tulisan ini dipersembahkan kepada :
Dr. Muhammad Alfatih Suryadilaga, M.Ag
Disusun Oleh :
MUHAMMAD BARIR,
S.Th.I
2015
A.
Pendahuluan
Sebagai penelitian living hadis, tulisan ini merupakan sebuah upaya
dalam mengungkap nilai-nilai hadis yang hidup, diterima, dan dimaknai di tengah
dakwah dan shalawat Kiai Kanjeng. Secara lebih jauh, penelitian ini yang
mengandung nilai fenomenologis juga akan mencoba menelusuri gejala dan
mengetahui makna dari shalawat dan dakwah kolaboratif Kiai Kanjeng yang
memadukan elemen antar budaya yakni Islam, Jawa, dan unsur Modern dalam satuan
musik allground Kiai Kanjeng. Sisi kebenaran emik penelitian ini akan
dijadikan dasar dalam mendeskripsikan dakwah dan Shalawat Kiai kanjeng baik
sejarah, proses, dan bagaimana fenomena tersebut dimaknai. Sehubungan dengan
teori makna, menurut Karl Mannheim ada tiga makna yang akan sangat berpengaruh
dalam sebuah fenomena. Untuk itu, ketiganya akan dijadikan acuan dalam memahami
fenomena dakwah dan shalawat Kiai Kanjeng. Ketiga makna tersebut adalah makna
objekti, ekspresif, dan dokumenter.[1]
B.
Sejarah Salawat
1.
Masa
Nabi
Salawat yang
saat ini masih membudaya dalam masyarakat Islam terutama masyarakat
tradisionalis telah dikenal sejak zaman Nabi. Selain sebagai sunnah yang
universal, salawat juga telah terkonfirmasi dalam hadis-hadis yang saat ini
bisa kita dapatkan dalam kitab Sembilan. Dengan meninjau hadis mengenai
salawat, beberapa hal krusial bisa terdeteksi seperti karakter dan bentuk murni
shalawat pada masa Nabi yang tentunya telah jauh berbeda dengan apa yang
menjadi kekhasan salawat saat ini yang telah mengalami banyak kolaborasi denagn
beragam elemen lain. Berikut merupakan tinjauan hadis tentang salawat:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَ ذَاتَ
يَوْمٍ وَالْبِشْرُ يُرَى فِي وَجْهِهِ فَقَالَ إِنَّهُ جَاءَنِي جِبْرِيلُ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَمَا يُرْضِيكَ يَا مُحَمَّدُ أَنْ لَا
يُصَلِّيَ عَلَيْكَ أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِكَ إِلَّا صَلَّيْتُ عَلَيْهِ عَشْرًا
وَلَا يُسَلِّمَ عَلَيْكَ أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِكَ إِلَّا سَلَّمْتُ عَلَيْهِ
عَشْرًا
Artinya : pada suatu hari Rasulullah Shalallah 'Alaihi Wa Sallam
datang dengan wajah berseri-seri. Kemudian beliau bersabda: "Telah datang
kepadaku malaikat Jibril, ia berkata kepadaku, "Wahai Muhammad, tidakkah
kamu ridha seseorang bershalawat kepadamu kecuali Aku juga bershalawat
kepadanya sepuluh kali. Juga tidak ada lagi seorangpun yang mengucapkan salam
kepadamu kecuali Aku juga mengucapkan salam kepadanya sepuluh kali.[2]
Hadis mengenai
shalawat yang popular adalah hadis yang menjelaskan sabab an-nuzul surat
al-Ahzab (33): 56. Peristiwa turunnya ayat tersebut bermula dengan peristiwa
pertemuan nabi dengan salah satu sahabatnya bernama Kaab bin Ujrah. Sahabat
tersebut bertanya tentang bagaimana cara bersalawat sebagaimana menurut Nabi.
Secara lebih jelas, berikut merupakan pertanyaan Kaab bin Ujrah kepada Nabi:
يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَمَّا السَّلَامُ عَلَيْكَ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَكَيْفَ الصَّلَاةُ
عَلَيْكَ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ
بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ
إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Artinya : Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui salam kepadamu,
lalu bagaimanakah caranya bershalawat kepadamu? Beliau menjawab:
"Ucapkanlah; allahumma shalli 'alaa muhammad wa 'alaa aali muhammad
kamaa shallaita 'alaa aalii ibraahim innaka hamiidum majiid. allaahumma baarik
'alaa muhammad wa'alaa aali muhammad kamaa baarakta 'alaa 'aali ibrahiima
innaka hamiidum majiid."
Sebagaimana dijelaskan di atas, hadis ini
sekaligus merupakan sebab turun dari surat al-ahzab ayat 56 yang artinya : “Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya. (al-Ahzab [33]: 56)”.
2.
Pasca Nabi
Shalawat kemudian berkembang menjadi sebuah bentuk kecintaan umat
Islam ke pada Rasulullah SAW. Dengan kecintaan yang makin besar ini,
bermuncullan lah berbagai macam shalawat seperti shalawat burdah karya
al-Busyri yang nama lengkap beliau adalah Syarafuddin
Abu Abdillah Muhammad bin Said Bin Hamad Ash-Shonhaji Al-Bushiri yang hidup antara tahun 608-696H /1212-1296 M.
beliau besar di Dallas Maroco dan besar di Busyiri Mesir. Dalam kisahnya ia
menulis shalawat sebagai bentuk kecintaannya adalah dalam keadaan lumpuh hingga
suatu saat ia bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW yang mengusap kedua kakinya
hingga ia sembuh saat ketika bangun dari tidurnya.[3]
Hadis-hadis tentang shalawat
Berdasarkan enam kitab hadis,
penjelasan shalawat bisa dijumpai dalam beberapa riwayat sebagaimana berikut:
Riwayat Bukhari no :
1402 3118 3119
4423 4424 5762
5853 5880 5881
5883 6833
Riwayat Muslim no :
577 609 610
612 613 614
615 616 1791
2175
Riwayat Abu Dawud no :
393 396
439 457 472 568 578 826 827 829 830 831 832
883 1266 1307 1308 1310 1356 1746 3356 4511
Riwayat Tirmidzi no :
267 289 302 441 445 446 447 448 541 948 1023 2381 3302
3398 3399 3468 3469 3493 3547
Riwayat Nasa’I no :
671 725 802
1054 1155 1156 1260 1262
1263 1264 1266
1267 1268 1269 1270 1271
1272 1273 1274 1275 1276
1277 1278
1279 1280 1281
1357 1701 1726
2768
Riwayat Ibnu Majah no :
394 889 892 893 894 895 896 897 898 985 989 995 1075
1181 1432 1489 1626 1627 1786
C.
Kiai Kanjeng
1.
Profil
dan Sejarah
Riwayat Kiai Kanjeng tidaklah bisa pisahkan dengan sosok Cak Nun (Emha Ainun Najib), seorang budayawan kelahiran
Jombang Jawa Timur 27 Mei 1953. Kiai Kanjeng yang saat itu dinamakan Padang
mBulan mulai merilis album adalah dengan tajuk Kado Muhammad pada 1996. Sebuah
album tentang nilai cinta rasul. Kemudian karakter Padang mBulan sedikit-demi
sedikit berkembang tidak hanya sekedar group musik, namun juga sebagai wadah kontrol
sosial dengan banyak menciptakan lagu dengan nuansa kritik sosial, kritik
moral, dan kritik kebudayaan. Hal ini bisa dilihat ketika muncul tragedi orde
baru 1998 dengan dirilis sebuah album berjudul Berhijrah dari Kegelapan.
Setelah tragedi kerusuhan Mei 1998, cak Nun dan kawan-kawan membentuk suatu
konsep yang kemudian menjadi forum rutin dengan ribuan jamaah, yakni Maiyah.
Maiyah sering diartikan sebagai berkumpul dalam maksud mempersatukan masyarakat
pasca perpecahan.[4] Baru-baru ini
Maiyah juga ditafsirkan sebagai ma’iyyatullah, yakni kebersamaan bersama
Allah.
Cak Nun (Emha
Ainun Najib), yang menjadi motor Kiai Kanjeng[5]
Padamulanya,
grup musik bentukan awal yang dirintis Cak Nun, Cak Fuad dan kawan-kawan lebih
berada pada lingkup kecil hingga mulai berkiprah seiring gejolak sosial tahun
1990-an. Kiai Kanjeng era awal menjadi titik tolak Kiai Kanjeng saat ini. seiring
berjalannya waktu dan dengan berbagai pengalaman, Kiai Kanjeng saat menjadi
group musik yang memiliki mobilitas tinggi dan menjangkau hampir semua
kalangan. Menghabiskan tur dari kota ke kota, dari Taman Ismail Marzuki
Jakarta, di atas perahu sungai Nil di Mesir, hingga konser monumental di Roma dan
Napoli Italia.
Grup musik yang pernah mendapatkan penghargaan dari Jenkin Wikins,
direktur Studi-Studi Asia Tenggara (SOAS) ini memiliki karakter yang sedikit
unik dan tidak sama dengan grup musik lainnya. Sebagaimana ideologi awalnya
bahwa Kiai Kanjeng membuka diri untuk semua elemen, tidak terbatas baik kepada
rakyat maupun para pejabat tinggi negara. Sebuah sistem dan pelantara yang baik
hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya.
Selain ideologi egaliter, ideologi Kiai Kanjeng lain yang tidak
dapat dipisahkan dari Kiai Kanjeng adalah ideologi multikultural. Dalam
beberapa kesempatan, Kiai Kanjeng sebagaimana yang terjadi pada tahun 2004,
telah berinisiatif melakukan kenduri[6] cinta kaum muslim dengan komunitas agama lain. Salah satu tokoh
yang hadir adalah Nathan Setiabudi (pendeta protestan, mantan ketua umum
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) dan Anand Krishna yang merupakan salah
seorang pemimpin komunitas hindu.[7] Dari sini cukup menjelaskan bahwa Kiai Kanjeng tidak sekedar group
musik, namun lebih dari itu telah terlembaga menjadi semacam organisasi
masyarakat dengan memiliki banyak masa dan pengaruh baik seni, budaya, agama,
dan sosial.
Kiai
Kanjeng dan para biarawati menyanyi bersama dalam acara damai bersama keluarga[8]
2.
Pelaksanaan
dan Proses Maiyah
Maiyah diadakan sebulan sekali di Kasihan Bantul Yogyakarta. Acara
ini tidak hanya berperan sebagai panggung kesenian dan forum kegiatan diskusi
saja, namun juga sangat berpengaruh pada perekonomian warga sekitar. Warga juga
turut serta dengan keterlibatannya secara teknis dalam acara tersebut seperti
sebagai keamanan, peñata panggug, dan membantu persiapan lainnya sebelum acara
dimulai.
Tempat acara sendiri tidaklah jauh dari pertemuan ring road
selatan dengan ring road barat. Setelah masuk ke Kasihan, akan dijumpai sebuah
lapangan dengan pertigaan beringin. Dari sana belok kea rah kanan, maka sekitar
100 m dari lapangan akan dijumpai gapura kecil desa Turi. Di situlah lokasi
maiyah tepat di halaman kediaman Emha Ainun Najib.
Logo Kiai Kanjeng[9]
Memasuki gapura kecil, ba’da isya’ sudah akan dapat terlihat
mobil-mobil yang terparkir di selatan makam. Untuk sepeda motor, tidak kurang
ada sekitar empat area parkir dengan jarak agak berjauhan memasuki gang-gang
perumahan warga. Jika dilihat, prosesi Maiyah memiliki fungsi ekonomi,
masyarakat biasa memanfaatkan lahannya sebagai area sewa parkir. Sebagian yang
lain turut berjualan berbagai macam cindera matal, buku, dan jajanan. Beberapa
di antaranya membuka warung angkringan, sebuah lapak warung dengan lampu
kemuning khas jogja yang menjual aneka makanan bacem dan tentunya nasi bungkus
yang sering disebut nasi kucing.
Sejauh pengamatan penulis,
Maiyah dimulai selepas Isya’ dengan pembacaan al-Qur’an (tadarrusan) bergilir
yang dilakukan oleh beberapa anggota Kiai Kanjeng ataupun dilakukan oleh
pengunjung secara umum. Setelah pembacaan selesai dilakukan, acara dibuka
secara sederhana dan lebih bersifat santai oleh seorang MC yang diikuti dialog
dengan diselingi canda-gurau maupun jajak pendapat dengan para peserta Maiyah.
Maiyah sendiri dilakukan sebulan sekali tiap tanggal 17 dengan tema
beragam menyesuaikan dinamika politik, sosial, maupun budaya. Acara dilanjutkan
dengan mempersilahkan tamu undangan tertentu yang biasanya diisi oleh kalangan
politisi, budayawan, ulama, maupun artis dan seniman. Ada saat di tengah cak
nun berada di pentas di mana lampu dimatikan, peserta diminta berdiri, dengan
diiringi shalawat, dan para jamaah dengan khusyu’ dan hening diminta turut
meresapi alunan musik. Menurut cak Nun, lampu dimatikan agar semuanya menjadi
gelap sehingga yang akan menerangi kita saat itu adalah hati kita sendiri.[10]
Acara ini secara selang-seling diisi dengan diskusi, tanya-jawab,
dan penampilan musik Kiai Kanjeng. Biasanya putra Emha, Sabrang atau yang
dikeal dengan Noe juga ikut ambil nomor dengan mengisi lagu bersama band letto.
Selain Sabrang, Istri (Novia Kolopaking) beserta putri Emha (hayya) juga turut
melantunkan beberapa nomor. Beberapa pembicara yang biasa ikut menuangkan
ide-idenya ialah Cak Fuad, Musthofa (ketua Nahdlatul Muhammadiyah), Cak Toto,
Cak Muslim (vokalis Kiai Kanjeng), dan beberapa rekan Cak Nun lainnya turut
ambil bagian secara bergiliran. Setelah itu diberikan waktu mikrofon digulirkan
di tengah peserta agar siapa yang ingin bertanya dan berkeluh-kesah dapat
mendapat kesempatan berbicara. Di tengah-tengah kegiatan tersebut juga diisi
oleh puisi, laporan kegiatan jamaah Maiyah di beberapa tempat yang tersebar di
berbagai daerah—meski cak Nun menyatakan Maiyah tidak pernah mengenal
perwakilan cabang—. Laporan ini berupa pengalaman perkembangan komunitas di
luar kota, kendala yang dihadapi, dan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai.
3.
Corak
dan Genre
Gaya yang diterapkan oleh Kiai Kanjeng adalah perpaduan berbagai
macam unsur instrument dari banyak kebudayaan mulai Jawa, Eropa, Timur Tengah,
dan lain sebagainya yang pada dasarnya gaya semacam ini disebut dengan fusi.[11] Menurut Cak Imam Fatawi, vokalis asal Blora yang gabung Kiai
Kanjeng mulai tahun 2000 ini, memang Kiyai Kanjeng bukan sekedar group Sholawat
atau Gambus, tapi semua juga ada, dan lebih pada group yang menampung semua
genre musik. Cak Imam lebih suka menyebutnya dengan bergaya allground
komunitas Kiai Kanjeng.[12]
Dalam musik Kiyai Kanjeng, instrument yang paling terlihat berperan
adalah instrument Jawa seperti bonang[13] dan gamelan. Dalam perkembangannya sendiri alat-alat tersebut
sering diubungkan dengan dakwah Walisongo. Keterkaitan Kiai Kanjeng dengan
Walisongo sebenarnya sangat terasa tak kala Cak Nun bersama Kiai Kanjeng
menyajikan syair Lir-Ilir yang merupakan tembang gubahan Suanan Kalijogo
dan juga Sunan Bonang. Lagu tersebut tidak sekedar dilantunkan, namun oleh Cak
Nun turut ditafsiri.
D.
Kiai Kanjeng, antara Dakwah dan Kesenian
1.
Dakwah
Inklusif (Sebuah Kolaborasi antara Seni, Dakwah, dan Kemanusiaan)
Pada dasarnya,
Kiai Kanjeng tidaklah menyebut dirinya sebagai group dakwah, namun sebagai
sebuah group yang lahir dari kultur Islami, Kiai Kanjeng menyiratkan pesan dan
semboyan yang selalu dibawa oleh para kawan-kawan Maiyah dan personel Kiai
Kanjeng untuk masyarakat luas. Hal tersebut pula yang seringkali menjiwai isi
lantunan lagu, puisi, dan syair Kiai Kanjeng. Paling tidak menurut Cak Imam
Fatawi ada empat hal yang ia rasakan selama bersama-sama dengan Kiai Kanjeng
yang menurutnya, hal ini menjadi semangat tersendiri dalam menjiwai setiap
pementasan. Keempatnya adalah kesatuan, kerukunan, keberagamaan, dan toleransi
antar sesama[14]. Dengan pendapat ini, secara tidak langsung, poin ke tiga, yakni
keberagamaan seolah menjadi melebur dengan poin yang lainnya, yang menunjukkan
wajah Kiai Kanjeng yang inklusif dan dapat menyatu di mana pun, kapan pun dan
dalam karakter masyarakat apa pun.
Bidang dakwah
Kiai Knjeng yang melebur dengan jiwa kemayarakatan terlihat jelas dalam
beberapa perhelatan sebagaimana panggung mempelopori penggalangan dana untuk
korban tsunami Aceh. Hal tersebut menjadi salah satu yang menjadi poin penting
dalam menyokong eksistensi Kiai Kanjeng. Dalam beberapa kesempatan, melihat
karakter masyarakat dan situasi yang terjadi adalah sangat diutamakan. Cak Imam
menyatakan bahwa Kiai Kanjeng bisa saja membuat lagu khusus untuk
dipersembahkan bagi masyarakat yang akan didatangi. Biasanya lagu ini merupakan
satu lagu dengan ritme panjang yang diaransement dan kumpulan dari beberapa
lagu, ini biasanya disebut dengan medley.[15]
Yang bisa menjadi cukup alasan kenapa Kiai Kanjeng begitu dekat
dengan rakyat adalah nilai kesederhanaan dan nilai egaliter. Pada tahun 2011 di
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saat itu, konsep acara yang dihelad di Gedung
Multi Purpose dirubah sedemikian rupa, Emha dan Kiai Kanjeng tidak mau menaiki
panggung gedung yang tinggi, namun lebih memilih menata panggung sendiri yang
lebih rendah agar dapat duduk sejajar dengan kebanyakan mahasiswa yang menjadi
audience. Nuansa seperti itu sering dijumpai di Maiyah. Kiai Kanjeng bisa
begitu menanamkan nilai ideologinya dalam balutan lagu, setting tempat, dan
setting acara.
Dakwah dengan
gaya inklusif seperti ini, tidak hanya bisa menembus berbagai kalangan. Terdiri
dari berbagai generasi, mulai kalangan orang tua, anak-anak, hingga
pemuda-pemuda. Dalam acara rutin mocopat syafaat atau maiyah tiap tanggal 17
sendiri, kebanyakan pengunjung terdiri dari kalangan pemuda-pemudi yang rela
begadang. Menurut salah seorang pengunjung, ia rela pulang pergi dari Magelang
ke Bantul untuk mengikuti acara Maiyah adalah karena merasa banyak kebaikan dan
ilmu dalam acara tersebut dan tidak terlihat mendakwahi. Ia merasa ini jalur
yang baik di tengah banyaknya dakwah melalui jalur kekerasan dengan mengatas namakan
agama. Yang pasti, dakwah kekerasan hanya akan membuat para objek dakwah lari.[16]
Dengan hidmat, Cak Imam Fatawi (Kiai Kanjeng) memimpin para jamaah
membaca shalawat, serentak bersama-sama.[17]
2.
Kronik
Dakwah Islam dalam Model Segitiga
Berbagai cara
dapat dijadikan wadah bagi umat Islam dalam memilih jalan dakwahnya. Dakwah
menurut Emha bisa dimaknai sebagai upaya “menyeru” jika itu diobjekkan kepada
manusia, dan maknanya berubah menjadi berdo’a jika objeknya adalah kepada Tuhan.[18] Dakwah karena tujuan mengajak objek yang dipanggi untuk mendekat,
maka dakwah harus bersifat persuasif dan dan bersahabat. Dakwah bagi umat Islam
sendiri dianggap sebagai suatu titah Allah dan juga terepresentasi dalam hadis Nabi
sebagaimana ucapan beliau: "Sampaikan
dariku sekalipun satu ayat !”.[19]
Selain hadis ini, al-Qur’an juga memuat beberapa poin penting dalam berdakwah,
yakni QS. An-Nahl (16): 125 yang artinya “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan a) hikmah dan b) pelajaran yang baik dan c)
bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
Karakter dakwah
yang persuasif sebagaimana tertera dalam al-Qur’an di atas diperkuat lagi oleh
suatu kisah tentang pesan Nabi kepada para da’i. ketika Nabi hendak melepas beberapa sahabatnya untuk
melakukan perjalanan dalam menjalankan misi dakwah, beliau mengutarakan
beberapa patah kata sebagai pesan yang pesan ini dijadikan pedoman bagi para
ulama yang berjuang di masyarakat hingga saat ini, pesan ini sebagaimana
terdapat dalam jami’ash-shahih karya Imam Bukhari:
"Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ingin mengutus
salah seorang sahabatnya atas suatu urusan, beliau berpesan: "Buatlah
gembira dan jangan kalian buat lari, mudahkan dan jangan kalian buat
sulit."[20]
Riwayat ini
menjadi pedoman karakter dakwah Islam. Islam dalam dakwahnya tidak mengenal
paksaan ataupun kekerasan. Rasul akan melepas para dai yang akan menyebarkan
Islam maupun mengajarkan al-Qur’an ke berbagai negeri seperti bashrah, kuffah,
negeri lain yang berada di sekitar luar madinah dengan dengan pesan agar dakwah
Islam bisa diterima masyarakat dengan tanpa menjadi beban masyarakat. Bahkan
Nabi juga mengisyaratkan agar dakwah dilakukan dengan cara yang dapat menarik
hati masyarakat, bukan dengan cara yang membuat mereka lari menjauhi Islam وَلَا تُنَفِّرُوا.
Era
setelah masa nabi menjadi era berkembangnya model dakwah. Banyak wadah kesenian
yang diintegrasikan dengan dakwah baik, syair, musik, hingga tulis. Syair
memiliki tempat tersendiri dalam pemeluk Islam kultural. Rata-rata berbentuk
shalawat yang merepresentasikan kecintaan kepada Nabi. Para ulama’ dari
berbagai dunia Islam banyak menulis karangan yang dihasilkan dari pengalamannya
masing-masing. Salah satunya sebagaimana al-Busyri
yang nama lengkapnya adalah Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Said
Bin Hamad Ash-Shonhaji Al-Bushiri yang hidup antara tahun
608-696H /1212-1296 M. Ia lahir di Dallas Maroco dan besar di Busyiri Mesir.
Dalam kisahnya ia menulis shalawat sebagai bentuk kecintaannya adalah dalam
keadaan lumpuh hingga suatu saat ia bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW yang
mengusap kedua kakinya hingga ia sembuh saat ketika bangun dari tidurnya.[21]
|
|
|
di nusantara abad ke-15 dan 16 dakwah berkembang melalui seni
wayang dan gamelan
3.
Hadis
dalam Syair-Syair Kiai Kanjeng
Hubungan antara
hadis dengan Gamelan Kiai Kanjeng juga dapat ditarik dari posisinya dalam
menjadi jiwa dan substansi lagu-lagu group ini. Salah satu album Kiai Kanjeng
yang bertajuk Renungan Lir-ilir juga kental dengan semangat hadis. Renungan
Lir-ilir merupakan bentuk tafsiran atas tembang gubahan sunan Kalijaga yang
memuat ajaran spiritual. Berikut merupakan lirik lir-ilir dan tafsiran dari
Kiai Kanjeng[23]:
Tembang Gubahan Lir-ilir
S. Ampel, Kalijaga, dan Bonang.
|
Tafsiran Renungan Lir-ilir
|
-Lir-ilir, lir-ilir
-Tandure wis sumilir
-Tak ijo royo-royo tak senggo temanten
anyar |
Kanjeng sunan Ampel seakan-akan
baru hari ini bertutur pada kita, tentang kita, tentang segala sesuatu yang
kita mengalaminya sendiri, namun tidak kunjung sanggup kita mengerti. Sejak lima abad silam syair itu ia telah dilantunkan
dan tidak ada jaminan sekarang kita sudah faham. Padahal kata-kata beliau itu
telah mengeja kehidupan kita sendiri.
Alfa, Beta, Alif, Ba’, Ta’,
kebingungan sejarah kita dari hari-ke hari. Sejarah tentang sebuah negeri
yang puncak kerusakannya terletak pada ketidaksanggupan para penghuninya
untuk mengakui betapa kerusakanna itu sudah sedemikian tidak terperih,
“menggeliatlah dari matimu…!” (tutur sang sunan). Siumanlah dari pingsan
berpuluh-puluh tahun!, bangkitlah dari
nyenyak tidur panjangmu, sungguh negeri ini adalah penggalan surga. Surga
seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya, dan
cipratan keindahannya itu bernama Indonesia raya.
Kau bisa tanam benih
kesejahteraan apa saja di atas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan,
tidak mungkin kau temukan mahluk tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulauan yang
bergandeng-gandeng mesra ini, bahkan bisa engkau selenggarakan dan rayakan
pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh
negeri-negeri lain yang manapun. Tapi, kita memang telah tidak mensyukuri
rahmat sepenggal surga ini, kita telah memboroskan anugerah tuhan ini melalui
cocok tanam ketidakadilan dan panen-panen kerakusan.
|
-Cah angon-cah angon penekno blimbing
kuwi
-Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh
dodotiro |
Kajeng sunan tidak memilih figur misalnya “pak jendral…
pak jendral…”, juga bukan intelektual-intelektual, ulama’-ulama’, seniman-seniman,
sastrawan-sastrawan, atau apa pun, tetapi “Cah angon-cah angon,”[24] beliau juga menuturkan “penekno
blimbing kuwi…!,” bukan, “penekno pelem kuwi,” bukan penekno sawo
kuwi, bukan penekno buah yang lain, tapi belimbing bergigi lima. Terserah apa
tafsirmu mengenai lima, yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin
itu.
“lunyu-lunyu
penekno,” agar belimbing bisa kita capai bersama-sama dan yang harus
memanjat adalah bocah angon (bocah penggembala). Tentu saja ia boleh
seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh seorang kiai, boleh seorang
jenderal, atau siapapun. Namun ia harus memiliki daya angon, daya
menggembalakan, kesanggupan untuk ngemong semua pihak, karakter untuk
merangkul dan memesrai siapa saja. Sesama saudara sebangsa. Determinasi yang
menciptakan garis resultan kedamaian bersama, pemancar kasih sayang yang
dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua
kecenderungan. Bocah angon adalah seorang pemimpin nasional, bukan tokoh
golongan atau pemuka suatu gerombolan.
Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini, sang bocah
angon harus memanjatnya. Harus dipanjat sampai selamat memperoleh
buahnya, bukan ditebang, dirobohkan, atau diperebutkan dan air sari pati
belimbing lima gigir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci pakaian
nasionalnya. Pakaian adalah akhlaq, pakaian adalah sesuatu yang menjadikan
manusia bukan binatang. Kalau engkau tidak percaya, berdirilah engkau di
depan pasar dan copotlah pakaianmu, maka engkau kehilangan segala macam
harkatmu sebagai manusia, pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia.
Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral, dan sistem nilai. System nilai
itulah yang harus kita cuci dengan pedoman lima.
|
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing
pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo
mengko sore
Mumpung padhang rembulane
mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak iyo/hore…
|
Satu tembang tidak selesai
ditafsirkan dengan seribu jilid buku. Satu lantunan syair tidak selesai
ditafsirkan dengan waktu seribu bulan dan seribu orang melakukannya. Aku ingin
mengajakmu untuk berkeliling, untuk
memandang warna-warni yang bermacam-macam dengan membiarkan mereka dengan
warnanya masing-masing, agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita,
apa muatan kalbu mereka mengenai lir-ilir?, mengenai ijo royo-royo?, mengenai
kemanten anyar?, mengenai bocah angon dan blimbing?, mengenai mbasuh
dodotiro?, mengenai kuminter bedah ing pingger?.
Yang akan kita bicarakan tentu
saja kapan saja bersama-sama. Tapi aku ingin mengajakmu untuk mendengarkan
siapa saja di antara saudara-saudara kita tanpa perlu melarang menjadi ini
atau untuk menjadi itu, asalkan kita bersepakat bahwa bersama-sama mereka
semua, kita akan menyumbangkan yang terbaik bagi semuanya, bukan hanya bagi
ini atau itu, bukan hanya bagi yang di sini atau yang di sana.
|
Syair ini
menurut Emha Ainun Najib, meski dilantunkan pada bebrapa abad silam namun tetap
memiliki makna yang sampai sekarang tetap relevan. Salah satu konsep yang
sempat disinggung dalam renungan Lir-ilir di atas adalah konsep
kepemimpinan yang disimbolkan dengan sosok anak penggembala (ra’). Sosok
penggembala dipilih karena mempunyai daya ngemong (mengasuh). Jadi
pemimpin tidak hanya orang yang pintar ilmu keagamaan, kedokteran, kemiliteran,
perekonomian, dan sebagainya, namun pemimpin adalah orang yang bisa
merangkul orang yang pintar ilmu
keagamaan, kedokteran, kemiliteran, perekonomian, dan sebagainya.
E.
Pemaknaan Gamelan Kiai Kanjeng
Dengan demikian
hadis menjadi salah satu unsure yang menjiwai dakwah kesenian Kiai Kanjeng. Mengenai
makna, Terdapat tiga makna dakwah gamelan Kiai Kanjeng. Makna pertama ialah
makna objektif bahwa Gamelan Kiai Kanjeng merupakan group musik yang
menampilkan berbagai pementasan lagu dari berbagai macam genre yang dari sini
menyebut dirinya sebagai group yang melantunkan musik all ground. Dalam makna
ekspresifnya yang merupakan makna kedua, Kiai Kanjeng menjadi kekuatan bagi
beberapa pemuda dalam memberikan pegangan intelektualitas dan spiritualitas.
Selain itu Kiai Kanjeng juga telah menjadi bagian dari masyarakat dalam tradisi
dan memberikan tambahan ekonomi di daerah Kasihan. Mengenai makna dokumenter,
eksistensi Kiai Kanjeng didukung oleh kontekstualitasnya dalam bergerak membaca
pergerakan zaman sehingga dapat terus menyesuaikan diri dalam memberikan
kontrol sosial yang dijiwai empat hal yakni kesatuan, kerukunan, keberagamaan,
dan toleransi antar sesama.
F.
Kesimpulan
Resepsi
hermeneutis dari gamelan Kiai Kanjeng sebagai sebuah living hadis adalah
argument dasar hadis nasa’i 1278 yakni “"Ucapkanlah; allahumma shalli
'alaa muhammad wa 'alaa aali Muhammad”. Hadis tersebut mendasari dakwah
kiai kanjeng yang meski pada mulanya tidak menamakan dirinya sebagai group
dakwah, namun masyarakat dan memang kebanyakan lagu kiai kanjeng adalah
manifestasi dari tradisi Islam dengan banyak menggunakan lirik-lirik pujian
kepada kanjeng Nabi.
Dalam resepsi
kulturalnya, gagasan dakwah shalawat kiai kanjeng telah mengalami asimilasi
budaya seiring rentang waktu yang berjalan. Sistem sosial dalam dakwah kiai
kanjeng termanifestasikan melalui pagelaran seperti mocoat syafaat maiyah yang
dilakukan rutin pada tanggal 17 tiap bulannya. Fenomena tersebut tidak hanya
membangun tradisi di wlayah sekitar, namun juga membangun sistem sosial antara
Kiai Kanjeng, masyarakat sekitar, dan jamaah dari berbagai penjuru. System
artefak dari dakwah kiai Kanjeng bisa dilihat dari jurnal mocopat syafaat, dan
berbagai tulisan di web dan media cetak lainnya yang lahir dari diskusi Kiai
Kanjeng dalam berbagai forum.
Resepsi estetis
dari dakwah Kiai Kanjeng bisa ditemukan dalam lirik lagu dan lantunan nada kiai
kanjeng baik vocal maupun nada dari musik-musiknya yang dihasilkan dari
berbagai macam instrument baik lokal maupun yang telah diadopsi dari Timur dan
Barat. Ditengah berbagai instrument tersebut, nilai estetis lainnya yang juga
sangat kental dalam Kiai Kanjeng adalah instrument Gamelan. Instrumen khas Jawa
ini menjadi pionir sebagaimana juga dipakai oleh Kiai Kanjeng dalam logonya.
Daftar
Pustaka
Gregory Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relavitisme terj.
Achmad Murtajib Chaeri (Sebuah Analisis Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim
tentang Sintesa Kebenaran Historis-Normatif),.
Ian L. Betts, Jalan Sunyi Emha terj. Husodo (Jakarta:
Kompas, 2006), hlm. 48.
www.caknun.com.
Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan
(Jakarta: Transpustaka, 2011).
Jurnal Sabana: Maiyah, Sumur Ilmu, Sawah Nilai, Edisi 6, tahun II
Februari 2015.
Maiyah 17 Februari 2015.
Maiyah 17 Maret 2015.
Bukhari, hadis no. 3202 (CD Lidwa Pustaka,
2010).
Nasa’I, hadist no – 1278 (CD Lidwa
Pustaka, 2010).
--------,hadist no – 1278 (CD Lidwa Pustaka, 2010).
Maiyah, dokumentasi Adi TV tanggal 7 maret
2015.
Abu Dawud, hadis no. 4195 (CD Lidwa Pustaka, 2010).
Muhammad Rauf bin Minhad, Qasidah Burdah (Malaka: Madrasah
Pengajian Al-Qur’an dan Fardhu ‘Ain Ustaz Haji Minhat bin Hashim, 2008)
Wawancara dengan Cak Imam Fatawi.
Muhammad Rauf bin Minhad, Qasidah Burdah (Malaka: Madrasah
Pengajian Al-Qur’an dan Fardhu ‘Ain Ustaz Haji Minhat bin Hashim, 2008).
[1] Gregory
Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relavitisme (Sebuah Analisis Sosiologi
Pengetahuan Karl Mannheim tentang Sintesa Kebenaran Historis-Normatif), terj.
Achmad Murtajib Chaeri, hlm. 16.
[2] Nasa’I, hadist
no – 1278 (CD Lidwa Pustaka, 2010).
[3]
Muhammad Rauf bin Minhad, Qasidah Burdah (Malaka: Madrasah Pengajian
Al-Qur’an dan Fardhu ‘Ain Ustaz Haji Minhat bin Hashim, 2008), hlm. 4.
[4] Ian L. Betts, Jalan
Sunyi Emha terj. Husodo (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 48.
[5] Dokumen photo
dalam www.caknun.com akses 17 Februari 2015.
[6] Kenduri diambil
dari bahasa Persia (lihat. Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang
Disingkirkan [Jakarta: Transpustaka, 2011], hlm. 24) Kanduri yakni ritual yang
dulu oleh masyarakat jawa dilakukan orang jawa yang memiliki hajat. Ritual ini
berupa makan-makan dan diisi dengan doa atau jampi-jampi yang memiliki nilai
sakral. Kenduru Cinta Emha yang terbungkus dalam Maiyah telah bertransformasi
menjadi ritual dalam mendekatkan diri pada Allah dan Rasulnya.
[7] Ian L. Betts, Jalan
Sunyi Emha terj. Husodo (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 52.
[8] www.caknun.com
akses 17 Februari 2015.
[9] Lihat Sampul
dalam Jurnal Sabana: Maiyah, Sumur Ilmu, Sawah Nilai, Edisi 6, tahun II
Februari 2015. Sampul dalam.
[10] Ungkapan Emha
Ainun Najib di atas pentas sekitar pkl. 23.00 di Kasihan Bantul dalam acara
Maiyah 17 Februari 2015 dengan tema Kongres Masyarakat Meh-Islam.
[11] Ian L. Betts, Jalan
Sunyi Emha terj. Husodo (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 47.
[12] Wawancara
dengan Cak Imam Fatawi, melalui inbox facebook pada 26 Februari 2015 sekitar
pukul 19:15.
[13] Kata “bonang”
berasal dari suku kata “babon” dan “menang” yang dikumpulkan
menjadi baboning kemenangan. Boneng sendiri merupakan alat musik yang
dibuat dari bahan kuningan yang berbentuk bulat dengan tonjolan di tengah seperti
gong kecil. Dari nama ini pula sunan Bonang atau raden Mahdum Ibrahim sering
dikaitkan. Lihat Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang
Disingkirkan (Jakarta: Transpustaka, 2011), hlm. 136.
[14] Wawancara
dengan Cak Imam Fatawi, melalui inbox facebook pada jum’at 27 Februari 2015
sekitar pukul 09:45.
[15] Wawancara
dengan Cak Imam Fatawi, melalui inbox facebook pada jum’at 27 Februari 2015
sekitar pukul 09:45.
[16] Wawancara
dengan mas Sigit, di Kasihan Bantul pada 17 Februari 2015 pada pukul 01:30.
[17] Dokumentasi
pribadi cak Imam Fatawi.
[18] Disampaikan oleh
Emha Ainun Najib dalam Maiyah, dokumentasi Adi TV tanggal 7 maret 2015.
[19] كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِهِ فِي بَعْضِ أَمْرِهِ قَالَ بَشِّرُوا
وَلَا تُنَفِّرُوا وَيَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا lihat: Bukhari, hadis no. 3202 (CD Lidwa
Pustaka, 2010).
[20] Abu Dawud,
hadis no. 4195 (CD Lidwa Pustaka, 2010).
[21]
Muhammad Rauf bin Minhad, Qasidah Burdah (Malaka: Madrasah Pengajian
Al-Qur’an dan Fardhu ‘Ain Ustaz Haji Minhat bin Hashim, 2008), hlm. 4.
[22] قَالَ
بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا وَيَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا
[23] Agus Sunyoto,
Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Jakarta: Transpustaka,
2011), hlm. 148.
[24] Kata ra’ bisa
dimaknai dengan penggembala sebagaimana hadis Nabi: Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin
Muhammad Al Marwazi berkata, telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah berkata,
telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az Zuhri berkata, telah mengabarkan
kepada kami Salim bin 'Abdullah dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah
pemimpin." Al Laits menambahkan; Yunus berkata; Ruzaiq bin Hukaim menulis
surat kepada Ibnu Syihab, dan pada saat itu aku bersamanya di Wadi Qura
(pinggiran kota), "Apa pendapatmu jika aku mengumpulkan orang untuk shalat
Jum'at?" -Saat itu Ruzaiq bertugas di suatu tempat dimana banyak jama'ah
dari negeri Sudan dan yang lainnya, yaitu di negeri Ailah-. Maka Ibnu Syihab
membalasnya dan aku mendengar dia memerintahkan (Ruzaiq) untuk mendirikan
shalat Jum'at. Lalu mengabarkan bahwa Salim telah menceritakan kepadanya, bahwa
'Abdullah bin 'Umar berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin,( كُلُّكُمْ رَاعٍ) dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan
diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan
akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah
pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung
jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin
dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan
tanggung jawabnya tersebut." Aku menduga Ibnu 'Umar menyebutkan: "Dan
seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai
pertanggung jawaban atasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin
akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya." Bukhari,
Jami’ ash-Shahih, hadis no. 844 (CD Lidwa Pustaka, 2010).
No comments:
Post a Comment