Memahami Bahasa Agama Ala Cak Nur
Muhammad Barir Irfanie, S.Th.I
Dipersembahkan kepada:
Prof.
Dr. Muhammad Chirzin
A.
Biografi Nurcholish Madjid
Tanah lahir Nurcholish Madjid adalah
Jombang. Konteks kultural bisa dilihat dari nama Jombang yang diyakini menggambarkan
karakter dari tradisi asimilatif daerah bekas wilayah kekuasaan Majapahit. Jombang sering
diidentikkan dengan kepanjangan dari ijo-abang = Jombang. Ijo melambangkan
Islam santri sedangkan abang melambangkan islam abangan yang kemudian
diidentikan pada era kemudian degan Islam nasionalis. Islam yang menyebar dari
pesisir pantai utara melalui bengawan solo dan jalur darat membuat Jombang saat
ini 80 % beragama Islam. Namun, Islam belum dapat merubah kuatnya tradisi
Hindu-Budha yang ditinggalkan oleh Majapahit. Saat ini, beberapa candi masih
bisa dijumpai di Jombang. Hal tersebut tidak mustahil mengingat kota
tetangganya, yakni Kediri merupakan salah satu basis kekuatan Majapahit yang
runtuh pada abad ke-16.
Cak Nur lahir pada tanggal 17 Maret
1939 dengan nama Abdul Malik. Nama kecil ini kemudian diganti oleh orang tuanya
karena iba melihat anaknya sering sakit-sakitan. Tradisi kepercayaan masyarakat
Jombang saat itu memang mempercayai bahwa anak yang sring sakit itu akibat dari
ketidak kuatan menyandang nama yang terlalu bagus. Ayah Cak Nur yang bernama
Abdul Madjid merupakan santri kesayangan hadratus syaikh Hasyim Asy’ari
yang sering mendampingi beliau saat bepergian, memijatnya ketika kelelahan, dan
menjadi kepanjangan dari keilmuan beliau di masyarakat.
Nuscholish Madjid kecil merupakan
anak yang menonjol di antara teman-temannya. Hal yang sering ia lakukan adalah
bermain menyusuri sawah dan membuat saluran air. Ia juga suka membuat
pesawat-pesawatan. Pernah ia membuat tiga mainan pesawat model jepang yang
dibuat dalam bentuk kecil, pesawat Jerman yang dibuat berukuran sedang, dan
pesawat Amerika yang dibuat dengan ukuran besar. Saat melintasi rel kereta Api
yang ada di Jombang, ia kemudian menjadi kagum dengan masinisnya dan
bercita-cita kelak akan menjadi masinis. Pulang bermain ia menuju sungai,
menaruh semacam penjerat ikan pada sore hari dan mengambil hasil tangkapannya
pada esok sehabis subuh.
Di tengah kebanyakan teman-temannya,
Nurcholish Madjid merupakan anak yang pendiam, namun cukup perhatian dengan
teman-temannya. Ia biasa bersandar dibawah rerimbunan pohon sambil mengeluarkan
lembaran catatan sekolah. Saat temannya mendekat ia kemudian menanyai temannya
satu-per satu tentang suatu hal dan terkadang mengoreksi jawaban mereka untuk
dibenarkan. Kepribadian seperti inilah yang pada gilirannya mengantarkan karir
pendidikannya dan berhasil lulus Pesantren Gontor, Ponorogo pada tahun 1960.
Perguruan tingginya dijalani di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Fakultas
Sastra dan Kebudayaan lulus tahun 1968. Gelar doktor diperolehnya pada tahun
1984 di Chicago University USA dengan disertasi berjudul Ibn Taymiyya on
Kalam and Falasifa.
Pengalaman organisasinya dilalui di
HMI dan sempat menjadi ketua umum dua periode pada 1967 hingga 1971. Selain itu
ia juga pernah ikut dalam IIFSO (International Islamic Federation of
Students Organisation) yang pada organisasi mahasiswa internasional
tersebut, Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid) menjabat sebagai Wakil
Sekjen. Beberapa jabatan dalam karir yang pernah dilaluinya adalah Pimpinan
Umum Majalah Mimbar Jakarta (1971-1974); Direktur LSIK Jakarta (1974-1976);
Direktur Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi Jakarta (1974-1992); Fellow dalam
Eisenhover Fellowship (1990). Dikukuhkan sebagai profesor dan guru besar IAIN
Jakarta (1998), serta ahli Penelitian Utama (APU) LIPI pada 1999. Nurcholish
Madjid juga berjasa dalam mendirikan yayasan wakaf PARAMADINA.
Nurcholish Madjid juga dikenal
kemudian menanamkan ideologi dalam paramadina yang berasal dari parama
(bahasa sangsekerta yang berarti mengutamakan dalam inggis prime)
ditambah dina> agama kita yang
jika disatukan bermakna mengutamakan agama kita. Dalam bahasa yunani term para
bermakna mendukung dan Madina terambil dari kota dan konsep peradaban. Dari
sini muncul pula beberapa organisasi yang kemudioan menjadi penerbit seperti
dua NGO besar yakni LP3ES yang berdiri 1971 dan LKiS di Yogyakarta yang berdiri
pada 1989.
Nama Cak Nur semakin besar dan
membuat kedutaan Amerika Serikat mengundangnya untuk mengikuti kegiatan Council
for Leaders and Specialist (CLS) pada tahun 1968. Selama dua bulan ia
belajar, mengamati, dan memahami tradisi dan kemajuan yang dialami Barat.
Pandangannya tentang Amerika yang sebelumnya dijauhinya ternyata berubah
seketika. Ia berubah merasa kagum dengan prestasi dan kemajuan dibidang ide
humanism, keilmuan, kedisiplinan, dan capaian teknologinnya. Di sinilah salah
satu titik perubahan pemikiran Nurcholish Madjid yang kemudian ingin juga
melihat apa yang dicapai oleh Barat juga bisa dicapai oleh Islam.
Bertolak dari
Amerika, perjalanan Cak Nur kemudian berlanjut ke Perancis, Turki, Lebanon, dan
Saudi Arabia. Kedatangan di tempat terakhir ini merupakan undangan langsung
oleh raja Faisal pada 1969. Ia kemudian sekaligus menunaikan ibadah haji dan
pulang kembali ke tanah Air dengan ide dan pandangan yang telah berubah. Sekularisme
yang dulu ia permasalahkan malah kemudian ingin ia terapkan, namun ia kesulitan
melakukan hal ini karena tentu akan ditentang bahkan oleh sahabat-sahabatnya
sendiri di organisasi. Hal ini ia sadari betul dan hal ini pula yang terus menggejolak
dalam hatinya.
Benar saja,
sekembalinya ke tanah air, ia diserang dengan kritik trajam dari berbagai pihak
seperti kritik dari Rasjidi. Namun secara gradual, banyak tokoh yang sejalan
dengannya seperti Ahmad Wahib dari kalangan muda, Harun Nasution dari
akademisi, dan Munawwir Sjadzali. Dari kubu akademisi gagasan Cak Nur kemudian
mendapat simpati yang luar biasa dengan munculnya Harun Nasution mempengaruhi
pemikiran beberapa anak muda seperti Djohan Efendi, Azyumardi Azra, Kamaruddin
Hidayat, dan Syafii Anwar.
Dalam perjalanan intelektualitasnya,
Cak Nur mengisi banyak kertas dengan penanya dan di antara karya-karyanya masih
dibaca hingga sekarang. Di antara kerya-karya tersebut adalah “Islam Doktrin
dan Peradaban”, “Pintu-Pintu Menuju Tuhan”, “Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, “Islam Agama Kemanusiaan”, “Ibn Taymiyya on Kalam and
Falasifa” dan lain sebagainya. Salah satu karya yang terkenal ialah
pidatonya pada 1970 yang menandakan awal gagasan sekularisasi di Indonesia.
pidato tersebut sebenarnya mengarahkan pada dua isu. Pertama adalah
sekularisasi dan kedua adalah liberalisasi.
Berkembangnya liberalisasi pemikiran
baru nampak kemudian pada awal abad 21, dengan lahirnya kelompok ”Jaringan
Islam Liberal” yang digagas oleh Luthfi Assyaukanie, walaupun yang menonjol
adalah Ulil Abshar-Abdalla. Pokok-pokok pemikiran Islam liberal itu dirumuskan
secara gamblang oleh Ulil dalam tulisannya yang sangat provokatif di harian
Kompas, tanggal 2 Nopember 2002. Namun sebenarnya, kelompok ini telah
melancarkan wacana yang diikuti oleh banyak tokoh muda melalui on-line dan
kemudian diterbitkan ke dalam buku berjudul Wajah Islam Liberal di Indonesia.
Anehnya, isu yang paling mengemuka bukanlah aliran liberalisme, melainkan
sekularisme. Di balik munculnya kelompok ini sebenarnya adalah Abdurrahman Wahid,
sehingga para pendukung aliran Islam liberal ini adalah kalangan muda NU.
Sekalipun demikian, sejumlah anak-anak muda NU ini ada yang mencoba meluruskan
paham liberal ini, dengan mengkaitkannya de ngan ajaran Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah, sehingga melahirkan aliran yang mereka sebut
Post-tradisionalisme yang secara paksa dinisbahkan dengan pemikiran Mohammed
Abied al-Jabiri, pemikir Muslim garda depan Maroko yang nasionalis
Arabis-Maghrib.
Ternyata secara diam-diam, yang
berkembang adalah justru konsep liberalisasi pemikiran yang karena itu tidak
memperoleh reaksi terbuka. Pada tahun 1992, sekali lagi Nurcholish Madjid
mendapat kesempatan untuk melakukan orasi kebudayaan melalui forum Taman Ismail
Marzuki. Ketika itulah lahir pemikiran mengenai pluralisme yang ditandai dengan
gejala lahirnya spiritualisme melawan agama terlembaga. Gagasan inipun mendapat
reaksi keras, yang melahirkan laporan bernada fitnah yang mengatakan bahwa
Nurcholish Madjid seolah-olah mengeluarkan semboyan baru ”spiritualitas, yes,
agama, no”. Padahal Nurcholish Madjid justru mengkritik kecenderungan
spiritualitas di AS yang banyak melahirkan aliran-aliran sesat itu.
Dengan lahirnya kelompok Islam
liberal ini maka terwujudlah visi Nurcholish Madjid tahun 1970 yang mendambakan
lahirnya kelompok muda Muslim yang berpaham liberal. Hanya saja kaum muda
liberal ini bercabang dua, seperti juga digambarkan secara panjang lebar oleh
Budhy dalam buku ini. Pertama, yang menitik-beratkan pada gerakan
pemikiran. Kedua, adalah kelompok yang dilatar-belakangi oleh gerakan
LSM yang melahirkan kelompok-kelompok yang disebut Budhy sebagai ”Islam
Progresif”. Kelompok ini lebih menitik-beratkan pada perubahan-perubahan sosial
di tingkat masyarakat. Namun aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok
ortodoks-fundamentalis, yang dipicu oleh fatwa MUI mengarah kepada aksi-aksi
kekerasan terhadap aliran-aliran keagamaan atau spiritual yang dianggap sesat
dan kelompok Kristen yang dianggap mendirikan rumah-rumah ibadah liar, sehingga
memunculkan isu-isu kebebasan beragama, berkeyakinan dan menjalankan ibadah
yang merupakan pelanggaran terhadap pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Menghadapi isu
tersebut, timbul aliansi-aliansi yang dipelopori oleh aktivis Islam Progresif,
misalnya Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) dari kalangan genarasi muda
Muhammadiyah yang tidak mendapat restu dari PP. Muhammadiyah sendiri.
Dengan demikian, maka paradigma baru
pembaruan sebenarnya adalah reaktualisasi dari wacana yang sudah muncul sebelum
memasuki abad ke 20 dan menguat setelahnya hingga melahirkan polemik di
permukaan terutama saat pencetusan fatwa MUI 2005 mengenai pengharaman
liberalisme, sekularisme dan pluralisme itu. Berlangsungnya aksi-aksi kekerasan
yang memuncak pada peristiwa penyerangan yang di pimpin oleh kelompok Front
Pembela Islam (FPI) terhadap acara yang diselenggaran oleh AKKBB (Aliansi untuk
Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan) di Tugu Monas, 1 Juni 2008 lalu
sebenarnya adalah akibat dari tidak adanya tindakan tegas dari Pemerintah untuk
melindungi kebebasan beragama. Bahkan negara ikut serta dalam pelanggaran
hak-hak asasi manusia dengan menghukum Lia Eden dan Mohammad Abdurrahman dari
Kelompok Eden, dan Yusman Roy atas tuduhan penodaan agama. Juga aksi-aksi
penutupan rumah-rumah ibadah yang ditutup secara paksa yang merupakan tindakan
main hakim sendiri, yang tidak dilakukan tindakan apapun, telah mengesankan
negara menye tujui aksi-aksi melawan pelanggaran hak-hak asasi manusia itu.
Dengan menempuh
berbagai pengalaman pergolakan pemikiran dan gerakan, akhirnya Nurcholish
Madjid meninggal pada tahun 2005. Ia diberi pemakaman kenegaraan dan dimakamkan
di makam pahlawan Kalibata di Jakarta Selatan. Presiden, Wakil Presiden,
menteri, kedutaan asing, MPR, Ormas, dan ribuan masyarakat sipil turut hadir
dalam pemakamannya. Surat kaabar nusantara dipenuhi dengan berita kematiannya.
Antusias masyarakat Indonesia tersebut menurut Nader Hashemi dari University of
Denver Colorado USA merupakan imbas pengaruh pidato Orasi Pembaruan Islam 2
Januari 1970 yang menandai titik balik arah pemikiran dan pergerakan
inbtelektualitas di Indonesia. Pidato bersejarah tersebut sekaligus membuka
wacana sekularisasi di Indonesia.
B.
Jalan Pemikran Nurcholish Madjid
Pemikiran yang terbangun dalam sosok
Cak Nur (sapaan akrab Nurcholish Madjid) dipengaruhi oleh beberapa sosok lain
yang memiliki peran penting dalam membangun bangsa. Salah satunya adalah
Mohammad Natsir. Sosok Natsir dalam alam piker Nurcholish Madjid mulai ada dan
bisa diterka dari tulisan kedua tokoh tersebut yang memiliki ruh dan semangat
yang sama. Menurut M. Dawam Rahardjo, sesudah Natsir menulis Peradaban Islam
Abad Tengah yang dimuat kembali dalam buku capita selecta jilid I,
tidak ada kembali pemikir muslim Indonesia yang meneruskan wacana tersebut
kecuali Nurcholish Madjid. Selain Cak Nur, kalaupun ada sosok yang menekuni hal
tersebut tidak lain adalah Husain Oemar.
Mengenai M. Natsir sendiri, sosok
ini dikenal dengan tiga wajahnya, yakni budayawan dan intelektual agung; ulama
dan orator persis; dan salah satu sosok sentral Masyumi. Natsir sendiri
tertpengaruh oleh gurunya A. Hassan Bandung. Mohammad Iqbal, Mohammad Assad
(Leopold Weis), dan Mohammad Ali Jinnah.
Ketika menjadi ketua HMI, Nurcholish
Madjid muda pernah menulis sebuah naskah tak dipublikasikan berjudul
“Islamisme” sebagai faham ideologis yang turut memberikan sumbangsih dalam
trilogi tulisan Bungkarno pada 1927. yakni “Nasionalisme, Islamisme, dan
Marxisme”. Ia mencoba menggali nilai agama dan mempersandingkannya dengan
segala segi kehidupan. Gagasan ini ia kutip dari negarawan AS, John Gardner
yang mengatakan bahwa seluruh peradaban dunia itu bersumber dari ajaran agama. Namun
titik tolak terjadi dalam kehidupan pemikiran Nurcholish Madjid adalah tatkala
pada tahun 1970.
Lontaran pemikirannya berbalik dari Islamisme menuju liberalisme dan skularisme.
Suatu keberanian dan titik balik yang begitu berpengaruh ketika itu yang juga
mengantarkannya namanya untuk dikenal oleh generasi pada masanya sebagai sosok
liberal dan penggagas sekularisasi.
Sekularisasi berbeda dengan sekularisme, hal tersebut dicontohkan
oleh Nurcholish Madjid sebagaimana dalam dunia politik. Islam tentu tidak
mengurus dan meikirkan secara detail tentang praktis dan teknis dalam segala
hal, namun nilai dan substansi dari segala hal tersebut tetap berangkat dari
bingkai ruh keislaman. Dari pernyataan inilah muncul kemiripan yang menjadi
titik temu sekaligus titik pembeda antara pemikiran Nurcholish Madjid dengan M
Natsir. Sebagaimana dalam bukunya, Natsir menjelaskan posisi agama dengan akal
merdeka:
“Agama
datang mengalirkan akal menurut aliran jang benar, djangan melantur kesana
kemari, merompak pagar dan pematang. Islam datang bukan melepaskan akal sebagai
kita melepaskan kuda ditengah padang, untuk meradjalela disemua lapangan.”
Dalam perkataan tersebut, M. Natsir
mengungkapkan bahwa agama adalah sistem kontrol namun tidak mengungkung akal.
Di sini agama menjadi substansi yang bukan berada di luar, namun berada di
dalam. Salah satu penafsiran Nurcholish Madjid lainnya yang menggambarkan hal
ini adalah pancasila sila ketuhanan itu sudah mencerminklan Islam tidak perlu
secara ekstrinsik, namun intrinsik dalam substansinya.
Nurcholish Madjid bersama dengan
Abdurrahman Wahid dikukuhkan sebagai penggagas pergerakan intelektualitas islam
sekitar tahun 1980-an. Pergerakan yang dilabelkan dengan Islam kultural
sekaligus menjadi tandingan terhadap gerakan Islam Politik. pergerakan Nurcholish
Madjid dalam gerakan intelektual lainnya didasarkan pada tiga prinsip, yakni
spiritualitas, intelektualitas, dan prinsip ekonomi. Tiga pergerakan ini
menjadi pergerakan termaju sebelum pemerintah Ordebaru mendirikan ICMI pada
tahun 1990.
Banyak yang salah tafsiran atas isu
sekularisme yang digagas oleh Nurcholish Madjid. Sekularisme yang dimaksudkan
sebenarnya lebih mengarah pada pengangkatan otonomisasi nilai agama yang selama
ini terkungkung oleh politik kenegaraan. Dari sinilah pemikirannya mulai
beralih dari wacana Negara Islam menuju civil society atau Negara tamaddun.
Kata tamaddun atau peradaban kota menggambarkan tingginya nilai peradaban.
Dengan mengacu pada piagam Madinah,
Nuurcholish Madjid ingin membangun sebuah peradaban baru Islam untuk saat ini.
pada mulanya ia menjelaskan mengenai konsep Negara Madinah yang berasal dari
kata “d-y-n” (dal, ya’, nun). Yang mengikuti sistem derifasi dalam ilmu
sharaf dengan runtutan da>na-yadi>nu-daynan.
Pemilihan kata ini bukanlah tanpa
alasan. Di dalamnya terdapat makna yang tinggi. Tentang bagaimana rasulullah
menyatukan bani lokal (Qaynuqa’, Quraydhah, dan bani Nazir), suku lokal (Aus
dan Khazraj), serta agama yang lebih dahulu (Yahudi).
dengan mengacu pada piagam Madinah sebagai model dalam menegaskan substansi
keadilan sosial. Dari sinilah pandangan Cak Nur bisa ditinjau dari segi
Islam-kultural. Pandangan mengenai islam-kultural ini ia adopsi dari pemikiran
Robert N. Bellah dalam Beyond Believe: Essays on Religion in
Post-Tradisional World.
Nurchalish
Madjid digadang-gadang menjadi salah satu penerus pemikiran Neo-Modernis Islam
yang dikembangkan guru besar University of Chocago, Fazlur Rahman. Di
Indonesia ia tidak sendiri, beberapa tokoh lainnya juga memiliki kesamaan
haluan seperti Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Ma’arif, dan Djohan Effendi. Mereka
berusaha mencoba memadukan tradisi dengan modernisasi yang hal ini dinamakan
neo-modernisme yang menurut Mark R. Woodward di Indonesia telah mencapai
puncaknya pada tahun 1980.
C.
Asbab an-Nuzul Sebagai Dimensi Kebudayaan
1.
Prinsip
dan Visi Penafsiran
Hukum pada dasarnya merupakan prodak
yang lahir melalui proses tertentu yang dinamakan ijtihad. Ijtihad
ini melalui proses panjang dengan melalui penggalian substansi sumber hokum.
Proses kedua ini dinamakan dengan istinbat. Salah satu tokoh yang
disoroti oleh Nurcholis Madjid dalam proses perjalanan menuju hokum ini adalah
Munawir Syadzali. Menurutnya, umat Islam, terutama ulama’-ulama’nya dalam
menghadapi zaman dengan permasalahannya yang semakin meluas belum dapat memenuhi
dan mengikuti pergerakan zaman.
Hukum yang terlalu kaku didapatkan
dari upaya memegang nilai literal teks dan melupakan aspek lainnya, yakni
mashlahah. Hal inilah yang dicoba dijalankan oleh Munawir Syadzali
di saat ia memangku jabatan sebagai menteri Agama RI (dua periode 1983-1993). Sosok
Munawir Syadzali ini terkenal dengan keberaniannya dalam melakukan
reinterpretasi teks agama. hal ini pernah ia lakukan dengan menafsiri warisan
antara laki-laki dengan perempuan 2:1 untuk tidak diterapkan dalam beberapa
kasus di Indonesia menurut konteksnya. Dengan menerapkan upaya reinterpretasi
berdasarkan sistem yang lebih terbuka. Terdapat dua tahapan yang dilalui
olehnya. Pertama adalah mengikuti keluesan dengan memperluas sudut pandang
dalam kompilasi hukum Islam berlandaskan faham mazhab Syafiiyah. Hal tersebut
dengan mempertemukan ulama tradisionalis dengan pandangan ahli hukum sekuler.
Kedua adalah dengan mempertemukan
pandangan antar mazhab di luar faham Syafiiyyah.
Hal ini menandai era keterbukaan Indonesia yang mulai beranjak dalam mencari
kebenaran dan meyakini bahwa dalam Islam telah terdapat jawaban bahkan atas
persoalan yang baru muncul dan akan muncul di era kemudian. Apa yang dilakukan
Munawir Syadzali ini tidak bisa difahami sebagai hasil, namun lebih pada
sesuatu yang belum terlihat. Hal ini sebagaimana adagium “segala sesuatu berada
dalam proses menjadi”. Maka, yang dituju sendiri oleh pandangan islam Nurcholis
Madjid adalah sebuah upaya mengenalkan Islam sebagai sebuah nilai substantif
yang isinya adalah nilai keadilan, nilai egaliter, nilai kemanusiaan, dan nilai
cinta terhadap tanah air. Dan inilah yang diperkenalkan oleh Nabi yang
diasumsikan oleh Robert N. Bellah sebagai sosok visioner bahkan melampaui
zamannya sehingga sulit untuk diterapkan karena kekurangan alat yang mencukupi.
Dari sini, Islam pada prinsipnya adalah substansinya, bukan pada
potong tangannya, bukan pada cambuknya, bukan pada dua banding satunya, namun
lebih pada alasan dibaliknya yang menjelaskan kenapa hal tersebut diperlukan.
Hal tersebutlah yang pada akhirnya membangun prinsip penafsiran berdasarkan
mashlahah. Bahwa hukum dan aturan atau regulasi adalah jalan menuju Mashlahah
bukan mashlahah itu sendiri. Sedangkan hukum yang berlaku tertama pada masa
Nabi adalah sebuah proses menuju mashlahah. Karena itu, apa yang dilakukan oleh
Rasulullah bukanlah sesuatu yang final dan masih bisa diteruskan pada sesuatu
yang lebih baik. Pandangan Islam berkemajuan inilah yang pada gilirannya
dinamakan dengan Islam dan Kemodernan.
Alur berfikir seperti ini bisa
difahami melalui hukum waris. Nabi mencoba meletakkan kedudukan wanita setara
dengan kedudukan laki-laki secara konstruksi –bukan secara fitroh—melampaui tiga
tahap tradisi. Pertama, “mereduksi tradisi”. Seperti menghilangkan tradisi masa
lalu di mana seorang suami dapat mewariskan isterinya kepada anak laki-lakinya.
Kedua, “menambah elemen baru dalam tradisi”. Seperti membolehkan perempuan
menerima warisan—meski hanya setengah bagian laki-laki—padahal dulu wanita
tidaklah dapat menerima sepeserpun harta seorang yang meninggal dunia. Ketiga
adalah membawa tradisi pada prinsip keadilan, kesetaraan, dan kedamaian (silm).
Hal ini lah yang belum terjadi, pada masa Rasulullah Islam masih berproses pada
tahap kedua dan kelak dicita-citakan akan masuk pada tahap ke tiga yakni
keadilan, kesetaraan, dan kedamaian (silm).
Ketiga substansi di atas (keadilan,
kesetaraan, dan kedamaian) dinamakan dengan prinsip mashlahah. Pandangan
kedepannya dinamakan dengan Islam berkemajuan. Cakupannya dinamakan rahmatal
lil alamin. Orangnya dinamakan insan kamil, dan jika demikian, Islam
telah menjadi Islam yang sempurna (silm kafah). Yang mengharmonikan
antara Tuhan, Manusia, dan Alam semesta dalam tiga ikatan yakni ikatan manusia
dengan Allah (habl minallah), ikatan manusia dengan manusia (habl
min an-nas), dan ikatan manusia dengan alam (habl min al-alam).
2.
Metode Kritik Internal-Eksternal
a.
Kritik
Internal Teks
Dalam kajian tafsir Maudhu’i, ayat yang setema dipilih berdasarkan
topik dan tema tertentu. Proses ekleksi ini dilakukan dengan mengetahui kata
kunci-kata kunci tertentu yang nantinya dari kata kunci tersebut ayat-ayat
al-Qur’an dikumpulkan untuk kemudian dipilih. Kemudian setelah ayat yang sesuai
terkumpul, operasional penafsiran bisa dilakukan baik secara pemahaman makna
dasar dan derivasinya (tas{ri>fiyyah) maupun
mempertimbangkan makna relasionalnya dan munasabah dengan kata-kata lainnya
dalam satu ayat tertentu.
Hal tersebut
dilakukan Nurcholish Madjid dengan memilih kata Ila>h dan
ahl al-Kita>b. ia merangkum ayat tentang
Agama dan tentang ahli Kitab kemudian membandingkan argument para mufassir.
Setelah itu ia menarik kesimpulan bahwa Kitab Suci adalah penanda kebenaran
agama. setiap agama mengajarkan agama tauhid hanya saja karena pergeseran waktu
dan kepentingan, pemikiran, dan persoalan lainnya, makna dan kandungan agama
menjadi bergeser.
b.
Kritik
Eksternal Teks
Dalam Ulum al-Qur’an ulama tafsir era awal
mendefinisikan ilmu mengetahui persitiwa yang mengiringi al-Qur’an turun dengan
ilmu asba>b an-nuzu>l. asba>b an-nuzu>l makro dan asba>b an-nuzu>l mikro. Asba>b an-nuzu>l makro meliputi kajian konteks politik, sosial, ekonomi, geografis, dan
lain-lain termasuk kebudayaan keberagamaan konteks sekitar turunnya al-Qur’an.
Mengenai kerangka asbab an-nuzul, Nurcholish Madjid menjelaskan
secara lebih rinci dalam bukunya Dialog Ramadhan. Pertama adalah implikasi
asbab an-Nuzul yang meliputi lima hal: 1) makna langsung terfahami tanpa
terpikir (emmediately), 2) alasan
(kausalitas) dapat diketahui, 3) maksud (makna) dapat diketahui, 4) mengetahui
sasaran ayat apakah bersifat spesifik atau umum, dan 5) mengetahui kondisi dan
situasi historis.
Mengenai asbab an-Nuzul ini, Nurcholish Madjid mencontohkan dengan
ayat yang menjelaskan tentang kiblat. Ayat ini turun berkenaan dengan pengaduan
sahabat yang risau karena pada malam harinya shalat dalam keadaan gelap dan
keliru menghadap kea rah lain. Namun rasulullah dengan mengungkapkan firman
Allah (2: 115) telah menunjukkan bahwa hal tersebut dimaafkan. Hal ini
menunjukkan bahwa ayat al-Qur’an dapat dijelaskan dengans sebab turunnya
sebagaimana kebolehan menghadap kea rah yang tidak tepat dalam sholat dalam ke
adaan buta arah.
Namun, selain asbab an-Nuzul yang bersifat langsung ini, terdapat
asbab an-Nuzul lainnya yang lebih bersifat makro, yakni konteks sosial,
cultural, politis, dan segala situasi disekitar pewahyuan. Sebagaimana ayat
potong tangan yang menurut Nurcholish Madjid menjadi ketentuan hokum bagi orang
yang mencuri. Namun, esensinya adalah bukan dipotong tangannya, melainkan ayat
tersebut dimaksudkan untuk melakukan penjagaan terhadap harta dan ketahanan
sosial. Jika Fazlur Rahman mengistilahkan esensi tersebut dengan ideal moral.
Hal ini jugalah yang diistilahkan oleh Nurcholish Madjid dengan term lain yakni
Nilai Universal.
Salah satu sahabat yang tahu lebih awal tentang adanya makna
Universal ini adalah Umar bin Khattab yang dengan pengetahuannya tersebut
kemudian merubah hokum berdasarkan ijtihadnya. Salah satunya adalah menghapus hukum
potong tangan bagi orang yang mencuri untuk mempertahankan hidup di saat
paceklik dan pembagian tanah-tanah pertanian kepada penduduk setempat di Irak
dan Syiriya tidak kepada tentara muslim.
Nash > Illah (ratio legis) > Nilai Universal > Konteks turun
|
1.1 alur memahami teks agama menurut Nurcholish Madjid
Dalam prakteknya, prinsip telaah asbab an-Nuzul ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nurcholis
Madjid saat menafsiri Agama dan Tuhan.
Asbab an-Nuzul juga berhubungan langsung dengan nilai sejarah dan peradaban
bangsa Arab. Menurutnya konteks agama bangsa Arab sebelum al-Qur’an datang merevisi
adalah agama yang berfaham ketuhanan. Hanya saja Tuhan di sini tidak tunggal,
memiliki anak, dan bersifat terlembaga dengan urusan dan job deskripsinya
masing-masing.
Tuhan bangsa Arab yaitu berhala-berhala tersebar beragam dan berbeda-beda..
tiap suku Makkah biasanya memiliki berhalanya
masing-masing yang berbeda antara satu suku dengan suku lainya dan
masing-masing suku meletakkan berhalanya di sekitar ka’bah. Menurut sejarawan, berhala-berhala ini sampai mencapai
angka 360 lebih. Banyaknya berhala ini
tentunya menjadi simbol tentang ego dan fanatisme kepercayaan bangsa Arab.
Sebagaimana yang diketahui, ada empat berhala yang dikenal dalam tradisi Arab,
pertama yaitu Latta yang merupakan dewa tertua yang terletak di Tha>if,
‘kedua ‘Uzza yang bertempat di Hijaz, ketiga adalah manah yang
bertempat di Yas|rib (sekarang Madinah), dan keempat adalah Hubal yang
dianggap sebagai dewa terbesar yang berada di ka’bah.
Berangkat dari konteks
ini, Islam memiliki nilai universal tersendiri yang berbeda dengan agama-agama
sebelumnya. Dan hal ini pula sebagaimana [penafsiran nurcholish madjid tentang
Agama, Tuhan, dan Manusia dalam bukunya. Lebih jauh mengenai ketiganya akan
diuraikan pada pembahasan berikutnya.
D.
Agama dan Kemanusiaan dalam Perspektif al-Qur’an
Terdapat dua tema yang diangkat oleh Nurcholish Madjid setelah menggali
pesan dari term Ahl al-Kita>b dan term Ila>h pertama adalah keagamaan dan kedua adalah kemaanusiaan.
Bahwa baik ahli kitab dan agama merupakan sesuatu yang diperuntukan bagi
seluruh umat manusia. Terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang dikuti oleh
Nurcholish Madjid. Terdapat 28 ayat
tentang Konsep ketuhanan dan 9 ayat yang menunjukkan Konsep Keagamaan. Ke 37
ayat tersebut adalah:
No
|
Ayat-ayat Mengenai Konsep Ketuhanan Ila>h
|
|
|
14
|
39: 17-18
|
1
|
29: 61
|
15
|
25: 43
|
2
|
31: 135
|
16
|
30: 30-32
|
3
|
39: 38
|
17
|
3: 112
|
4
|
43: 9, 87
|
No
|
Ayat-ayat Mengenai Konsep Keagamaan : Ahl al-Kita>b
|
5
|
5:48
|
6
|
112: 1-5
|
7
|
16: 36
|
1
|
3:64
|
8
|
3: 19, 64, 67, 85
|
2
|
42: 13
|
9
|
9: 24
|
3
|
4: 163-165
|
10
|
10: 34
|
4
|
2: 136
|
11
|
2: 170
|
5
|
29: 46
|
12
|
5: 104
|
6
|
16: 123
|
13
|
42: 15
|
7
|
57:27
|
1. Agama Cinta : Islam Sentralitas dan Islam
Universal
Pandangan Nurcholish Madjid dengan Mungutib
pandangan Thomas Jeffersen
menunjukkan kemiripan dengan pandangan Abdurrahman Wahid bahwa dunia silm
al-ka>ffa>h “Islam yang sempurna”. sebuah istilah yang dibangun oleh Gus Dur ketika
menafsiri surat al-Baqarah ayat 208. Dalam surat tersebut, term silm tidak lagi dimaknai dengan
Islam yang menggunakan “I” besar, namun ia mencoba memaknai term isla>m pada substansi
awalnya sebagai kedamaian lebih lanjut “kedamaian yang sempurna.”
Penafsiran Gus Dur ini berbeda dengan penafsiran lainya, silm al-ka>ffa>h tidak lagi ditafsiri dengan masuk pada agama Islam sepenuhnya, namun
lebih pada harapan agar manusia itu selalu damai.
Jika dicermati lebih dalam, pernyataan K.H. Abdurrahman Wahid ini
sesuai dengan penafsiran Fazlur Rahman, bahwa kata s-l-m memiliki arti,
Aman, utuh, dan integral. Menurutnya kata s-l-m dengan bentuk mashdar silm
memiliki arti “damai” (QS. al-Baqarah [2]:208), bentuk salam
memiliki makna “utuh” (QS. Az-Zuma>r [39]:29), dan mashdar mengikuti bentuk madhi aslama – isla>m yang biasanya diikuti dengan lilla>h memiliki makna menyerahkan dalam arti “berserah-pada Allah”
Lebih lanjut Nurcholish Madjid menjabarkan kata Islam dari berbagai
term derivasinya. Dalam bahasa Arab, isla>m yang makna asalnya
terkait dengan kata sala>mm, sala>mah atau salama>t (dalam bentuk plural) dan sali>m yang bermakna
utuh dan integral. Begitujuga kata kata “d-y-n” (dal,
ya’, nun). Yang mengikuti sistem derifasi dalam ilmu sharaf dengan runtutan
da>na-yadi>nu-daynan yang maknanya
patuh.
Yang dari gabungan di>n
al-Isla>m memperlihatkan keutuhan fungsinya. Dan Islam Sebagai konsep utuh
bisa dilihat dalam konteks Madinah.
Dalam kesimpulannya, Nurcholish Madjid menjelaskan pandangan Roger
Garaudy, seorang filsuf Perancis yang masuk Islam. Ia menyayangkan mengenai
munculnya fundamentalisme agama-agama saat ini yang berkembang di Perancis dan
di berbagai belahan dunia yang lain. Agama dijadikan legitimasi peperangan.
Sedangkan agama tidak dijadikan legitimasi untuk perdamaian. Padahal tujuan
agama yang sejati adalah cinta kasih. Bebrapa hal yang dapat diraih untuk
mewujudkan agama cinta adalah dengan kembali pada al-Qur’an, membuka pintu
ijtihad, dan tidak mengidentifikasikan Islam pada hanya untuk tradisi Timur
tenagh dengan memandang universalitas Islam sebagai agama rahmatal lilalamin.
2. Kemanusiaan: Belenggu dan Pembebasan
Mengenai konsep manusia, Nurcholish
Mdjid mengangkat surat al-Alaq 96 : 6-7.
Menurutnya ayat ini menunjukkan bahwa manusia adalah ia yang berada dalam
masyarakat sebagai makhluk sosial (zoom politicon, al-insa>n madaniyyu>n). sehingga tidak mungkin hidup dalam isolasi.
Pda penafsiran ini, ia kembali menggunakan konteks negeri Madinah dalam
memperlihatkan sebab turun makro mengenai kesatuan umat dalam satu panji Islam.
Menurut Nurcholish Madjid, terdapat dua kemungkinan yang akan diterima
manusia dalam sistem kepercayaannya. Pertama adalah totaloitarian dan kedua
adalah egalitarian. Menurut Nurcholish Madjid Islam bersama agama yang lain
tidak hanya urusan H}abl min Allah, namun juga hablun minannas. Kali ini ia
menggunakan tambahan hadis Utsman Ibn Maz’un yang dikritik Nabi karena
beribadah kepada Allah, namun di luar itu menelantarkan keluarganya.
Ia tidak menyelaraskan antara ibadah horizontal dan vertikal dan hanya menitik
beratkan pada salah satunya, padahal yang kedua adalah buah dari yang pertama.
Ibadah pada llah akan berbuah pada kebaikan terhadap sesama makhluq.
Asal manusia
juga menjadi salah satu aspek yang diperhatikan oleh Nurcholish Madjid. Ia
mengkutip sebuah hadis dalam menjelaskan kebebasan manusia. Ia adalah sesuatu
yang suci tatkala lahir dari perut ibu. Namun orang tuanyalah yang membawanya
menyimpang dari fitrahnya. Berarti jika manusia itu jahat, maka kejahatan itu
bukan bagian dari dirinya karena itu datang dari luar.
Dari sini, sebenarnya Nurcholish Madjid ingin mengatakan bahwa manusia
menentukan perbuatannya sendiri dan tidak menjadi dalang. Karena Allah
menciptakan manusia dengan fitrah suci. Dan perbuatan buruk yang dilakuikannya
adalah sesuatu yang datang kemudian. Pandangan ini juga sekaligus merupakan
kritik langsung terhadap Bible yang menyatakan bahwa asal manusia adalah jahat.
Penafsiran Nurcholish Madjid tentang Tuhan dan manusia bisa
dikatakan merupakan bagian dari konsep pluralisasi yang ia gagas. Tuhan
mewakili dimensi agama yang eksotreris, sedangkan manusia mewakili realitas
kehidupan yang antara keduanya tuhan dan manusia terdapat sekat dan
koridor-koridor tertentu yang meski terkait namun terpisah. Pemetaan berfikir
seperti ini pernah dibahas oleh M. Tasrif bahwa sekularisasi merupakan
implikasi dari keyakianan dasar Islam tentang Tuhan dan Manusia.
Pembebasan yang
dipilih oleh Nurcholish Madjid dan dijadikan kesimpulan di sini ialah
pembebasan yang menurut Talcott Parsons dan Robert N Bellah, bahwa pembebasan
adalah Sekularisasi dalam arti sosiologisnya sebagai upaya memisahkan manusia
dari hal-hal metafisis dalam kehidupannya namun tetap menggunakan agama sebagai
orientasi, norma, dan sebagai sistem nilai.
Dari sini, sekularisasi berbeda dengan sekularisme yang menjadi sebuah faham
tertutup dan menutup dirinya terhadap agama.
“Segala
sesuatu berada dalam proses menjadi…”
(Nurcholish Madjid)
“Ketika bangsa gagal memahami masa lalu,
maka yang akan terjadi adalah kemiskinan
intelektual.” (Nurcholish Madjid)
Muhammad Barir
Daftar Pustaka
Ali
Engineer, Asghar, Islam
dan Teologi Pembebasan terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009).
Alkaf,
Halid. Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia (Jakarta: Kompas, 2011).
Gaus,
Ahmad. Api Islam (Jakarta: Kompas, 2003).
Hashemi,
Nader. Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal terj. Aan
Rukmana dan Shoffan Al-Banna C. (Jakarta: Gramedia, 2010).
Maarif,
Ahmad Syafii. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan kemanusiaan, (Bandung:
Mizan, 2015).
Madjid,
Nurcholis. Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 2010).
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:
LKIS, 2012).
Martin,
Richard C.. (ed.), Encyclopedia of Muslim and The Muslim World (New
York: Macmillan Reference, 2004).
Natsir,
M.. Capita Selecta (Bandung: Itsar, 1961).
Qomar,
Mujamil. Fajar Baru Islam Indonesia (Bandung, Mizan, 2012).
Rachman,
Budhy Munawar. Reorientasi Pembaruan Islam (Jakarta: LSAF, 2010).
---------,
Islam dan Liberalisme (Jakarta: Friedrich
Naumann Stiftung, 2011).
---------, Membaca
Nurcholish Madjid (Jakarta: Democacy Project, 2011).
---------, Sekularisme,
Liberalism, dan Pluralisme (Jakarta: Grasindo, 2010).
Rahardjo,
Dawam. “Peradaban Islam: Antara Krisis dan Kebangkitan” dalam yudi Latif dan
Abdul Hakim (ed.), Bayang-bayang Fanatisme (Jakarta: Paramadina, 2007).
Rofiq, Choirul. Sejarah Peradaban Islam (Ponorogo:
STAIN ponorogo Press, 2009).
Tasrif,
Muh. “Konsep Pluralisme dalam al-Qur’an: Telaah Pemikiran Nurcholish Madjid
atas Ayat-ayat al-Qur’an tentang Pluralisme”, Disertasi Program Pasca Sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.
Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The
Wahid Institute, 2006).
Budhy
Munawar Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam (Jakarta: LSAF, 2010), xLvi.
Nurcholish
Madjid, “Islam dan Politik” dalam jurnal Paramadina vol. 1 nomor 1,
Juli-Desember 1998. Hlm. 49.
lihat
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm.
236.