Sunday, November 19, 2017

Seni Menafsir Indonesia ala Dzunnun Al-Mishry


Oleh : Muhammad Barir_


Tidak banyak yang mengartikan seni lebih luas dari sekedar keindahan estetik. Beberapa bahkan ada yang menganggap seni tidak penting, tidak berguna, atau bahkan seni adalah sejarah kelam Islam. Dzunnun Al-Mishry (w. 856 M) adalah sedikit di antara tokoh Muslim yang menganggap bahwa seni adalah bagian dari khazanah peradaban dan nilai yang secara tak terduga telah dimiliki Islam secara natural seiring perjalanan realitas sejarah.
Seni merupakan bahasa universal capaian umat manusia. Islam dan seni adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Seorang peneliti yang merupakan Professor of Middle Eastern Studies, Anne K. Rasmussen mungkin lebih menghargai bahwa Islam memiliki tradisi seni yang berkwalitas. Mungkin dia lebih lihai memainkan senar-senar gitar gambus daripada kebanyakan seniman muslim. Mungkin ia juga lebih mendalami dalam hal kesejarahan seni dan maqamat. Ia bahkan pernah melakukan penelitian tentang seni Islam hingga ke Negara muslim terbesar seperti Indonesia dan lahirlah biku “Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia.” Atau seperti Anna M. Gade yang mengapresiasi tradisi Islam Indonesia dengan terbitnya karyanya yang berjudul “Perfection Makes Practice: Learning, Emotion, and the Recited Qur’an in Indonesia.
Pertanyaan kemudian yang muncul adalah kenapa umat Islam secara perlahan mulai meninggalkan peradabannya dan kenapa bangsa Barat secara berlahan kemudian mengambil alih peradaban itu?.
Tidak ada yang salah dengan seni. Penyimpangan bukan menandai bahwa seni itu adalah sejarah kelam, namun dari pribadi seniman itulah yang tidak dapat memahami esensi dan rasa dari dalam kesenian itu. Jika mengembalikan definisi seni menurut Dzunnun Al-Mishry seni adalah shouthu haqqin zuj’ijul quluba ilal khair “seni adalah suara kebenaran yang menggerakkan hati menuju kebaikan”. 
Seni adalah ritme dari kumpulan-kumpulan re-mi-fa-si-la-do atau mungkin fa-sol yang membentuk suara maqam-maqam bayathi, rast, hijaz, syaukah, atau bahkan maqam rast alan nawa yang berkembang sebagai disiplin etnomusicology. Kesalahan menempatkan re-mi-fa-si-la-do tidak pada tempatnya akan berdampak pada rusaknya nilai estetika dari bentuk output seni itu baik berupa lagu, sajak puisi, maupun hymne.
Keteraturan seni tidak hanya keluar dari instrument-instrumen musik, namun juga suara yang keluar dari tenggorokan. Rebana, gitar, biola, dan lain sebagainya adalah sama dengan lidah dan pita suara yang ada di rongga tenggorokan yang berfungsi menghasilkan suara-suara keindahan yang dapat diukur berdasarkan re-mi-fa-si-la-do atau juga fa-sol. Jika rebana, gitar, biola, dan instrument lainnya haram, lantas apakah itu artinya suara kita juga haram?. Tradisi membaca Al-Qur’an dengan ilmu maqamat yang memiliki tingkatan nada tertentu juga menggunakan formulasi re-mi-fa-si-la-do.
Lalu bagaimana kerangka Dzunnun Al-Mishry ini digunakan untuk memahami kondisi Indonesia?.
Indonesia selain memiliki Sumberdaya Alam yang berlimpah juga memiliki Sumberdaya Manusia yang potensial. Di antara mereka merupakan ahli sosial, ekonomi, hukum, politik, goelogi, dan lain sebagainya. mereka membawa nadanya masing-masing entah itu sol, entah itu fa, entah itu re. ketidaktepatan dalam meramu nada itu akan membuat irama yang sedang bermain di Indonesia ini menjadi sumbang. Saat di mana bidang hukum malah diisi oleh orang-para politikus. Saat di mana bidang perekonomian malah diisi oleh orang-orang hukum, atau saat di mana bidang agama malah diisi oleh orang-orang industri. Tumpang tindih atau yang sering diistilahkan dengan wrong man in the wrong place ini membuat Indonesia penuh dengan nyanyian-nyanyian sumbang.  
Dzunnun Al-Mishri (w. 856 M) yang lahir di pesisir Timur Sungai Nil yang hidup abad ke tiga Hijriyah memberi pelajaran mengenai seni dan korelasinya terhadap perbaikan kepribadian secara kolektif dan individu. “Nun” berasal dari nama ikan yang banyak hidup di sungai Nil. “Nun” juga merupakan awal dari surah Al-Qalam (68) di mana huruf itu berbentuk tempat tinta yang darinya pena bisa berwarna. “Nun” juga merupakan nama ulama yang setara dengan kiai, ajengan, tuan guru, buya, gus dan lain sebagainya.
Filosofi “Nun”, dapat direpresentasikan untuk mengingatkan manusia selalu berusaha memberikan banyak hal dan tidak kemudian selalu berharap menjadi yang terdepan. Ia tetap berperan penting meski berada di balik layar. Seperti wadah tinta yang selalu siap untuk memberi, tidak selalu harus menjadi pena yang menulis karena jika ia tidak hati-hati bisa salah melangkah.
Bahawsa Arab pun terus berkembang seiring persentuhan dengan dunia luar. Di Syiria, karakter bacaan al-Qur’an bersentuhan dengan tradisi orang-orang Yahudi dalam menyanyikan lagu-lagu liturgi dan membaca Taurat. Untuk itulah tausyih juga identik dengan hymn. Penggunaan istilah hymn (musik pujian yang identik dengan tradisi Yahudi dan Kristiani) dalam untuk merujuk bait-bait (tausyihmaqam dimungkinkan berhubungan dengan sejarah maqam bayati yang berkembang di Syiria. Umumnya semua maqam dalam tilawah al-Qur’an akan bermuara pada maqam bayati. Hal tersebut setara dengan cara orang yahudi membaca Taurat dengan variasi bacaan yang akan kembali pada maqam seyga. Pada mulanya maqam tersebut digunakan untuk musik liturgi atau semacam pujian-pujian peribadatan.[1]
Seni sebagai bahasa universal tidak memerlukan intelektualitas seseorang untuk menilainya. Seseorang juga tidak memerlukan upaya menguasai beberapa bahasa. Hal itu karena nyanyian indah tetap akan terdengar indah sebagaimana lukisan indah akan terlihat indah. yang diperlukan adalah kejujuran dalam menilai.



[1] Mark L. Kligman, Maqām and Liturgy: Ritual, Music, and Aesthetics of Syrian Jews in Brooklyn  (Michigan: Wayne State University Press, 2009), hlm. 187-188.



No comments:

Post a Comment