Wednesday, November 1, 2017

PESANTRENKU KALA SUBUH : Renungan Santri


Muhammad Barir

04.15 WIB tahun 2004. Langit masih hitam. Udara dingin memenuhi tiap sudut kompleks Pesantren. Deretan bangunan klasik khas pesantren berjajar nan khas. Pelan, sedikit demi sedikit terdengar sayup alunan azan. Kian lama kian nampak suara itu. Bergema menggetarkan permukaan-permukaan air seluruh penjuru desa Kranji.
Satu persatu lampu menyala. Satu persatu pula santri membuka mata. Terbangun dari lelap tidurnya. Beberapa nyenyak dan mengharuskan kakak pengurus untuk mengibaskan sorban, sarung, dan apapun itu untuk membangunkan mereka.
Beberapa tidur di serambi mesjid. Mereka bangun dan masuk ke dalam bilik-bilik kamar. Bukan untuk berganti pakaian atau mengambil handuk untuk kemudian pergi berwudhu, namun mereka tidur lagi di kamar itu.
Dengan sabar, penuh sayangnya, Sanhudi bergilir dari kamar ke kamar. Menaruh harapan agar upayanya digubris. “Banguuun…!, le… bangun...!.” maka bangunlah.
Beberapa santri yang bangun terlihat keluar kamar. Beberapa di antaranya terlihat terduduk lemas bersandar pada lemari-lemari kecil mereka. Di antara santri yang keluar kamar pergi ke kamar sebelah. Mereka tidur lagi.
Para santri cilik terlihat masih tidur dengan begitu polosnya. Tidur pulas dengan air liur di mana-mana. Membasahi bantal, selimut, dan baju mereka. Tidak tega bagi Sanhudi jika harus mengganggu kedamaian itu. Di beberapa sudut juga ada santri senior setingkat Aliyah. Tidur pulas dengan beragam mimik muka dan aneka macam ekspresi tubuh. Memasang wajah garang, Sanhudi mengayunkan tumitnya menyasar kaki mereka. “Banguuun…!,” teriak sanhudi sedikit serak.
Para santri berhamburan. Beberapa yang terkena terjangan tumit berlari sembari mengusap-usap paha mereka yang sedikit ngilu. Dari jauh Sanhudi melihat mereka dengan tatapan kosong. Sesekali ia tidak tega, sesekali ia ingin tertawa melihat gelagat mereka, dan sesekali ia puas karena telah menjalankan amanah Abah Kiai.
***
Ilustrasi di ataas merupakan dialektika perspektif yang ada di dunia pesantren. Apa yang dilihat dan didengar tidak selalu dapat ditangkap dengan baik atau bahkan sering pula disalahpahami. Kita bisa menyampaikan kasih-sayang kita kepada seseorang dengan bungkus kekesalan. Atau menyembunyikan senyuman kita di dalam kemarahan. Santri memiliki segalanya untuk bisa bertahan hidup. Menerima apapun yang terjadi. Mereka juga bisa mengubah situasi apapun itu menjadi berbalik 180o.
Santri terlatih dari hal terkecil. Mulai dari cara mereka bangun tidur hingga tidur lagi. Mereka siap tidur beralaskan lantai ubin. Mereka siap jika harus bangun, berpindah tidur, dan dibangunkan lagi untuk kesekian kalinya. Mereka tidak membalas meski hanya dengan kata-kata saat mendapat hukuman jika memang mereka salah.
“mereka tidak akan beradu argumentasi, namun mereka akan mencari cara untuk menyalurkan kreatifikas dan keinginannya melalui tindakan yang tidak terpikirkan dan diduga-duga”
Mereka bisa seperti itu karena yakin terhadap konsep barokah. Satu kata sederhana dengan berjuta penafsiran. Bagi santri, apapun yang ada di dalam pesantren adalah barokah. Benda, sikap, tindakan, pikiran, angan-angan, lamunan, bersitan hati, angin, cerita, dan lelucon, semua adalah barokah. Disayangi adalah barokah, dihukum adalah barokah, ditegur adalah barokah, tidur dengan apa adanya adalah barokah, apapun di pesantren itu barokah. Barokah itu akan terus mengalir tanpa putus karena ketulusan mereka yang yakin bahwa Allah telah memberikan kelebihan prerogatif bagi pesantren yang itu mungkin tidak dijumpai di tempat lainnya.
Tidak ada paksaan untuk percaya pada konsep barokah. Barokah tidak ditujukan pada kiyai, tempat sakral, kitab suci, ilmu, atau lainnya, tapi barokah adalah keseluruhan nilai yang murni dari kasih sayang Allah yang mengutus berbagai jenis kapasitas alam sebagai distributor untuk menyalurkannya.
Saat ini, eksistensi santri diakui melalui keppres No. 22 tahun 2015. Santri tetap kuat meski tanpa keppres. Namun, paling tidak, dari keppres tersebut, kita bisa mengenang kisah masa lalu. Merujuk pada peristiwa historis. Sebagaimana yang dikenal dengan resolusi jihad yang dilontarkan KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1945. Perjuangan santri tidak hanya mengorbankan jiwa dan semangat, namun raga dan jasad mereka telah menjadi bukti kerelaan melakukan apapun untuk mengukuhkan konsep barokah. 

Santri memiliki segalanya yang ia dapat dari pesantren. Pesantren memiliki keseluruhan nilai tradisi. Seorang sejarawan Belanda yang merupakan Professor Universiteit van Amsterdam, Izaak Johannes Brugmans (w. 1992), percaya bahwa basis intelektualitas muslim Nusantara terletak di Pesantren. Pesantren mengakomodir keseluruhan tradisi. Tradisi pesantren menjangkau khazanah peradaban luhur dari mana pun itu berasal. Bahkan tokoh literasi Barat seperti Cornelis Christian Berg mengakui bahwa pesantren mewadahi keseluruhan kekayaan tradisi. Identik dengan istilah shastri yang menunjukkan bahwa ulama masa lalu berkenan untuk mengambil nilai luhur dari peninggalan Jawa, Kapitayan, Hindu, Budha dan dari manapun itu asal tidak bertolak belakang. Mengadopsi segala bentuk kapasitas berupa sistem sosial, budaya, hingga pemikiran yang kemudian diamati, ditiru, dan dimodifikasi dengan sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan corak Islam. 


1 comment: