Muhammad
Barir, S.Th.I
1420510012
1420510012
Studi al-Qur’an dan Hadis (SQH),
Agama dan Filsafat, Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga
UIN Sunan Kalijaga
Dipersembahkan kepada Ahmad Rafiq, Ph.D
A.
Fikr
al-Isla>miy (Islamic religious Knowledge) menuju Dira>sah al-Isla>miyyah (Islamic Studies)
Amin Abdullah adalah salah satu sarjana Islam yang berupaya mencari
pembagian periode yang dapat menunjukkan perkembangan dan perubahan keilmuan
Islam dari generasi ke generasi. Ia membagi pertumbuhan Pengetahuan Islam
melalui tiga tahapan, pertama adalah tahap awal yaitu ulu>m ad-di>n, kedua adalah fikr al-Isla>m, dan ketiga
adalah dira>sah al-Isla>miyyah.
Amin Abdullah mencoba melakukan pembagian
pemikiran Islam melalui tiga tahapan era. Pertama adalah era yang disebut
dengan tradisional, kedua adalah era yang dinamakan dengan modern, dan ketiga
adalah era yang dinamakan dengan post-modern. Era pertama diwakili oleh
al-Ghazali, Izuddin Abd as-Salam, Syatibi, dan al-Juwaini. Era kedua diwakili
oleh Muhammad Abduh, Thabathabai, Yusuf Qaradhawi, Ibn As-Shur dan as-Shadr.
Era ketiga diwakili oleh Nasr Hamed, Ibrahim Moosa, Farid Esack, dan Hasan
Hanafi.
B.
Increasing
of Islamic Studies
Andreas
Grunschloß dari George August University of Gottingen mengemukakan bahwa dalam studi
agama terutama Judaism, Christianity, dan Islam mengalami pertumbuhan sebab
ikatan ketiga agama tersebut dalam kajian kesarjanaan melalui pendekatan
trans-Diciplinarry. Argemen tersebut membuka pengertian bahwa dalam terbangunnya studi Islam memang terpengaruh
oleh kajian orientalis. Perkembangan kemudian
yang berpengaruh dalam keberlangsungan dan perubahan ulum ad-din menuju
dirasah al-Islamiyyah adalah sudut pandang yang dipakai yang menurut Lien
Iffah Nafatun Fina dari Hartford Seminary USA memiliki tiga motor pendukung:
1.
Pendekatan Intra-disipliner,
2.
Pendekatan Multi-disipliner, dan
3.
Trans-Disipliner
Memperkembangkan
kajian dari dalam, mempertimbangkan aspek perkembangan historis, dan
menghubungkan kajian melalui tradisi lain merupakan tiga aspek yang menjadi
faktor dan indikasi pendidikan dalam era post-modern yang menurut Amin Abdullah
berada pada ranah studi. Hal tersebut pula yang mengantarkan pemikiran Islam
untuki dapat berubah berangkat dari ulum ad-din menuju pada dirasah
al-Islamiyyah. Dari Islamic religious knowledge, Islamic thought,
hingga Islamic Studies.
Dengan
ketiga hal tersebut, Islam yang telah secara integral dan terkoneksi melalui
cabang berbagai keilmuan tersebut telah dapat dikatakan berada pada tahapan
yang lebih maju. Namun terlepas dari itu semua sebagaimana argument Mohammad
Damami, bahwa teori ini sebenarnya bagaikan kapas yang masih melayang-layang di
udara. Penerapan dalam perguruan tinggi Islam belum berhasil. Untuk penggunaan
pendekatan intra, trans, dan multi disipliner sebenarnya telah dapat dijangkau,
hanya mengenai aspek integralistik dari teori tersebut kurang mendapat tempat.
Sebagaimana upaya paradigm jarring laba-laba yang dipakai Amin Abdullah yang
menjadikan al-Qur’an dan Hadis sebagai poros mengharuskan baik al-Qur’an maupun
Hadis untuk dapat selalu relevan dalam berbagai sudut pandang, mulai dari
sosiologi hingga ilmu eksakta seperti fisika, biologi, dan kedokteran.
Sedangkan upaya itu semua hingga saat ini masih tergolong tidak terealisasikan.
Bebrapa upaya yang telah ada kebanyakan hanya merupakan legitimasi dan
mencocok-cocokkan.
C.
Antropologi dan Perkembangan Kajian
Normativitas menuju Historisitas
Martin
Ramsted dari Max planck Institute dalam tulisannya “the Emergence of a New
Field of Study” menyatakan bahwa studi sebagaimana kajian keagamaan saat
ini telah dapat dijangkau karena telah keluar dari aspek normativitasnya. Salah
satu kajian yang berkembang adalah antropologi. Antropologi yang menjadikan
manusia dan kebudayaannya sebagai objek kemudian berkembang dan menghasilkan
beberapa cabang ilmu seperti antropologi sosial hingga filologi yang menurutnya
merupakan cabang dari antropologi.[1]
Dengan
keterbukaan tersebut. kajian normatif yang selama ini mengacu kepada teks
terlah mengalami perkembangan dan perubahan. Teks yang telah dimaknai ternyata
dapat berimplikasi pada realitas kehidupan terutama dalam aspek hokum dan kontrol
sosial. Pengaruh ini menunjukkan bahwa agama juga memiliki tempat dalam
realitasnya dan oleh karenanya kajian teks juga harus melihat apa yang ada di
balik teks (beyond the text). Hal ini pula yang menurut Martin Ramsted
juga telah diterapkan yang salah satunya oleh Abdullah Ahmad an-Naim.
.
D.
A Religion-Social-Cultural Text: The
Reception of the Qur’an in Indonesia
Ahmad
Rafiq dalam presentasinya “The Joy
of the Scripture: claiming the past in contemporary reception of the Quran in
Indonesia”” mencoba mengungkapkan nilai sosial kultural yang terdapat dalam teks sebagai salah satu elemen terpenting agama.
al-Qur’an yang lahir dari tradisi Arab hadir ke dalam sebuah tradisi tradisi
baru mengalami pergeseran tradisi yang unik dan mengidentifikasikan dirinya
pada sesuatu yang khas yang berbeda dengan original tradisi asalnya.
Terdapat
tiga resepsi yang menjadi acuan dalam memahami fenomena tersebut. petama adalah
resepsi eksegetis. Kedua adalah resepsi estetis, dan ketiga adalah resepsi
fungsional. Ketiga teori ini semakin mempertajam teori sebelumnya yakni resepsi
hermeneutis, resepsi cultural, dan resepsi estetis.
Mengenai
eksegetis, Jane Dammen McAulife mendefinisikannya sebagai bentuk tafsir atau
upaya interpretasi tekstual. Di luar itu ia membedakan antara eksegesis klasik
dan kontemporer yang telah mempertimabangkan konteks sebagai pembanding makna.
Sedangkan eksegesis yang dikaitkan dengan “resepsi” terhadap al-Qur’an lebih
mengarah pada upaya memahami makna al-Qur’an dan menerimanya dalam kehidupan. Seperti
contoh Muhammad SAW yang mengajarkan hanya sepuluh ayat kepada sahabat dan
tidak menambahkannya sebelum kesepuluh sahabat tersebut menghafal dalam
ingatannya, memahami makananya, dan menerapkan dalam tingkah kesehariannya.
Mengenai
resepsi estetis, al-Qur’an difahami dan diterima sebagai sebuah bentuk
keindahan baik dalam tulisan, suara, dan keruntutan pesan-pesan dan jumlah
bait-baitnya yang rapid an tertata. Hal tersebut sebagaimana rima-rima yang
ritme dan nadanya sama sebagaimana lima ayat pertama surat al-Alaq yang
berakhiran sama dan tertata jumlah nadanya.
Mengenai
resepsi fungsional, contoh yang tepat adalah resepsi terhadap al-Qur’an dalam
fungsi-fungsi tertentu seperti fungsi sosial, psikologis, maupun pengobatan.
Hal tersebut sebagaimana contoh dari ungkapan abu Said al-Khudri yang
menceritakan tentang pengobatan sahabat yang disengat kalajengking dengan
bacaan al-Fatihah.
[1] Martin
Ramsted, the Emergence of a New Field of Study in International Conference and
Graduate Workshop at UIN Sunan Kalijaga University, Yogyakarta, 27
Oktober,2015.
No comments:
Post a Comment