Epigrafi Bahasa Arab klasik dan Kontestasi
Tradisi Abad ke-2
Muhammad Barir, S.Th.I
1420510012
1420510012
A.
Bahasa
Suryani (aramaic) sebagai Asal Bahasa Arab
Bahasa Arab menurut John Wansbrough tidaklah lahir secara murni
dari bangsa Arab, namun terpengaruh oleh beberapa bahasa lainnya. Apa yang
ditawarkan ini menjadi hipotesa bahwa terdapat pengaruh luar yang bisa
mengungkapkan bagaimana originalitas dan otentisitas bahasa Arab. Argumentasi
tersebut bisa ditelaan melalui beberapa sisi dari bahasa Arab meliputi
perubahan nada (infleksi), tanda baca, dan bentuk huruf. Sebagaimana argument Robert
Hoyland dalam tulisannya Epigraphy and the Linguistic Bacground to the Qur’an
bahwa bahasa Arab terpengaruh bahasa Suryani yang disebut Aramaic. Bahasa
Aramaic ini terdiri dari tiga dialek, yakni al-aramiyya, al-Falastiniyya,
dan al-nabatiyya.[1]
B.
Bahasa
Al-Qur’an Bahasa Abad ke-2 Hijriyah
Datangnya al-Qur’an pada abad ke-7 memberikan pengaruh kepada
bahasa Arab lokal. Secara sekilas hal ini sudah bisa diterka melalui rima yang
berbeeda antara puisi klasik Arab dengan Rima al-Qur’an di akhiran ayat-ayatnya
sebagaimana surat abasa 80: 11-24. Setiap akhiran ayat-ayat tersebut diakhiri
dengan rima yang sama melalui huruf ha’ dan ta’ marbuthah. Hal inilah
yang menurut John Wansbrough bermasalah dan menyimpulkan bahwa al-Qur’am tidak
muncul pada masa Nabi, namun muncul pada abad ke dua hijriyyah atau abad ke-9
masehi.
Argumen Wansbrough ini terkesan mirip dan mungkin berhubungan dengan kajian Joseph
Schacht yang berargumen
bahwa hadis datang dan dibuat pada abad kedua hijriyyah oleh Ibnu Shihab
az-Zuhri dalam memberi legitimasi hukum Islam pada masa Umar bin Abdul Aziz. Antara
argument Hadis Joseph Schacht dan argument al-Qur’an Wansbrough ini berhubungan
karena ketika hadis bermasalah, maka al-Qur’an pun juga bermasalah. Sebab,
transmisi al-Qur’an juga menggunakan hadis, yakni hadis mutawatir. Argumentasi
yang dibangun oleh Wansbrough ini didasarkan pada bahasa al-Qur’an yang
ternyata lebih condong menggambarkan nuansa tradisi dan bahasa yang dipakai
pada abad ke-2 hijriyyah.
Dari sisi morfologis, bahasa Arab terbentuk dengan berbagai
perubahan-perubahan dan perkembangan, namun belum menyempurnakan susunan dan
karakternya. Orang akan kesulitan membedakan antara jim, kha’, dan ha’.
Kalaupun terdapat titik merupakan penyempurnaan dari Abu Aswad ad-Duali
yang merumuskan nuqthah al-huruf. Sedangkan penyempurnaan huruf hidup
terjadi pada masa khalil bin Ahmad al-Bashri yang memberikan harakat alif kecil
di atas huruf sebagai fathah, wawu kecil sebagai dhammah,
ujung ha’ sebagai sukun, kepala sin sebagai tasydid dan lain
sebagainya.
C.
Argumen
Wansbrough tentang Kelemahan Bahasa Arab
Kritik Wansbrough mengenai I’rab menjadi salah satu kritik
tajam ketika ia menunjukkan beberapa kata yang ketika salah dalam pengungkapan
vokalnya akan berimplikasi terhadap perubahan makna.إن
الله بريئ من المشركين و رسوله ayat ini bermakna Allah dan rasulnya berlepas diri dari orang musyrik, namun juga
karena kesalahan i’rab akan bermakna Allah melepaskan diri dari orang musyrik
dan melepaskan diri dari rasulnya. Sebuah pemaknaan yang berdampak pada
kesalahan fatal,
Contoh di atas menunjukkan adanya kekurangan
bahasa Arab dalam memberikan penutup dan pembuka serta pembatas dan penyambung
kalimat. Tanda-tanda baca seperti itu penting sebagai penentu validitras makna.
Wansbrough menggarisbawahi lima unsur dari kekurangngan bahasa Arab yakni : 1)
penekanan (pressing), 2) jeda, 3) konteks, 4) gestur, dan 5)
retorikal faktor.
Selain kekurangan pada segi morfologi,
kekurangan lain terjadi ketika al-Qur’an banyak membuang kata-kata yang
difungsikan untuk meringkas pembicaraan. Seperti apa yang disampaikan Ibn
Qutayba (w 276/889) yang menyatakan bahwa فَلا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ إِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا
يُعْلِنُونَ lafadz
“inna” pada ayat ini pada asalnya adalah lianna yang bermakna
karena sesungguhnya. Kata tersebut disingkat dengan membuang lam ta’lil.
Selain itu, Wqansbrough juga menggunakan
al-Itqan untuk mengkritik al-Qur’an dari sudutpandang umat Islam sendiri dengan
menyodorkan pernyataan as-Suyuti yang menemukan adanya 25 ayat al-Qur’an yang
berbeda atau bertentangan dengan kaidah bahasa Arab. Salah satu contoh yang ia
uraikan adalah ayat : إن
هذان لساخران. Ayat ini menunjukkan kesalahan
I’rab yang seharusnya nasab dengan ya karena tasniyyah, namun malah dibaca rafa dengan alif’.
D.
Bahasa
al-Qur’an dan Dua Perannya sebagai Bahasa Stilistik dan Fungsional
Selain menunjukkan gaya bahasa abad kedua hijriyah yang lebih maju,
disusun dengan rima yang indah, runtutan yang baik, dan lantunan nada yang
sempurna al-Qur’an ternyata juga memiliki fungsi tertentu yang ada dibaliknya.
Wansbrough menggunakan pendekatan yang biasa dipakai sebagai pendekatan kitab Taurat.
Ia membagi tema al-Qur’an kedalam lima tema utama, ytakni: haggadic, halachic, masoretic, rhetorical, dan
allegorical.
1.
Haggadig merupakan
al-Qur’an sebagai kitab naratif yang di dalamnya tersusun berbagai tema-tema
kisah.
2.
Halachic merupakan
al-Qur’an sebagai kitab yang berisi kaidah hukum yurisprudensi kanonikal.
3.
Masoretic merupakan al-Qur’an
yang telah diberi tanda baca, catatan dan komentar sebagai tafsir.
4.
Rethorical merupakan
al-Qur’an yang berisi tamsil atau beberapa perumpamaan-perumpamaan kata dalam
menyampaikan informasi tertentu.
5.
Allegolical merupakan
al-Qur’an yang berisi ayat-ayat mutasyabbih yang menyimpan makna di luar teks
dan makna tekstual dikesampingkan karena bukan makna yang sebenarnya. Hal ini
mirip dengan ayat mutasyabbih yang perlu penta’wilan.
Catatan dari seorang muslim :
Terlepas
dari kontroversinya, kritik tajam Wansbrough dan Outsider lainnya terhadap
al-Qur’an sebagai kajian Historis kritis tidak tempatnya dilawan dengan pendekatan
teologis dan bagi sarjana muslim melihat perkembangan pendekatan yang dipakai
Barat merupakan tantangan dan menyisakan pintu yang luas untuk ia kritisi
melalui pendekatan yang sama di meja akademis, bukan secara fisik dan rasan-rasan
lisan, namun melalui tulisan. Wallahu alam bi as-sawab, wallahu muwafiq ila
aqwam ath-thariq…
...
[1]
Robert Hoyland, Epigraphy
and the Linguistic Bacground to the Qur’an dalam, Gabriel Said Rynolds, “the
Qur’an in Its Historical Context” . hlm. 52.
No comments:
Post a Comment