Saturday, October 3, 2015

KEKUATAN SOSIAL PESANTREN DAN LINGKUNGAN HIDUP



Catatan Kecil dari an-Nuqayyah Guluk-guluk

Surakarta, tanggal 25 Agustus pagi itu, Prof. Emil Salim telah berdiri di atas mimbar. Beberapa teman dari pemerhati lingkungan Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI) bergegas mencari posisi terbaik. Nampak dari kejauhan tempat kami duduk, sosok tua itu sedang berusaha mengungkapkan sesuatu seolah hal yang telah lama dipendamnya. Mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berkata dengan suara yang agak berat menceritakan pengalamannya tahun 2007 saat ia berada di suatu tempat yang takkan terlupa di sisa hidupnya.
Saat itu ia sedang mengudara dengan helikopter menyusuri kepulauan Maduru tepatnya di Guluk-Guluk, Sumenep. Ia masih ingat betul betapa kawasan ini dulunya adalah kawasan tandus. Namun setelah tak lama ia mengudara, sontak saja terkejut ketika didapatinya rerimbunan hijau terbentang di bawah kakinya jauh. Ia mendekat dan turun dengan rasa penasaran dan turun di tanah lapang.
Berjalan tak begitu jauh, ia temukan seseorang yang ia ketahui kemudian adalah seorang santri[1]. Ia masih heran mengapa dulu di tanah tandus itu sekarang telah berubah menjadi hutan yang rindang dengan aliran sungai yang begitu jernih. Ia bertanya mengapa di sini ada hutan rindang. Tak banyak berkata, santri itu mengantarkan Emil Salim, mantan menteri Lingkungan Hidup era Soeharto itu menuju rumah seorang kiai. Ya, yang ia ketahui adalah bahwa hutan itu ada di area pesantren an-Nuqayyah. KH. Abdul Basith telah berada di depan Emil salim yang bertanya tentang suatu hal. Mengapa anda, masyarakat, santri, dan kiai-kiai di sini membuat hutan seperti ini?. sebuah proyek yang hanya menjadi angan-angan bahkan oleh ahli dan professor-profesor lingkungan hidup selama ini.
Menarik nafas dalam, Kiai Basith berkata : “kami hanya ingin menyempurnakan sholat”, Emils Salim kebingungan mendengar hal itu. Kiai Basith meneruskan : “untuk kesempurnaan sholat dibutuhkan kesempurnaan wudhu. Untuk kesempurnaan wudhu dibutuhkan air yang cukup. Untuk air yang cukup kami butuh aliran sungai. Untuk membuat sungai mengalir diperlukan mata air. Kemudian untuk membuat mata air itu ada, kami perlu hutan”.
Emil Salim berkata di podium itu. Membuka matanya yang terpejam, menarik nafas dalam satu kesimpulan yang bisa didapat dari sini adalah akan adanya aspek yang selama ini belum atau bahkan tidak diperhatikan dalam penanggulangan bencana. Berbagai upaya pelestarian lingkungan yang selama ini ada seringkali terhambat oleh birokrasi dan masalah di lapangan. Namun kita melupakan satu aspek, yakni agama yang menjadi sebuah kekuatan besar yang tersembunyi selama ini dan dengan disokong mayoritas bangsa Indonesia sebagai bangsa beragama. Terutama dengan pesantren dan sosok kiai sebagai kekuatan Bangsa yang berperan membangun keberagamaan Nusantara.
Pesantren
Menurut Zamakhsyari Dhofier, Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan di Indonesia lebih dikenal dengan istilah pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu. Kata pondok juga identik dengan kata funduq yang dalam bahasa Arab diartikan sebagai asrama atau hotel.
Lebih lanjut menurut Zamakhsyari Dhofier dalam “Tradisi Pesantren,” Perkataan pesantren berasal dari awalan pe dan akhiran en yang menunjukkan makna tempat. Yakni tempat tinggal para santri.A.H. Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti Guru ngaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah itu berasal dari kata shastri yakni orang yang tahu kitab agama Hindu yang disebut shastra yakni buku-buku suci yang berisi aspek-aspek keagamaan dan ilmu-ilmu pengetahuan. Berangkat dari pendapat-pendapat tersebut, para ahli sejarah berkesimpulan awal bahwa pesantren-pesantren saat ini adalah penerus dari tradisi lembaga pendidikan keagamaan Hindu Budha yang dinamakan mandala.[2]


Catatan Pribadi Muhammad Barir
tertanggal 25 agustus 2015, Surakarta,
Seminar Nasional "DAS"
Universitas Sebelas Maret (UNS)



[1] Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan pesantren, seorang bisa disebut kiyai apabila memiliki santri dan tempat tinggal pemondokan.
[2] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan hidup Kyai dan visinya mengenai m,asa depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 41.

2 comments:

  1. Lanjutkan dan ayo bersama untuk saling mendukung dan mengebangkan

    ReplyDelete
  2. jika tiap satu santri menanam satu pohon
    sudah cukup kiranya ciptakan paru-paru lingkungan

    ReplyDelete