Catatan Kecil dari an-Nuqayyah Guluk-guluk
Surakarta, tanggal 25 Agustus pagi itu, Prof. Emil Salim telah
berdiri di atas mimbar. Beberapa teman dari pemerhati lingkungan Ikatan Ahli
Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI) bergegas mencari posisi terbaik. Nampak dari kejauhan
tempat kami duduk, sosok tua itu sedang berusaha mengungkapkan sesuatu seolah
hal yang telah lama dipendamnya. Mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berkata
dengan suara yang agak berat menceritakan pengalamannya tahun 2007 saat ia
berada di suatu tempat yang takkan terlupa di sisa hidupnya.
Saat itu ia sedang mengudara dengan helikopter menyusuri kepulauan
Maduru tepatnya di Guluk-Guluk, Sumenep. Ia masih ingat betul betapa kawasan
ini dulunya adalah kawasan tandus. Namun setelah tak lama ia mengudara, sontak
saja terkejut ketika didapatinya rerimbunan hijau terbentang di bawah kakinya
jauh. Ia mendekat dan turun dengan rasa penasaran dan turun di tanah lapang.
Berjalan tak begitu jauh, ia temukan seseorang yang ia ketahui
kemudian adalah seorang santri[1]. Ia
masih heran mengapa dulu di tanah tandus itu sekarang telah berubah menjadi
hutan yang rindang dengan aliran sungai yang begitu jernih. Ia bertanya mengapa
di sini ada hutan rindang. Tak banyak berkata, santri itu mengantarkan Emil Salim,
mantan menteri Lingkungan Hidup era Soeharto itu menuju rumah seorang kiai. Ya, yang
ia ketahui adalah bahwa hutan itu ada di area pesantren an-Nuqayyah. KH. Abdul
Basith telah berada di depan Emil salim yang bertanya tentang suatu hal. Mengapa
anda, masyarakat, santri, dan kiai-kiai di sini membuat hutan seperti ini?.
sebuah proyek yang hanya menjadi angan-angan bahkan oleh ahli dan professor-profesor
lingkungan hidup selama ini.
Menarik nafas dalam, Kiai Basith berkata : “kami hanya ingin
menyempurnakan sholat”, Emils Salim kebingungan mendengar hal itu. Kiai Basith meneruskan
: “untuk kesempurnaan sholat dibutuhkan kesempurnaan wudhu. Untuk kesempurnaan
wudhu dibutuhkan air yang cukup. Untuk air yang cukup kami butuh aliran sungai.
Untuk membuat sungai mengalir diperlukan mata air. Kemudian untuk membuat mata
air itu ada, kami perlu hutan”.
Emil Salim berkata di podium itu. Membuka matanya yang terpejam,
menarik nafas dalam satu kesimpulan yang bisa didapat dari sini adalah akan
adanya aspek yang selama ini belum atau bahkan tidak diperhatikan dalam
penanggulangan bencana. Berbagai upaya pelestarian lingkungan yang selama ini
ada seringkali terhambat oleh birokrasi dan masalah di lapangan. Namun kita
melupakan satu aspek, yakni agama yang menjadi sebuah kekuatan besar yang
tersembunyi selama ini dan dengan disokong mayoritas bangsa Indonesia sebagai
bangsa beragama. Terutama dengan pesantren dan sosok kiai sebagai kekuatan
Bangsa yang berperan membangun keberagamaan Nusantara.
Pesantren
Menurut Zamakhsyari Dhofier, Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat
pendidikan di Indonesia lebih dikenal dengan istilah pondok. Istilah pondok
barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri atau tempat
tinggal yang dibuat dari bambu. Kata pondok juga identik dengan kata funduq yang
dalam bahasa Arab diartikan sebagai asrama atau hotel.
Lebih lanjut menurut Zamakhsyari Dhofier dalam “Tradisi Pesantren,”
Perkataan pesantren berasal dari awalan pe dan akhiran en yang
menunjukkan makna tempat. Yakni tempat tinggal para santri.A.H. Johns
berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti Guru
ngaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah itu berasal dari kata shastri
yakni orang yang tahu kitab agama Hindu yang disebut shastra yakni
buku-buku suci yang berisi aspek-aspek keagamaan dan ilmu-ilmu pengetahuan. Berangkat
dari pendapat-pendapat tersebut, para ahli sejarah berkesimpulan awal bahwa
pesantren-pesantren saat ini adalah penerus dari tradisi lembaga pendidikan
keagamaan Hindu Budha yang dinamakan mandala.[2]
Catatan
Pribadi Muhammad Barir
tertanggal 25 agustus 2015, Surakarta,
tertanggal 25 agustus 2015, Surakarta,
Seminar Nasional "DAS"
Universitas Sebelas Maret (UNS)
Universitas Sebelas Maret (UNS)
Lanjutkan dan ayo bersama untuk saling mendukung dan mengebangkan
ReplyDeletejika tiap satu santri menanam satu pohon
ReplyDeletesudah cukup kiranya ciptakan paru-paru lingkungan