sesuatu dariku selain al-Qur’an”. Larangan nabi ini menjadi sebuah isyarat
bahwa tidak semua sahabat bisa dan diperkenankan menulis hadis.[2]
Hadis diajarkan dari sahabat kepada sahabat lain dan juga kepada
para tabi’in dalam hubungan guru dan murid. Setelah sang murid berkelana
ataupun kembali ke kampung halaman, hadis diajarkan pada masyarakat di mana
mereka berada. Begitulah secara terus-menerus menjadi tradisi pengajaran hadis yang
mengakar kuat dari generasi ke generasi. Selain hafalan, para sahabat juga
turut menjaga hadis dengan jalan mengamalkannya. Melalui ilmu dan amal, hadis
terus dilestarikan hingga abad-abad berikutnya dalam perkembangan umat Islam.
Hanya saja, dikemudian hari muncul perkataan yang diklaim sebagai hadis,
padahal sangat meragukan. Dikemudian hari diketahui bahwa ternyata
pernyataan-pernyataan yang diklaim sebagai hadis adalah palsu dari hal inilah
pernyataan-pernyataan tersebut dikenal dengan istilah hadis maudu’.
Tidak menutup kemungkinan juga hadis yang benar-benar dari rasulullah tidak
dipalsukan, namun telah menyimpang baik matan redaksinya karena daya hafal yang
terbatas para periwayat sebagai seorang manusia biasa.
Di tengah kondisi melemahnya otentisitas hadis, muncul sebuah
gagasan dalam merangkaum hadis dari berbagai ulama untuk disatukan dan
dibukukan. Hal ini dianggap penting dengan berbagai alasan. Hal ini terjadi ialah
ketika abad ke II dan ke III hijriyah. Dangan urgensi peristiwa pembukuan hadis
yang sering diistilahkan dengan kodifikasi ini, tulisan berikut menjadi sebuah
upaya dalam mengenang dan mengkaji sejarah kodifikasi hadis pada abad ke II dan
penyempurnaannya pada abad ke III hijriyah.
Ada dua rumusan masalah yang akan coba dijawab dalam tulisan ini,
yakni:
1.
Bagaimana
kondisi hadis dan upaya pengembangannya oleh kaum muslimin pada abad kedua
hijriyah?
2.
Bagaimana
kondisi hadis dan upaya pengembangannya oleh kaum muslimin pada abad ketiga
hijriyah?
B.
Hadis Abad Kedua Hijriyah
1.
Pengaruh
Era Sebelumnya
Ada beberapa hal yang sedikit banyak telah memberikan pengaruh
terhadap perkembangan hadis pada abad kedua hijriyah. Di antaranya ialah
pemalsuan hadis yang telah terjadi pada era Utsman R. A. telah mengakibatkan
banyak pegaruh pada perkembangan hadis era setelahnya. Pemalsuan hadis sendiri
diidentifikasi sebagai dampak atas terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa
golongan yang berkepentingan melakukan pembelaan atas kelompoknya
masing-masing. Hadis hanya digunakan sebagai legitimasi golongan dalam mencari
pembenaran.
Sejauh pengamatan beberapa cendekia hadis saat ini seperti Nuruddin
Itr, terdapat beberapa catatan mengenai konteks uamat Islam pasca Nabi yang
berpengaruh terhadap perkembangan hadis abad kedua hijriyah. Konteks itu pula
yang pada gilirannya mengantarkan terbukannya pintu ijtihad dalam melakukan
kodifikasi hadis. Di antara hal yang cukup berpengaruh adalah pertambahan waktu
yang berdampak pada semakin memperlebar jarak dari masa Nabi serta semakin memperbanyak
runtutan jalur periwayat dalam sanad hadis. Hadis yang jumlahnya ratusan ribu
ditambah dengan runtutan perawi yang dari masa ke masa terus bertambah, semakin
menyulitkan para penghafal hadis. Di samping hal tersebut diperparah dengan
semakin menurunnya daya hafal di kalangan umat Islam sebagaimana disebutkan
oleh az-Zahabi dalam Tazkirah al-Huffaz.[3]
Selain kondisi di atas, hal lain yang juga mempengaruhi ide
kodifikasi hadis ialah alasan pelindungan hadis dari perselisihan antar mazhab.
Perpecahan ini sendiri terjadi dan muncul ke permukaan ialah dari era Utsman RA
dan memuncak pada masa Ali RA dengan terjadinya perang Siffin. Pada mulanya
perpecahan ini ditandai dengan munculnya tiga aliran besar yakni murji’ah,
syi’ah, dan khawarij, sedangkan hingga abad kedua hijriyah, perpecahan mazhab
ini pun semakin melebar, tidak hanya pada aspek teologis, namun juga pada aspek
fikih. Dengan alasan politis, posisi hadis menjadi sasaran empuk yang digunakan
sebagai alat mendukung kelompoknya. Semakin banyak mazhab memiliki dukungan
hadis, semakin banyak pula hati umat Islam dapat diraih.
2.
Kodifikasi
dan Upaya Pelestarian Hadis
Abad ke II
Hijriyah sering diistilahkan oleh Syuhudi Ismail sebagai “’asr al-Kitabah wa
at-Tadwin” عصرالكتابة
والتدوين “masa penulisan
dan pengkodifikasian”.[4] Pada saat itu titah kholifah Umar bin abd Aziz berupa sepucuk
surat diberikan kepada hampir ke semua wilayah kekuasaan bani Umayyah terutama
kepada para ulama agar segera membukukan setiap hadis yang dihafalkannya.
Surat perintah
mengenai pembukuan hadis juga sampai ke pada gubernur Madinah yang juga
merupakan seorang ulama’, yakni Abu Bakar Muahmmad Ibn Amr Ibn Hazm (w. 177 H )
atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Hazm.[5] Setelah menerima perintah
tersebut, Ibnu Hazm pun langsung menyusun Hadits yang sebelumnya dikumpulkan
dari catatan dan hafalan para ulama. Sebagaimana yang tertera pada shahih
Bukhari, isi surat yang dilayangkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz saat itu
sedikit banyak berbunyi: “Perhatikanlah hadis-hadis Rasulullah SAW yang kamu
jumpai dan tulislah karena aku sangat khawatir akan terhapusnya ilmu seiring
hilangnya para ulama’.”[6]
Selain Umar bin
Abdul Aziz dan Ibn Hazm, tokoh yang tidak kalah penting dalam pengkodifikasian
hadts ialah abu Bakar Muhammad Ibnu Muslim Ibnu Ubaidillah Ibnu Syihab Az-Zuhri
atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Syihab Az-Zuhri (w. 124 H). Tokoh ini
berperan sangat signifikan dalam kodifikasi hadits. Ia berusaha mengumpulkan
seluruh hadits yang ada di Madinah dan setelah dirasa cukup, kemudian
menyebarkan naskah hasil pengumpulan tersebut ke setiap penguasa dari berbagai
daerah. Dengan usahanya ini, hadits mengalami perkembangan yang cepat dan
pesat.[7]
Kitab yang
lahir pada abad ke-2 Hijriyah
Az-Zuhri, Abu
Bakar bin Abdurrahman, dan lainnya menulis dan membukukan hadis-hadis yang
mereka jumpai di wilayah masing-masing. Saat itu, penghimpunan dan penulisan
masihlah dilakukan secara sederhana di dalam kitab-kitab jami’[8]
dan mushannaf [9]seperti Jami’ Ma’mar bin
Rasyid (w. 154 H), Jami’ Sufyan ats-tsaufi (w. 161 H), Jami’
Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Musannaf Abdur Razaq (w. 211 H), dan Musannaf
Hammad bin Salamah.[10]
Selain
kitab-kitab tersebut, kitab monumental yang lahir pada abad kedua hijriyah
adalah muwattha’ karya imam Malik (w. 179 H).[11] Berbeda dengan ide
kodifikasi yang lahir pada masa pemerintahan bani Umayyah, kitab Muwattha’
malah lahir ialah pada masa awal pemerintahan bani Abbasiyah yakni pada masa
khalifah ke-II, Ja’far al-Mansur yang mendapat usulan dari Muhammad Ibn
al-Muqaffa’. Kitab ini berisi 500 hadis pilihan hasil seleksi dari 100.000
hadis.[12]
Meski hanya
menghimpun sekitar lima ratus buah hadis, namun kitab ini memberikan pengaruh besar terhadap
kepengarangan saat itu. Beberapa orang bahkan sampai berbondong-bondong membuat
kitab yang memiliki nama sama dengan karya Imam Malik tersebut. Meski demikian,
kebesaran nama Kitab ini telah berhasil menenggelamkan kitab-kitab lainnya.
Imam Syafi’I memberikan argument khusus mengenai kwalitas kitab Muwattha’, sebagaimana
pernyataannya: “Kitab yang paling Shahih setelah kitabullah adalah muwattha’”.[13]
Mengenai nama
kitab muwattha’, terdapat kisah antara Imam Malik dengan 70 ulama’ Madinah.
Sebagaimana keterangan as-Suyiti, karya Imam Malik telah melewati bebrapa tahap
uji dari 70 ulama Madinah. Setelah selesai diuji, kitab tersebut kemudian
“disepakati” (muwatta’) oleh mereka. Dari kata itulah, nama kitab karya
Imam Malik kemudian dikenal hingga sekarang. Kata muwattha’ juga
memiliki ma’na “pemudahan” dan “perbaikan” mengakibatkan kitab ini dapat
dimaknai sebagai kitab yang memudahkan umat Islam dalam menjalani syari’ahnya dan
kitab yang memperbaiki kitab-kitab fiqih sebelumnya.[14]
3.
Rihlah
dan Tradisi Keilmuan Hadis abad II Hijriyah
Seiring dengan
upaya-upaya pelestarian hadis di atas, muncul berbagai khazanah keilmuan baru
dan kekuatan karakter dunia hadis pada abad kedua hijriyah. Ilmu Jarh wa
at-ta’dil yang embrionya telah ada pada abad pertama telah berkembang dan
melahirkan kajian dan keilmuan tersendiri dengan tokohnya Syu’bah bin Hajjaj
(w. 160 H), Sufyan ats-Tsauri, dan lain-lain. Tidak hanya pada aspek sanad,
karena banyaknya pemalsuan isi hadis, kajian terhadap aspek matan pun mulai
diperhatikan dengan mencermati muatan hadis secara kaidah kebahasaan dan muatan
isi kandungan dengan mengungkap illat-illat hadis.
Khazanah
intelektual lainnya yang kemudian mentradisi adalah rihlah ahli hadis. Para
ulama hadis diharuskan untuk melakukan perjalanan ke berbagai tempat sebagai
kriteria bertemu langsung terhadap ulama yang memiliki baik hafalan maupun
tulisan berkenaan dengan hadis.[15] Perjalanan-perjalanan
seperti ini pada akhirnya menjadi tradisi dan lahirlah istilah-stilah khusus
bagi ahli hadis yang melakukan perjalanan pencarian hadis seperti ar-Rahal,
ar-Rahlah, al-Jawwal, dan Ilaihi Kanat ar-rihlah. Istilah-istilah tersebut
melengkapi peradaban hadis era ini, dan mengukuhkan az-Zuhri sebagai peletak
dasar ulum al-hadis. Hanya saja, fondasi az-Zuhri tentang ulum al-qur’an
tidaklah sampai pada kita secara material, namun dua kitab Imam Syafi’I yakni
ar-Risalah dan al-Umm yang di dalamnya sedikit banyak menyertakan hadis dan
kritiknya secara metodologis telah sedikit menutupi keterbatasan ini dan
menjadi manuskrib historis yang telah diperbanyak hingga sampai pada kita.[16]
C.
Hadis Abad Ketiga Hijriyah
Masa abad ketiga menjadi masa emas kemajuan hadis meski diiringi dengan
tragedi politis. Masa ini berlangsung pada kekholifahan al-Makmun akhir hingga
awal al-Muqtadir pada masa dinasti Abbasiyah. Masa ini menurut Syuhudi Ismail
juga dikenal dengan sebutan “Masa pemurnian, perbaikan, dan penyemprnaan” Pada maa ini kiranya terjadi hal yang menjadi
kekelaman dan penodaan sejarah di mana para ulama tidak terkecuali ulama hadits
banyak yang disiksa demi menunaikan kepentingan ideologi penguasa, tragedi ini
dikenal dengan tragedi mihnah yang terjadi abad VIII.
Meski terjadi tragedi mihnah, hadis tetap dapat berkembang bahkan
mangalami masa keemasan berkat upaya dari kodifikasi di era sebelumnya. Hadis
dan keilmuannya berhasil disempurnakan. Di era ini pula muncul kitab yang
disebut musnad. Kitab ini menghimpun hadis-hadis yang digolongkan berdasarkan
nama sahabat-sahabat.[17] Hadis Anas RA misalnya,
akan dikumpulkan dalam satu tempat dengan nama musnad Anas RA.
Setelah munculnya kitab musnad, muncul pula kitab yang dikhusus
hanya menghimpun hadis shohih. Upaya pertama dalam hal tersebut salah satunya
dilakukan oleh Imam Bukhari dengan kemunculan kitab jami’ ash-Shahih yang
menghimpun 7397 hadis dengan pengulangan[18]. Murid-murid
beliau kemudian melanjutkan upaya ini dengan menyusun karya sunan, yakni kitab
yang berisi sunnah-sunnah Nabi SAW[19].
Pada periode ini hidits mulai dimodifikasi dalam penyusunan
kitabnya sehingga pada periode ini muncul kitab-kitab dengan model-model
tertentu yang diantaranya ialah kitab shohih yang memuat hadits-hadits shohih,
kitab hadis sunan yang tidak hanya meuat hadits shohih tapi juga hadits dho’if
ringan. Selain itu, pada periode ini juga ada kitab hadits musnad yang memuat
seluruh hadits dengan penyusunan berdasar urutan baik urutan bab atau nama
rowi.[20]
Dengan adanya penyusunan kitab yang bervariasi maka demi
kemashlahatan ditaruhlah penetapan standar kitab yakni:
1.
Al-kutub
al-Khomsah
a) Shohih Bukhori, b) Shohih Muslim, c) Shohih Abu Dawud, d) Shohih
Tirmidzi, dan e) Shohih Nasa’i.
2.
Al-kutub
as-Sittah
a) Shohih Bukhori, b) Shohih Muslim, c) Shohih Abu Dawud, d) Shohih
Tirmidzi, e) Shohih Nasa’I, f) Ibnu Majah.
Selain itu untuk standar urutan
keenam ulama’ juga ada yang berpendapat Muatho’ Imam Malik, Sunan ad-Darimi[21], al-muntaqo susunan Ibn
Jarud.
3.
Al-kutub
as-Sab’ah
a) Shohih Bukhori, b) Shohih Muslim,
c) Shohih Abu Dawud, d) Shohih Tirmidzi, e) Shohih Nasa’I, f) Ibnu Majah, g) Musnad
Ibnu Hambal.
Selain kitab himpunan hadis, muncul pula kitab mengenai keilmuan
hadis, di antaranya adalah kitab dengan tema-tema berikut:
1.
Kitab
tentang biografi para rawi karya Yahya bin Main (w. 234 H),
2.
Kitab
thabaqat para rawi karya Muhammad bin Sa’d (w. 230 H),
3.
Kitab
tentang illat, seperti Al-Ilal wa ma’rifah karya Ahmad bin Hambanl (w. 241 H),
4.
Kitab
an-Nasikh wa al-Mansukh karya Ahmad bin Hambanl (w. 241 H), dan
5.
Kitab
ulumul hadis secara terpisah berdasarkan topik-topik baik sanad maupun matan
seperti upaya Ali bin Abdullah al-Madini (w. 234 H) yang merupakan guru Imam
Bukhari. Kitab lain yang juga memuat pengantar ilmu hadis adalah karya ilal
al-hadis yang menjadi bab penutup
pada kitab sunan Tirmidzi. Meski kitab ini merupakan bagian kitab induknya,
namun dalam beberapa kesempatan, Imam Tirmidzi mengajarkan kitab ini secara
terisah. Kitab ini membahas ilmu jarh wa at-ta’dil, peringkat rawi, tata
tertib penerimaan dan penyampaian hadis, riwayat hadis dengan makna, hadis
mursal, hadis hasan, hadis gharib, dan tema lainnya. [22]
Era ini meski menjadi era keemasan dalam bidang hadis, bukan
berarti pada era ini ilmu hadis telah final dan pena kepengarangan telah
ditinggalkan. Masih banyak kelemahan-kelemahan tertama mengenai konsep-konsep
spesifik yang baru ditemukan di era setelahnya. Di luar kelemahan dan
kelebihan, era ini telah meninggalkan warisan berharga yang sampai pada kita
saat ini seperti kutub as-sittah dengan tokoh utama dalam keilmuan hadis
yakni Imam Bukhari dan Imam Muslim yang menjadi lambang reputasi dan menjadi
tolok ukur kwalitas hadis.
Kesimpulang
Perkembangan hadis abad ke-2 sebenarnya masih memiliki korelasi
dengan era sebelumnya. Pada masa ini yang menjadi titik momentum terbangunnya
upaya kodifikasi hadis dilandasi dengan berbagai alasan tentang keadaan hadis
yang memprihatinkan dengan banyaknya pemalsuan dan hilangnya hafalan seiraing
wafatnya ulama’-ulama yang kompeten dalam bidang hadis.
Pada abad setelahnya, tradisi hadis terbentuk dengan lahirnya
pengukuhan enam kitab induk. Pada era ini pula terbangun tradisi rihlah yang
mengawali tradsi kritis di bidang hadis yang tidak hanya mendahulukan aspek
mu’asharah (kebayaan masa) namun juga menuntut aspek mu’asyaroah
(hubungan pergaulan/pertemuan langsung).
Pada kedua era tersebut, karya besar banyak lahir baik dibidang
kajian riwayah maupun diroayah. Bahkan pada kedua era tersebut lahir kitab
monumental seperti muwatta’ karya imam Malik yang berisi hadis-hadis pilihan
dari sekian banyak hadis. Hal tersebut sekaligus menandai bahwa era tersebut
merupakan era perkembangan di luar kritik oleh kaum orientalis seperti Joynball
yang menjadikan era ini sebagai era penentuan awal mula lahirnya pemalsuan
hadis.
Daftar Pustaka
Nuruddin Itr, Ulumul
Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012).
Dedi Supriyadi,
Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
M. Syuhudi
Ismail, Pengantaar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa 1991).
Abdul Fattah
dkk., Ulum al-Hadis III (Jakarta: Depag RI. 1997).
Nurun Najwa, “Kitab al-Muwatta’ Imam Malik” dalam Studi Kitab
Hadis, Alfatih Suryadilaga (ed.) (Yogyakarta: Teras, 2009).
[1] Nuruddin Itr, Ulumul
Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 29.
[2] Ibid, hlm. 29.
[3] Nuruddin Itr, Ulumul
Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 49.
[4]
pengkodifikasian yang dimaksud pada era ini ialah pengkodifikasian secara resmi
oleh pemerintah, tapi diluar itu ada pengkodifikasian yang dilakukan secara
perseorangan oleh shohabat-shohabat besar dimana mereka secara perseorangan
melakukan pencatatan terhadap hadits sebagai pedoman pribadi.
[5] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 108.
[6] Nuruddin Itr, Ulumul
Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 49.
[7] M. Syuhudi Ismail,
Pengantaar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa 1991), hlm. 100.
[8] Kitab jami’
(jawami’ dalama plural) bermakna
himpunan-kumpulan-cakupan. Kitab ini berdasarkan makna-makna tersebut merupakan
kitab yang di dalamnya terhimpun berbagai topik keagamaan seperti aqidah,
hukum, akhlaq dan lain sebagainya.
[9] Kitab
mushannaf (ashnaf dalam plural) merupakan kitab yang dihimpun berdasarkan tema.
Hadis dengan tema umum akan digolongkan, dipisahkan, dan dipilah sesuai dengan
hadis yang setema.
[10] Nuruddin Itr, Ulumul
Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 50.
[11] Abdul Fattah
dkk., Ulum al-Hadis III (Jakarta: Depag RI. 1997), hlm. 72.
[12] Nurun Najwa,
“Kitab al-Muwatta’ Imam Malik” dalam Studi Kitab Hadis, Alfatih
Suryadilaga (ed.) (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 9.
[13] Nuruddin Itr, Ulumul
Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 50.
[14] Nurun Najwa,
“Kitab al-Muwatta’ Imam Malik” dalam Studi Kitab Hadis, Alfatih
Suryadilaga (ed.) (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 8.
[15] Sebagaimana
dalam keilmuan hadis setelahnya, criteria mu’asyaroh dan mu’asharah
menjadi penting dalam menguji ketersambungan periwayatan. Muasharah
adalah kriteria yang mensyaratkan kemungkinan hidup semasa antar para rawi dan
muasyarah adalah criteria yang menyaratkan kemungkinan bertemunya antar rowi
secara tatap muka.
[16] Nuruddin Itr, Ulumul
Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 50.
[17] Nuruddin Itr, Ulumul
Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), Hlm. 53.
[18] Pengulangan hadis
dalam jami’ ash-Shahih sebenarnya didasari alasan yang salah staunya
adalah bahwa antara hadis yang memiliki matan sama tersebut sebenarnya diriwayatkan
dengan sanad berbeda. Dengan alasan ini, pencantuman hadis dinilai perlu demi
menjelaskan keragaman versi antar rawi.
[19] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012). 53
[20]
pengkodifikasian yang dimaksud pada era ini ialah pengkodifikasian secara resmi
oleh pemerintah, tapi diluar itu ada pengkodifikasian yang dilakukan secara
perseorangan oleh shohabat-shohabat besar dimana mereka secara perseorangan
melakukan pencatatan terhadap hadits sebagai pedoman pribadi.
[20] Ismail, M.
Syuhudi, Pengantaar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa 1991), hlm. 111.
[22]
Nuruddin Itr, Ulumul
Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 53.
No comments:
Post a Comment