:: Penelusuran Sejarah Studi Islam dari Orientalisme Menuju Kosmopolitanisme
Muhammad Barir, S.Th.I
dipersembahkan kepada :
Ahmad Rafiq, Ph.D
A.
Pendahuluan : Fase Perkembangan Orientalis
Kajian tentang agama terutama yang dilakukan oleh Barat telah
melalui era panjang. Mulai dari kajian Theodore Noldeke hingga pandangan baru
yang dilontarkan Richard C. Matin. Dalam perkembangan dan perubahannya, kajian
barat memunculkan berbagai pendekatan baru yang terus bertransformasi. Kita
dapat memulai memahami munculnya perkembangan ini melalui tiga fase perubahan
yang terjadi dalam dunia Studi Agama di Barat.
Era pertama adalah era kajian Barat yang sejak Peter Venerable pada
1156 yang didominasi oleh kajian agama dengan pendekatan Historisitas. Kitab
dalam tradisi agama mulai dihubungkan dengan realitas sejarah. Dengan
mengesampingkan aspek normativitasnya agama terutama kitab sucinya ditelusuri
sisi originalitasnya (konsepsi origin). Pada era ini terdapat dua jenis kajian
orientalis. Pertama adalah orientalis polemikal dan kedua adalah revisionis.
Kajian polemical menitik beratkan pada upaya mengganti beberapa kesalahan dalam
kitab suci, sedangkan kajian revisionis berusaha mencari tambahan data
penunjang dari beberapa kesalahan dalam kitab suci.
Dari kajian yang pertama ini, bebrapa tokoh yang muncul adalah
Abraham Geiger yang dengan tulisannya what did Muhammad Borrow from Judaism Ia
meragukan otentisitas al-Qur’an. Geiger menguji beberaka konsepsi dan term
al-Qur’an yang ternyata memiliki keterkaitan dengan tradisi Yahudi dan Kristen.
Selain itu beberapa tokoh lainnya juga menguji orisinalitas al-Qur’an dari mana
sumber-sumber rujukannya dan bagaimana Muhamamd merekonstruksi gagasan di
dalamnya. Mulai dari mereduksi, insersi tradisi baru ke dalam tradisi lama,
hingga merekonstruksi ulang dengan tujaun tertentu.
Pada tahap kedua pendekatan historis kritis mulai bergeser.
Perdebatan yang diangkat ke permukaan tidak lagi hanya permasalahan kritik
historis, namun juga kritik isi. Kelelahan ini didasarkan atas asumsi bahwa
kajian sejarah sama sekali tidak produktif sehingga mengakibatkan pelaku
sejarah lupa terhadap isi kandungan kitab suci karena disibukkan dengan upaya
menelusuri otentisitasnya. Dari semangat ini, lahirlah Hermeneutika yang
bertujuan menjadi pendekatan baru dalam melakukan kritik isi kandungan kitab
suci.
Pada perkembangan selanjutnya, dalam tahapan ketiga, cendekia Barat
mulai merasa apa yang ada dalam tradisi terdahulu memiliki sebuah nilai. Nilai
ini pada akhirnya dikaitkan dengan fungsi agama dan kitab suci sebagai sebuah
pembentuk peradaban dan kontrol sosial. Mengingat bahwa agama dan kitab suci
memiliki fungsi dan nilai dalam realitas masyarakat, maka muncullah ilmu
fenomenoloigi di Amerika Utara dalam melihat agama sebagai sesuatu yang
memiliki subjektifitasnya sendiri dan berhak mendefinisikannya sendiri.
Pada tahap ini, diskusi seru terjadi dalam melihat benturan antara
subjektifitas dengan objektifitas. Kebenaran objektif dianggap bermasalah
karena keniscayaan subjektivitas di dunia ini karena semua hal berbeda dan tidak
mungkin sama, begitu juga dengan persepsi yang tentaunya berbeda-beda sesuai
dengan subjeknya. Pada momen inilah muncul istilah bahwa “objektifitas adalah
pandangan subjektif yang dipertemukan dengan pandangan subjektif lainnya hingga
akhirnya disepakati oleh keduanya sebagai subjektifitas bersama. Inilah yang disebut dengan Inter-subjektifitas sebagai pengganti
objektifitas.
B.
Orientalisme dan Islamic Studies Hingga abad ke-21
Melalui masa yang luar biasa dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
yang sangat mendukung, yakni pada tiga dekade terakhir yakni pada akhir abad
ke-20 dan awal abad ke-21, dimana kajian orientalisme diperlukan sebagai upaya
memahami dan mengikuti perkembangan politik dan sosial. Kajian terdahulu para
cendekia Barat yang digolongklan sebagai orientalis tekstual mulai bergeser
kepada orientalis kontekstual. Hal tersebut ditandai dengan masuknya berbagai
pendekatan yang disebut dengan interdisipliner dengan melihat gejala
sosial-saintifik sebagai acuan dalam membangun argument dan teori. Posisi agama
sebagai objek kajian juga mengalami perkembangan hingga membangun dunia agama
dan pemeluknya sebagai civil society yang telah melalui proses trans-regional.
Hal di atas sebagaimana diungkapkan oleh Richard C. Martin dalam
pembukaan bukunya Rethinking Islamic Studies: From Orientalism to
Cosmopolitanism. Ia menyatakan : we have also welcomed the opportunity to
engage with interdisciplinary research, new social-scientific methodologies,
and trans regional approaches to Islamic studies in the contemporary world.[1]
Ungkapan Richard C. Martin ini sekaligus menjadi pembuka gagasan baru tentang
Studi Islam setelah gagasan ini diproklamirkan oleh Charles Adams pada tahun
1967.
Perkembangan yang terakhir di atas, melengkapi napak tilas kajian
agama sebagaimana kajian Islam mulai dari awal ia difahami secara teologis
hingga ia disejajarkan dengan kajian sosial. Terdapat beberapa fase sebagaimana
yang terjadi di Jerman. Pertama adalah Islam yang dijadikan objek kajian
teologis, kedua adalah Islam yang dijadikan kajian budaya yang hanya menjadi
sub kajian dalam taradisi Arab bahkan di beberapa universitas dimasukkan dalam
fakultas bahasa. Ketiga adalah Islam dalam kajian kawasan, hingga kelima, Islam
yang berhubungan dengan penyebaran masyarakat dunia atau dapat diistilahkan dengan gelombang mencari suaka. Di sini, masyarakat muslim mulai
bergerak memasuki berbagai belahan dunia seperti Jerman Rusia, Perancis, dan bebrapa Negara
lainnya.
Islam menyebar dan berbaur dengan tradisi lainnya. Dari sini,
beberapa muslim merubah pola hidupnya mengikuti Negara baru mereka seperti di
Perancis, namun dalam beberapa tempat, muslim tradisionalis berkembang dengan
mempertahankan kultur budaya asal mereka. Fenomena menarik terjadi di Jerman, seiring dengan Turki yang mencoba membangun peradaban baru dengan membangun kekuatan di negara Barat tersebut. Di Jerman muslim diajari agama di sekolahan yang dibangun dan didanai
pemerintah Turki, selain itu praktik tasawuf berkembang dengan guru dan
pengaruh Turki yang begitu kental dalam membangun benteng budaya di dalam
budaya luar. Sebagai upaya menghadapi ini, Jerman melalui Gotinggen University
kemudian mencoba membangun belasan Institut Islam yang diperuntukkan mendidik
guru agama dari Jerman dalam membendung datangnya guru agama dari luar seperti
yang dilakukan Turki.
Saat ini semenjak studi Islam diplokamirkan oleh Charles Adams
empat puluh delapan tahun yang lalu, studi Islam telah jauh berbeda mengikuti
objeknya yang terus bergerak. Sebagai ilustrasi kecil, beberapa program telah
dibuka di Amerika sebanyak 1.200 jurusan hampir semuanya memuat mata kuliyah
tentang Islam. Bahkan American Academy of Religion (AAR) menempatkan studi
Islam sebagai salah satu bidang yang begitu berkembang. Beberapa kalangan
mengaitkan perkembangan studi Islam sebagai sebuah trend adalah terkait dengan peristiwa 9/11. Islam dan muslims society semakin
menarik untuk difahami.
C.
Islam
dan Muslims Society menuju Kosmopolitan
Bruce B. Laurence dalam tulisannya, Competing Genealogies of
Muslim Cosmopolitanism menggambarkan perkembangan Islam dalam menghadapi
perkembangan zaman. Yang menjadi tantangan kemudian adalah mengenai sejauh mana
langkah-langkah dalam memahami Islam secara historis ini dapat diterapkan dan
mengembalikan pandangan para orientalis yang sebelumnya mengambil persepsi
opposisi untuk paling tidak menuju sikap tengah—untuk tidak menyebut sikap
koalisi.
Terdapat beberapa hal yang dapat diuji dari tradisi Islam, baik
dari banuskrip dan pewahyuan, ritual dan komunitas, keagamaan dan
kemasyarakatan, hingga sisi kesarjanaan dan interpretasi terhadap isu-isu krisial
yang terus terjadi. Hal-hal tersebut menggambarkan cakupan studi yang cukup
luas dan cakupan ini akan terus berkembang. Salah satu tokoh yang memperhatikan
dengan simpati terhadap Islam sebagai kajian yang cukup luas dan memiliki
realitas tradisi yang terus berkembang adalah Marshal Hodgson melalui magnum
opusnya the Venture of Islam: Conscience and History in a World
Civilization.
Selain Hodgson, tokoh lainnya datang dari dunia muslim sendiri
yakni Fazlur Rahman. Ia menulis sebuah buku yang merepresentasikan pandangan
masa depan Islam yakni “Islam and Modernity”. Rahman menyampaikan sketsa
baru dalam melihat Islam, yakni dengan merangkul berbagai pendekatan. Ia
mengajak untuk melebarkan kajian Islam kedalam sudut pandang yang lebih luas.
Pandangan rahman inilah yang kemudian dikenal dengan pendekatan
inter-disipliner (inter-disciplinary approach). Apa yang
dilakukan Rahman ini menjadi masukan penting dalam mengembangkan aspek
meodologis kajian Islam dengan tidak hanya mengkaji Islam melalui satu disiplin
ilmu tertentu, namun melihatnya dengan beberapa disiplin ilmu dalam membangun
kerangka yang lebih komprehensif.
Dengan kerangka tersebut, Islam tamaddun sebagaimana yang jauh
berabad-abad lalu telah didengungkan oleh Ibn Khaldun mulai dapat
mengambil bagian dalam perkembangan dunia. Bruce B. Laurence menyatakan bahwa
Islam mampu menempatkan diri dalam perkembangan dan perubahan (dynamic and
changing) tidak dari sudutpandangnya sendiri, namun juga melalui
kehadirannya di Barat, Ikut serta di meja akademis, politik, bergerak melalui
media masa, ikut membangun perekonomian[2],
dan menggunakan berbagai element kemajuan dalam mengaktualisasikan diri.
Semakin hari Islam dan Masyarakat muslim hadir dan
mengidentifikasikan dirinya ke dalam dunia yang lebih luas. Hal tersebut dapat
dijelaskan melalui beberapa isu yang berkembang di dalam masyarakat muslim
seperti liberalisme, multikulturalisme, dan kosmopolitanisme. Carl Ernst
mengemukakan bahkan Indonesia dengan pancasilanya dan Malaysia dengan
masyarakat madaninya telah menjadi contoh perkembangan Islam di belahan dunia
yang lain. Islam berkembang dengan dukungan masyarakat bawah, kuatnya
kepemimpinan, dan dalam semangat para aktivisnya yang membentuk gerakan
Islamisis.
Bruce B. Laurence menyatakan, bahwa sebagai gerakan cosmopolitan,
masyarakat muslim telah berkembang, tahu cara membawa diri dalam masyarakat
multikultural. Ia dapat berada sebagai multiple identities dapat hidup
mengikuti dinamika dan pergerakan karakter berbagai kelompok dan sangat
responsif terhadapa arah yang lebih maju. Islam dan masyarakat muslim
kosmopolitan masa depan membuka pintu bagi dirinya untuk menjadi sebuah
peradaban besar seiring dengan keberhasilan kebudayaan baru di masa mendatang.
[1] Richard C.
Martin and Carl W. Ernst, Rethinking Islamic Studies: From Orientalism to
Cosmopolitanism (Carolina: University of South Carolina Press, 2010), hlm.
ix.
[2]
Seperti
Muhammad Yunus yang mendapat noble pada tahun 2006 berkat program Grameen Bank.
Bencana alam yang melanda Bangladesh pada 1976 melumpuhkan hampir keseluruhan
gerak perekonomian Bangladesh. Kemiskinan dan kelaparan membuat Mahmud Yunus
berinisiatif menghidupkan kembali gerak ekonomi. Satu-satunya jalan ialah
dengan memberikan modal pada rakyat. Dana besar dipinjam dari National Bank of
Bangladesh dan akhirnya modal ini ia gerakkan dalam skala kecil di beberapa
desa dan menjadikannya desa percontohan. Monitoring kemajuan dan dorongan yang
terus-menerus dilakukan dengan sabar pada akhirnya membuat Bangladesh keluar
dari kelumpuhan ekonomi dan Grameen Bank saat ini menjadi penyokong dana
terbesar kedua setelah import sutera.
No comments:
Post a Comment