Thursday, February 4, 2016

Al-Qur'an dan Wacana Intertekstualitas Late Antiquity



Oleh : Muhammad Barir, S.Th.I

Dalam perspektif sejarah, Islam bukanlah agama pertama yang berimplikasi bahwa mushaf al-Qur’an bukanlah mushaf kitab suci yang pertama. Al-Qur’an berada dalam lintasan pewahyuan Kitab Suci lainnya yang berada pada masa yang di sebut Angelica Neuwirth, Barbara Finster, dan penekun kajian historis kritis lainnya dengan masa late antiquity.[1] Selain masa late antiquity, al-Qur’an juga berhubungan dengan kitab suci yang berada pada masa sebelumnya yakni “classical antiquity. Late antiquity  merupakan istilah yang dipakai oleh pakar sejarah dalam menentukan titik transisi periodesasi (frame time) dari masa akhir classical antiquity menuju permulaan masa middle age. Para pakar sejarah berbeda pendapat mengenai tahun pasti yang yang dapat dijadikan batasan masa late antiquity. Peter Brown berpendapat masa late antiquity terjadi pada antara abad kedua dan kedelapan masehi. Hal tersebut ia perjelas melalui karyanya The World of Late Antiquity : AD 150 – 750.[2] 
Dengan mengacu pada pembagian waktu ini, kajian terhadap al-Qur’an dapat dikaitkan dengan intertekstualiti studies. Studi tentang al-Qur’ann tidak hanya terbatas pada kritik internal dan eksternal al-Qur’an, namun menyeberanginya dengan melakukan komparasi atas kitab-kitab lainnya yang berada di luar tradisi Islam. Dengan kemungkinan studi intertekstualitas tersebut, upaya komparasi antara al-Qur’an tidak terbatas dengan kitab lainnya yang semasa. Namun bahkan al-Qur’an memiliki kaitan dengan kitab yang hadir pada masa classical antiquity. Dalam hal tersebut ialah kitab Taurat dan Zabur yang—jika mengacu pada pembagian Peter Brown di atas—diwahyukan sebelum masa late antiquity.   
Islam dalam realitas kesejarahannya terkait erat dengan agama sebelumnya. Kitab suci-kitab suci yang menjelaskan keimanan membawa kepercayaan yang dipeluk, diyakini, dan dilegalkan sebagai agama dalam konteks global termasuk pula agama bangsa Arab ketika itu. Dalam konteks sejarah, dalam rentang waktu tertentu, kitab suci sebagai bagian dari peristiwa (event) berada dalam alur diakronis dan alur singkronis. Antara kitab suci masing-masing melintasi waktu yang berbeda, ada yang turun di awal dan ada yang baru hadir belakangan. Karena masing-masing kitab memiliki orientasi yang berdekatan, maka yang terjadi kemudian adalah masing-masing memiliki banyak persamaan selain juga terdapat beberapa perbedaan.
Kepercayaan tentang hubungan kausalitas[3] bahwa peristiwa dalam sejarah tidak lepas dari peristiwa lainnya memunculkan asumsi bahwa kitab suci-kitab suci yang muncul menjelang keruntuhan Romawi memiliki keterkaitan terutama kitab yang hadir belakangan yang menjadikan kitab sebelumnya sebagai rujukan sumber. Kajian ini yang memfokuskan diri pada konsepsi origin dari kitab suci menjadi bagian dari kajian historis kritis (historical critisism) yang pada gilirannya juga melibatkan kajian filologis. Di antara tokoh yang menjadi sosok sentralnya adalah Abraham Geiger (1810-1874 M)[4] dan Theodor Noldeke (1836-1920 M).[5] Keduanya melakukan riset tentang al-Qur’an yang diyakini muncul pada masa Nabi Muhammad (670-732 M).   
Nabi Muhammad sebagai sosok historis, petualang, dan seorang yang memiliki jaringan dengan bangsa luar terutama diddukung oleh profesinya sebagai seorang pedagang yang hilir mudik melakukan perjalanan hingga Syam dan Yaman menemui berbagai klien dan berjumpa dengan orang dari berbagai latar belakang yang dalam perjalanan tersebut membangun pra-pemahaman Nabi. Baik Abraham Geiger dan Noldeke masing-masing percaya bahwa Nabi terpengaruh oleh orang-orang yang ada dalam lingkungan hidupnya tersebut yang kemudian menjadi sumber munculnya al-Qur’an.


[1] Era menjelang keruntuhan Romawi, era ini disebut-sebut mewakili akhir dari masa pewahyuan kitab suci. L;ihat seperti tulisan Barbara Finster, “Arabia in Late Antiquity: an Out Line of the Cultural  Situation in the Peninsula at the Time of Muhammad”, dalam Angelica Neuwirth dkk. (ed.), The Qur’an in Context (Leiden: Brill, 2010), hlm. 61-114.
[2] Cody Franchetty, “An Ever Lasting Antiquity : Aspects of Peter Brown’s The World of Late Antiquity”, dalam Global Journal of Human Social and Science, Vol XIV, 2014. Hlm 1.
[3] Hubungan kausalitas ini disebut Kuntowijoyo dengan model lingkaran sentral. Berbeda dengan model evolusi yang menunjukan perubahan bentuk kebudayaan suatu unsur tertentu adalah berkaitan dengan perubahan pada dirinya sendiri. Model lingkaran sentral lebih merupakan bentuk perubahan-perubahan peristiwa berdasarkan sebab-akibat dalam proses diakronis yang melibatkan tidak hanya dirinya sendiri namun mempengaruhi perubahan kebudayaan tertentu yang ada pada lingkungannya. Sebuah peristiwa yang terjadi menurut model ini tidaklah terjadi dengan sendirinya, namun terjadi karena peristiwa sebelumnya dan demikian terus-menerus terjadi hingga memunculkan peristiwa-peristiwa yang baru. Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 51.
[4] Ken Spiro, The Reform Movement : Crash course in Jewis History (Jewish Pathways, 2008), hlm. 5.
[5] Al Makin, Antara Barat dan Timur (Jakarta: Serambi, 2015), hlm. 101.

No comments:

Post a Comment