Oleh : Muhammad Barir, S.Th.I :
1420510012
Dipersembahkan kepada : Ahmad Rafiq, Ph.D.
Studi al-Qur’an dan Hadis
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yoryakarta,
2015
Dipersembahkan kepada : Ahmad Rafiq, Ph.D.
Studi al-Qur’an dan Hadis
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yoryakarta,
2015
A.
Otentisitas al-Qur’an
Kajian serius yang dilakukan oleh sarjana Barat atas Islam dan
kitab sucinya membawa cendekiawan muslim dalam sebuah persoalan yang dilematis.
Persoalan yang selama ini tidak diperhatikan secara serius oleh sarjana Islam
sendiri kembali diuji. Problematika ini terletak di aspek historisitas kenabian
Muhamamd SAW dan otentisitas al-Qur’an, kronologi, beserta ide dasar yang
membangunnya. Kedua hal tersebutlah yang selama ini menjadi sasaran empuk para
orientalis yang memulai pandangannya melalui kajian historis.
Orientalis beranggapan, sebagai sebuah teks tertulis, mushaf
al-Qur’an tentunya memiliki rujukan atau sumber-sumber asal yang membangun
konsep di dalamnya. Berangkat dari pertanyaan tersebutlah muncul nama Taurat (Yahudi)
dan Injil (Kristen) yang diasumsikan merupakan sumber rujukan al-Qur’an.
Tuduhan ini bukan tanpa alasan. Di antara cabang yang menjadi tema pokok
al-Qur’an berupa konsep eskatologis, kisah-kisah, dan hukum yurisprudensi
dinilai sangat mirip bahkan sama persis dalam bebrapa term tertentu dengan
konsep yang sebelumnya telah terpakai dalam kitab Yahudi. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Abraham Geiger selain tokoh Jerman abad ke-19, Theodor Noldeke.
Mengenai persoalan sumber rujukan al-Qur’an, Nabi Muhammad dianggap
merupakan sosok sentral yang berperan dalam merangkum ajaran kitab terdahulu,
menyaringnya, dan merekonstruksi ulang sebelum diproklamirkan sebagai suara
Tuhan. Status kenabian menjadi gelar yang melegitimasi dan memberikan otoritas
Nabi Muhammad untuk menyatakan bahwa konsep yang dibawanya adalah wahyu yang
orisinil berasal dari Tuhan. Dengan hak prerogatif ini, umat Islam kemudian
melupakan kesempatan untuk bertanya darimana sumber rujukan al-Qur’an berasal
dan secara taken for granted mengamini bahwa al-Qur’am merupakan Kalam Tuhan.
Secara otomatis, dengan demikian umat Islam telah menghilangkan sisi
historisitas al-Qur’an.
Sedangkan, dari sisi lain, para outsider memahami hal ini
sebagai sebuah penyimpangan. Islam dianggap sebagai bid’ah dari Yahudi. Islam
hanya sebuah derivasi konsep-konsep Yahudi dan al-Qur’an adalah bentuk
konspirasi Muhammad. Sosok yang memiliki intelektualitas tinggi. Penyandangan
Muhammad SAW dengan julukan Ummy sering disalah pahami, bahkan secara
mayoritas. Term ummy bukan merupakan lawan dari buta huruf, namun
setelah menelusuri berabagai literature Arab, Noldeke menyimpulkan bahwa kata
tersebut merupakan lawan dari Ahl Kitab yang memiliki arti “buta atau tidak
mengenal Kitab terdahulu”. Hal tersebut juga disiratkan dalam al-Qur’an surat
al-Ankabut ayat 48.
Kecurigaan bahwa Muhammad SAW mengadopsi ajaran Yahudi dari konsep
teologis hingga tatra cara liturgi, dapat dilihat dari lingkungan kehidupan
nabi. Nabi pernah hidup berdampingan dengan pemuka nasrani. Pertama adalah
Waraqah bin Naufal yang merupakan sepupu Khadijah yang bersama Nabi selama 15
tahun sebelum diutusnya Muhamamd. Kedua adalah sosok Buhairah yang bertemu saat
Nabi bersama Abu Thalib (pamannya) pergi berdagang ke Syam.
Salah satu contoh yang diberikan oleh Noldeke adalah lafaz syahadat
yang mengadopsi kitab Samoel II: 32,22 : Mazmur 18, 32. Selain itu, pembuka
basmalah yang dibaca dalam setiap melakukan sesuatu juga diyakininya merupakan
adopsi dari kebiasaan orang Yahudi. Selain itu term furqon yang difahami
oleh Yahudi sebagai penebusan (redemption) juga diadopsi dan disalah
artikan. Noldeke menyatakan bahwa Nabi Muhammad salah mengadopsi kisah Haman
yang dianggap sebagai menteri Firaun. Padahal Hamman adalah menteri dari
Ahasuerus.
B.
Pandangan Geoiger tentang Strategi politis Muhammad SAW
Jika meruntut sejarah keilmuan al-Qur’an, Abid al-Jabiri dalam Madkhal
Ila al-Qur’an juga memberikan komentar bahwa ke-ummi-an Nabi
Muhammad mengarahkan kepada makna ketidaktahuan tentang kitab klasik atau lebih
tepat diistilahkan “tidak pernah membaca” kitab Taurat dan Injil. Hanya saja,
Theodor Noldeke menyertakan kritikan bahwa meski tidak pernah membaca kitab
klasik, namun Nabi mencoba memaksakan pencantuman konsep Yahudi. Konsekwensi
dari hal ini adalah kesalahan beberapa konsep.
Meski secara tajam mengkritisi al-Qur’an, pernyataan Theodor
Noldeke bukan tanpa celah. Pandangan Noldeke terhadap konsep Nasikh dan Mansukh
dalam al’Qur’an terkesan terlalu sempit. Ia beranggapan bahwa Nasihk dan
Mansukh merupakan ketidak konsistenan alur berfikir Nabi Muhammad. Sebaliknya,
Nasikh Mansukh merupakan kecerdikan politis Nabi Muhammad dalam meraih hati
masyarakat Arab. seiring berlakunya Nasikh dan Mansukh secara tidak langsung
berlaku pula tahapan dalam merubah pola budaya dalam transmisi tradisi bangsa
Arab. Seperti upaya Nabi dalam menghapus tradisi mabuk-mabukan. Gambaran
strategi politis Muhammad dalam menggenggam hati masyarakat Arab bisa
digambarkan dalam tiga tahapan berikut:
Tahap I,
legalisasi –
menunjukkan dampak positif dan negatif dari arak (al-baqarah: 219).
menunjukkan dampak positif dan negatif dari arak (al-baqarah: 219).
Tahap II,
reduksi -
minum arak dilarang ketika mau melaksanakan shalat (an-Nisa’: 4).
minum arak dilarang ketika mau melaksanakan shalat (an-Nisa’: 4).
Tahap III,
Insersi –
tradisi anti arak disisipkan dalam tradisi Arab (al-Maidah: 5).
tradisi anti arak disisipkan dalam tradisi Arab (al-Maidah: 5).
bentuk baru – Islam menciptakan
tradisi baru
Contoh di atas tidak menunjukkan penghapusan ayat terhadap ayat
yang lain, namun penghapusan hokum terhadap hokum yang terkandung pada ayat
lain. Seolah hukum ayat pertama dihapus oleh hukum ayat kedua, dan huklum ayat
kedua dihapus oleh hukum ayat pertama. Sebenarnya yang terjadi tidaklah
demikian. Perlu ditekankan di sini bahwa tidak ada suatu penghapusan. Kapanpun
strategi ini diperlukan, maka ayat ini akan memberikan konsep strategi dalam
transmisi kebudayaan yang meliputi legalisasi, reduksi, insersi, dan akhirnya
menciptakan wujud baru dari tradisi. Pertama Nabi seolah melegalkan minum arak.
Kedua nabi membatasi tradisi minum arak dengan mengecualikan saat menjelang
solat. Ketiga, Nabi memasukkan pelarangan secara total.
.
No comments:
Post a Comment