karya Whitney Bodman Hardford Seminary, 2009. Blacwell Published. USA.
Oleh : Muhammad Barir, S.Th.I :
1420510012
makalah ini dipersembahkan untuk Ahmad Rafiq, Ph.D.
Studi al-Qur’an dan Hadis
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yoryakarta,
2015
makalah ini dipersembahkan untuk Ahmad Rafiq, Ph.D.
Studi al-Qur’an dan Hadis
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yoryakarta,
2015
Dalam dunia Islam, sebagaimana
menjadi suatu hal yang wajar, bahwa al-Qur’an dibaca, difahami, dipelajari, dan
ditafsiri oleh kalangan cendekiawan Islam sendiri. Pra-pengetahuan yang
terbangun sejak pendidikan terdasar hingga perguruan tinggi membawa alam pikir
mereka untuk berperan dalam proses interpretasi. “Namun”, bagaimana jika proses
ini dilalui bukan oleh seorang muslim, tapi oleh seorang outsider dari
kepercayaan lain dan dengan pra-pengetahuan lain yang berupa memori,
pengalaman, dan ekspektasi di luar dunia islam?. Pertanyaan-pertanyaan
tersebutlah yang diangkut oleh Whitney Bodman dalam “Reading the Quran as a
Resident Alien”.
Pernyataan Frank Clooney[1]
yang dikutip oleh Bodman menunjukkan tentang adanya kesadaran sebagai seorang
asing yang masuk dalam alam kebudayaan baru akan mengimplikasikan adanya dua
cara baca bagi mereka. Dalam satu sisi, keinginan melepas subjektifitas dan
mencoba menempatkan diri sebagaimana seorang muslim membaca al-Qur’an, membawa
mereka ke dalam cara berfikir dengan mengikuti metode tafsir seorang muslim
yang memegang tradisi dan kepercayaan teologisnya. Di sisi lain, upaya yang
dilakukan seorang outsider untuk melepas jati dirinya dengan menjadi orang lain
tidaklah senuhnya diperlukan. Memori, pengalaman, dan ekspektasi sebelumnya
yang membangun jatidirinya dalam agama lain akan membantu dalam mempertemukan
dua tradisi dalam sebuah pembacaan komparatif.
Apa yang dipikirkan oleh Boodman
dengan mengutip Frank Clooney, jika ditarik ke dalam dunia Islam, maka akan
muncul nama Abid al-Jabiri dengan metode
al-Wash dan al-Fashl tentang bagaimana interpreter mengakui
objektifitas teks dan bagaiumana ia juga menggunakan subjektifitasnya. Namun
bagaimanapun, apa yang difikirkan Boodman dikatakan memiliki nilai otentisitas
dan keunikannya sendiri karena posisinya sebagai seorang resident alient
yang datang dari dunia yang sama sekali berbeda yang membantu memperkaya sudut
pandang yang saat ini ada.
Pada tahapan tentang memaknai teks,
Bodman dengan kembali mengutip Clooney, menyatakan tentang adanya hal unik yang
terdapat dalam teks agama. Teks agama memiliki plot atau alur yang tersusun
secara integral dan koheren, mempertimbangkan hubungan antara tradisi dan nilai
deskripsi teks, serta secara tahap-demi tahap dikonfirmasi dengan bahasa agama
sehingga makna teks tidak sampai tereduksi oleh jastifikasi.
Berangkat dari kerangka Clooney,
secara lebih rinci, terdapat empat tahapan yang ditawarkan oleh wodman dalam
proses memahami teks. Pertama adalah memahami teks dengan proses penafsiran
melalui analisa dinamika internal dan mempertimbangkan konteks mikro. Kedua
adalah dengan mempertimbangkan konteks makro berupa tradisi dan kepercayaan
yang berkembang dalam komunitas yang menggunakan tradisi itu. Ketiga adalah
dengan membawa makna dan konteks teks ke dalam konteks kontemporer. Dan yang
terakhir adalah membaca teks sebagaimana ia menjadi sebuah proyek teologi.
Kesimpulan dari bagaimana seorang
membaca al-Qur’an oleh Wodman diuraikan dengan empat term, yakni accurately,
historically, theologically, dan contextually. Otentisitas Woodman
terletak pada term ketiga yakni theologically. Seorang interpreter tidak
bisa melupakan bahwa teks kitab suci adalah bahasa agama yang otoritatif. Teks
tidak dapat tercampuri oleh jastifikasi. Keadilan teks terkadang bisa saja
tidak sejalan dengan keadilan yang sepintas ada di akal manusia yang terbatas
karena teks berdiri sendiri sebagai wadah komunikasi antara Tuhan sebagai author
dengan Manuisia sebagai reader dan
audience.
No comments:
Post a Comment