Monday, November 9, 2015

Masyarakat Islam dan Identitas Kosmopolitan



:: Penelusuran Sejarah Studi Islam dari Orientalisme Menuju Kosmopolitanisme

Muhammad Barir, S.Th.I

dipersembahkan kepada :
Ahmad Rafiq, Ph.D
 
A.  Pendahuluan : Fase Perkembangan Orientalis
Kajian tentang agama terutama yang dilakukan oleh Barat telah melalui era panjang. Mulai dari kajian Theodore Noldeke hingga pandangan baru yang dilontarkan Richard C. Matin. Dalam perkembangan dan perubahannya, kajian barat memunculkan berbagai pendekatan baru yang terus bertransformasi. Kita dapat memulai memahami munculnya perkembangan ini melalui tiga fase perubahan yang terjadi dalam dunia Studi Agama di Barat.
Era pertama adalah era kajian Barat yang sejak Peter Venerable pada 1156 yang didominasi oleh kajian agama dengan pendekatan Historisitas. Kitab dalam tradisi agama mulai dihubungkan dengan realitas sejarah. Dengan mengesampingkan aspek normativitasnya agama terutama kitab sucinya ditelusuri sisi originalitasnya (konsepsi origin). Pada era ini terdapat dua jenis kajian orientalis. Pertama adalah orientalis polemikal dan kedua adalah revisionis. Kajian polemical menitik beratkan pada upaya mengganti beberapa kesalahan dalam kitab suci, sedangkan kajian revisionis berusaha mencari tambahan data penunjang dari beberapa kesalahan dalam kitab suci.
Dari kajian yang pertama ini, bebrapa tokoh yang muncul adalah Abraham Geiger yang dengan tulisannya what did Muhammad Borrow from Judaism Ia meragukan otentisitas al-Qur’an. Geiger menguji beberaka konsepsi dan term al-Qur’an yang ternyata memiliki keterkaitan dengan tradisi Yahudi dan Kristen. Selain itu beberapa tokoh lainnya juga menguji orisinalitas al-Qur’an dari mana sumber-sumber rujukannya dan bagaimana Muhamamd merekonstruksi gagasan di dalamnya. Mulai dari mereduksi, insersi tradisi baru ke dalam tradisi lama, hingga merekonstruksi ulang dengan tujaun tertentu.
Pada tahap kedua pendekatan historis kritis mulai bergeser. Perdebatan yang diangkat ke permukaan tidak lagi hanya permasalahan kritik historis, namun juga kritik isi. Kelelahan ini didasarkan atas asumsi bahwa kajian sejarah sama sekali tidak produktif sehingga mengakibatkan pelaku sejarah lupa terhadap isi kandungan kitab suci karena disibukkan dengan upaya menelusuri otentisitasnya. Dari semangat ini, lahirlah Hermeneutika yang bertujuan menjadi pendekatan baru dalam melakukan kritik isi kandungan kitab suci.
Pada perkembangan selanjutnya, dalam tahapan ketiga, cendekia Barat mulai merasa apa yang ada dalam tradisi terdahulu memiliki sebuah nilai. Nilai ini pada akhirnya dikaitkan dengan fungsi agama dan kitab suci sebagai sebuah pembentuk peradaban dan kontrol sosial. Mengingat bahwa agama dan kitab suci memiliki fungsi dan nilai dalam realitas masyarakat, maka muncullah ilmu fenomenoloigi di Amerika Utara dalam melihat agama sebagai sesuatu yang memiliki subjektifitasnya sendiri dan berhak mendefinisikannya sendiri.
Pada tahap ini, diskusi seru terjadi dalam melihat benturan antara subjektifitas dengan objektifitas. Kebenaran objektif dianggap bermasalah karena keniscayaan subjektivitas di dunia ini karena semua hal berbeda dan tidak mungkin sama, begitu juga dengan persepsi yang tentaunya berbeda-beda sesuai dengan subjeknya. Pada momen inilah muncul istilah bahwa “objektifitas adalah pandangan subjektif yang dipertemukan dengan pandangan subjektif lainnya hingga akhirnya disepakati oleh keduanya sebagai subjektifitas bersama. Inilah yang disebut dengan Inter-subjektifitas sebagai pengganti objektifitas.

B.  Orientalisme dan Islamic Studies Hingga abad ke-21
Melalui masa yang luar biasa dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang sangat mendukung, yakni pada tiga dekade terakhir yakni pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, dimana kajian orientalisme diperlukan sebagai upaya memahami dan mengikuti perkembangan politik dan sosial. Kajian terdahulu para cendekia Barat yang digolongklan sebagai orientalis tekstual mulai bergeser kepada orientalis kontekstual. Hal tersebut ditandai dengan masuknya berbagai pendekatan yang disebut dengan interdisipliner dengan melihat gejala sosial-saintifik sebagai acuan dalam membangun argument dan teori. Posisi agama sebagai objek kajian juga mengalami perkembangan hingga membangun dunia agama dan pemeluknya sebagai civil society yang telah melalui proses trans-regional.
Hal di atas sebagaimana diungkapkan oleh Richard C. Martin dalam pembukaan bukunya Rethinking Islamic Studies: From Orientalism to Cosmopolitanism. Ia menyatakan : we have also welcomed the opportunity to engage with interdisciplinary research, new social-scientific methodologies, and trans regional approaches to Islamic studies in the contemporary world.[1] Ungkapan Richard C. Martin ini sekaligus menjadi pembuka gagasan baru tentang Studi Islam setelah gagasan ini diproklamirkan oleh Charles Adams pada tahun 1967.  
Perkembangan yang terakhir di atas, melengkapi napak tilas kajian agama sebagaimana kajian Islam mulai dari awal ia difahami secara teologis hingga ia disejajarkan dengan kajian sosial. Terdapat beberapa fase sebagaimana yang terjadi di Jerman. Pertama adalah Islam yang dijadikan objek kajian teologis, kedua adalah Islam yang dijadikan kajian budaya yang hanya menjadi sub kajian dalam taradisi Arab bahkan di beberapa universitas dimasukkan dalam fakultas bahasa. Ketiga adalah Islam dalam kajian kawasan, hingga kelima, Islam yang berhubungan dengan penyebaran masyarakat dunia atau dapat diistilahkan dengan gelombang mencari suaka. Di sini, masyarakat muslim mulai bergerak memasuki berbagai belahan dunia seperti Jerman Rusia, Perancis, dan bebrapa Negara lainnya.
Islam menyebar dan berbaur dengan tradisi lainnya. Dari sini, beberapa muslim merubah pola hidupnya mengikuti Negara baru mereka seperti di Perancis, namun dalam beberapa tempat, muslim tradisionalis berkembang dengan mempertahankan kultur budaya asal mereka. Fenomena menarik terjadi di Jerman, seiring dengan Turki yang mencoba membangun peradaban baru dengan membangun kekuatan di negara Barat tersebut. Di Jerman muslim diajari agama di sekolahan yang dibangun dan didanai pemerintah Turki, selain itu praktik tasawuf berkembang dengan guru dan pengaruh Turki yang begitu kental dalam membangun benteng budaya di dalam budaya luar. Sebagai upaya menghadapi ini, Jerman melalui Gotinggen University kemudian mencoba membangun belasan Institut Islam yang diperuntukkan mendidik guru agama dari Jerman dalam membendung datangnya guru agama dari luar seperti yang dilakukan Turki.
Saat ini semenjak studi Islam diplokamirkan oleh Charles Adams empat puluh delapan tahun yang lalu, studi Islam telah jauh berbeda mengikuti objeknya yang terus bergerak. Sebagai ilustrasi kecil, beberapa program telah dibuka di Amerika sebanyak 1.200 jurusan hampir semuanya memuat mata kuliyah tentang Islam. Bahkan American Academy of Religion (AAR) menempatkan studi Islam sebagai salah satu bidang yang begitu berkembang. Beberapa kalangan mengaitkan perkembangan studi Islam sebagai sebuah trend adalah terkait dengan peristiwa 9/11. Islam dan muslims society semakin menarik untuk difahami.

C.     Islam dan Muslims Society menuju Kosmopolitan      
Bruce B. Laurence dalam tulisannya, Competing Genealogies of Muslim Cosmopolitanism menggambarkan perkembangan Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Yang menjadi tantangan kemudian adalah mengenai sejauh mana langkah-langkah dalam memahami Islam secara historis ini dapat diterapkan dan mengembalikan pandangan para orientalis yang sebelumnya mengambil persepsi opposisi untuk paling tidak menuju sikap tengah—untuk tidak menyebut sikap koalisi.
Terdapat beberapa hal yang dapat diuji dari tradisi Islam, baik dari banuskrip dan pewahyuan, ritual dan komunitas, keagamaan dan kemasyarakatan, hingga sisi kesarjanaan dan interpretasi terhadap isu-isu krisial yang terus terjadi. Hal-hal tersebut menggambarkan cakupan studi yang cukup luas dan cakupan ini akan terus berkembang. Salah satu tokoh yang memperhatikan dengan simpati terhadap Islam sebagai kajian yang cukup luas dan memiliki realitas tradisi yang terus berkembang adalah Marshal Hodgson melalui magnum opusnya the Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization.
Selain Hodgson, tokoh lainnya datang dari dunia muslim sendiri yakni Fazlur Rahman. Ia menulis sebuah buku yang merepresentasikan pandangan masa depan Islam yakni “Islam and Modernity”. Rahman menyampaikan sketsa baru dalam melihat Islam, yakni dengan merangkul berbagai pendekatan. Ia mengajak untuk melebarkan kajian Islam kedalam sudut pandang yang lebih luas. Pandangan rahman inilah yang kemudian dikenal dengan pendekatan inter-disipliner (inter-disciplinary approach). Apa yang dilakukan Rahman ini menjadi masukan penting dalam mengembangkan aspek meodologis kajian Islam dengan tidak hanya mengkaji Islam melalui satu disiplin ilmu tertentu, namun melihatnya dengan beberapa disiplin ilmu dalam membangun kerangka yang lebih komprehensif.    
Dengan kerangka tersebut, Islam tamaddun sebagaimana yang jauh berabad-abad lalu telah didengungkan oleh Ibn Khaldun mulai dapat mengambil bagian dalam perkembangan dunia. Bruce B. Laurence menyatakan bahwa Islam mampu menempatkan diri dalam perkembangan dan perubahan (dynamic and changing) tidak dari sudutpandangnya sendiri, namun juga melalui kehadirannya di Barat, Ikut serta di meja akademis, politik, bergerak melalui media masa, ikut membangun perekonomian[2], dan menggunakan berbagai element kemajuan dalam mengaktualisasikan diri.
Semakin hari Islam dan Masyarakat muslim hadir dan mengidentifikasikan dirinya ke dalam dunia yang lebih luas. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa isu yang berkembang di dalam masyarakat muslim seperti liberalisme, multikulturalisme, dan kosmopolitanisme. Carl Ernst mengemukakan bahkan Indonesia dengan pancasilanya dan Malaysia dengan masyarakat madaninya telah menjadi contoh perkembangan Islam di belahan dunia yang lain. Islam berkembang dengan dukungan masyarakat bawah, kuatnya kepemimpinan, dan dalam semangat para aktivisnya yang membentuk gerakan Islamisis.
Bruce B. Laurence menyatakan, bahwa sebagai gerakan cosmopolitan, masyarakat muslim telah berkembang, tahu cara membawa diri dalam masyarakat multikultural. Ia dapat berada sebagai multiple identities dapat hidup mengikuti dinamika dan pergerakan karakter berbagai kelompok dan sangat responsif terhadapa arah yang lebih maju. Islam dan masyarakat muslim kosmopolitan masa depan membuka pintu bagi dirinya untuk menjadi sebuah peradaban besar seiring dengan keberhasilan kebudayaan baru di masa mendatang.


[1] Richard C. Martin and Carl W. Ernst, Rethinking Islamic Studies: From Orientalism to Cosmopolitanism (Carolina: University of South Carolina Press, 2010), hlm. ix.
[2] Seperti Muhammad Yunus yang mendapat noble pada tahun 2006 berkat program Grameen Bank. Bencana alam yang melanda Bangladesh pada 1976 melumpuhkan hampir keseluruhan gerak perekonomian Bangladesh. Kemiskinan dan kelaparan membuat Mahmud Yunus berinisiatif menghidupkan kembali gerak ekonomi. Satu-satunya jalan ialah dengan memberikan modal pada rakyat. Dana besar dipinjam dari National Bank of Bangladesh dan akhirnya modal ini ia gerakkan dalam skala kecil di beberapa desa dan menjadikannya desa percontohan. Monitoring kemajuan dan dorongan yang terus-menerus dilakukan dengan sabar pada akhirnya membuat Bangladesh keluar dari kelumpuhan ekonomi dan Grameen Bank saat ini menjadi penyokong dana terbesar kedua setelah import sutera.

No comments:

Post a Comment