Oleh : Muhammad Barir, S.Th.I
Ilmu qira>’ah sering
diposisikan sebagai ilmu yang berada pada dimensi tekstualitas al-Qur’an.
Beberapa ahli terkadang lebih melihat aspek seni dan keragaman leksikalitas
berupa waqf, ‘ibtida>’,’ima>lah, dan lain sebagainya tanpa
menghubungkan ilmu ini pada kedalaman ma’na al-Qur’an. Secara lebih jauh, ilmu
ini ternyata memiliki hubungan langsung dengan realitas historis sebagaimana
ungkapan az-Zarkasyi dalam al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n tentang pengaruh qira>’ah terhadap
hukum fikih yang dibebankan kepada mukallaf.[1]
Untuk itu, membahas lebih jauh tentang pengaruh qira>’ah terhadap pembebanan hukum terlebih tentang interpretasi al-Qur’an,
merupakan hal yang memiliki urgensi untuk dilakukan. Tulisan ini merupakan sedikit
upaya mereview kembali gagasan tersebut untuk disajikan kepada pembaca sebagai
sebuah refleksi dan stimulasi tentang sebuah khazanah kekayaan perspektif dalam
studi al-Qur’an. Demikian juga, interpretasi qiraat ini kemudian menempati
tempat penting dalam kitab-kitab tafsir, salah satunya adalah Bahrul Muhith
karya Abu Hayyan al-Andalusi, tulisan ini sedikit banyak akan mengulas
bagaimana Qiraah memiliki fungsi-fungsi tertentu dalam penafsiran Abu Hayyan.
Di dalamnya, tentu terdapat karakteristik yang berbeda dengan tafsir lainnya.
Salah satu perbedaan ini terletak pada analisa Abu Hayyan yakni kepercayaan
bahwa ayat al-Qur’an tersusun secara runtut dan runtutan itu mengandung makna
dan pesan tertentu. Hal ini pula yang membuka kemungkinan untuk menerapkan
analisa sintagmatis dalam menelaah penafsiran Abu Hayyan.
Keywords : Qira>’ah, Analisa Sintagmatis, dan Bahrul Muhit.
A.
Pendahuluan
Pembahasan
tentang ilmu qira>’ah sebenarnya
tidak terlepas dari pembahasan I’ja>z al-Qur’a>n. Beragamnya cara baca tidak sekedar menjadi kekayaan bentuk
pelafalan al-Qur’an, namun juga memberikan kemudahan bagi setiap lisan orang
yang membacanya sesuai karakter lidah masing-masing. Selain hal tersebut, ada
sisi lain dari studi ilmu qira>’ah[2] yang juga memiliki urgensi untuk dibahas lebih lanjut, yakni
tentang pengaruh qira>’ah terhadap istinba>t hukum. Sehingga ilmu qira>’ah tidak hanya menjadi ilmu yang berada pada kawasan tekstualitas
al-Qur’an namun juga berada dalam kajian esensialitas makna al-Qur’an.
Berangkat dari hal tersebut, studi lebih jauh
tentang aspek pengaruh qira>’ah terhadap
istinbat hukum menjadi hal yang penting. Berawal dari hal ini pulalah nantinya
diketahui ketegasan posisi ilmu qira>’ah sebagai salah satu aspek yang dipertimbangkan oleh para mufassir
dalam proses interpretasi al-Qur’an ketika merangkai kitab tafsirnya. Dan jika
setiap mufassir memiliki imam dan ra>wi> qira>’ah-nya
maing-masing, tentu akan muncul berbagai perdebatan lebih lanjut tentang mana qira>’ah yang masyhur dan yang sya>ż.
Dengan
munculnya berbagai perdebatan tentang otentisitas qira>’ah ini, maka salah satu aspek lain yang perlu dijabarkan dalam
makalah ini adalah mengenai tradisi transformasi ilmu berdasarkan sanad yang
berujung dari Rasulullah. sehingga, dalam bebrapa poin dalam makalah ini nanti,
juga akan diwarnai dengan penjelasan singkat tentang imam dan rawi qira>’ah, berbagai pendapat ulama, dan penelusuran historisitas
perkembangan ilmu qira>’ah. Dari peran
sanad dalam transmisi qiraat, muncul sebuah pemahaman tentang adanya qiraah
mutawatir namun sebagian dianggap lemah sebagaimana hal ini terjadi juga dalam
hadis. Dan hal tersebut pula yang kemudian terjadi pada penafsiran al-Qur’an.
Pengunaan
qiraah tersebut, juga dilakukan oleh Abu Hayyan dalam mendukung upaya
penafsiran ayat al-Qur’an. Secara lebih jauh tulisan ini akan mengula bagaimana
qiraah dalam bahrul muhit digunakan dan bagaimana Abu Hayyan menindak lanjuti
qiraah yang masuk sebagai bentuk kritik dan penyaringan qiraah mutawatir dan
syadz. Serta di antara qiraah tujuh dan qiraah lainnya[3],
mana qiraah yang dipilih oleh Abu Hayyan. Selain itu, bagaimana karakteristik
Abu hayyan dalam melakukan penafsiran al-Qur’an yang sekaligus menandai
perbedaan dengan mufassir lainnya.
B.
Biografi Abu Hayyan
1.
Kehidupan
Abu Hayyan
Ia
bernama lengkap Atsiruddin Muhammad bin Yusuf bi Ali bin Yusuf bin Hayyan
al-Andalusi an-Nafzi. Namanya dinisbatkan pada Nafzah yang merupakan salah satu
qabilah dari suku barbar. Dan Nastiruddin merupakan julukannya. Abu Hayyan
lahir pada akhir bulan syawwal tahun 654 H[4]
atau 1256 M di Gharnathah, salah satu daerah yang terletak di Andalusia. Ia
berkiprah di Mesir dan Andalusia sebagai dua tempat yang melambungkan namanya.
Abu
Hayyan berperawakan tidak tinggi dan tidak pendek, berwajah bundar. Ia dikenal
dengan orang berjenggot lebat dan lebar. Abu Hayyan memiliki sifat-sifat yang
mendukung dalam capaian keilmuannya. Kebesaran Abu Hayyan dan dinginnya
tangannya telah terbukti mampu mencetak ulama besar seperti Taqiyyuddin bin
as-Subki. Seorang yang membaca al-Qur’an secara fasih, meski terkadang membaca
huruf kaf merip seperti qaf.
Namun, dari sisi nurani, Abu Hayyan begitu sensitive dan empatif, ia
akan dengan mudah menangis saat mendengarkan lantunan al-Qur’an. Airmatanya
juga akan berlalu melewati pipinya tatkala mendengarkan syair ghazal dan
hamasah.
Lahir
dan besar dalam lingkungan agamis membuatnya tekum menuntut ilmu agama dan ia
memilih sebagai seorang dhahiri. Mazhab fiqihnya ia halukan pada Imam Syafii
setelah ia masuk ke Mesir, dan ia juga menggunakan pendapat-pendapat Imam Malik
sebagai madzhab yang banyak diikuti di Maghrib.[5]
Mazhab kebahasaannya di antara dua mainstream mazhab besar yakni Bashrah dan
Kuffah, ia lebih condong pada Basrah. Meski banyak kaidah nahwiyah dan sharaf
yang di tulis oleh Abu Hayyan yang kedua ilmu itu berkembang pesat di Kuffah.
Hal ini menandakan bahwa Abu Hayyan tidak terlihad jumud dalam mazhab
kebahasaan ini dan mampu menempatkan porsi kedua kutub dengan sesuai.
Kemahirannya
dalam membaca al-Qur’an mengantarkan ia berhadapan dengan tokoh-tokoh terkemuka
seperti Khatib Abu al-Haq ibn Ali, Khatib Abi Ja’far ibn Thabbai, dan Hafidz
bin Ali. Ketika di Aleksandria ia juga pernah membacakan bacaannya dihadapan
Abdun Nasir bin Ali dan di Mesir kepada Abi Thahir Ismail bin
Abdullah.kecintaannya terhadap ilmu membawanya untuk berguru keberbagai ulama.
Ia menguraikan, bahwa terdapat 450 orang guru yang pernah ia timba ilmunya.[6]
Ia juga dengan baik telah membaakan kitab Sibawaih kepada gurunya Ibn Nuhas. Ia
juga rajin mengikuti forum Syamsuddin al-Ashbahani, mempelajari Hadis, Adab, Sejarah
dan keilmuan lainnya. Ia juga beberapa kesempatan menaruh perhatian pada ilmu
ushul dan mantiq.
Abu
Hayyan adalah dalam bidang kebahasaan dan sastra. Ia menghafal banyak syair
Arab. Sebagaimana mazhab Bashrah yang dianut oleh Abu Hayyan dalam ilmu bahasa
mengharuskan penguasaan syair. Syair bahkan diakui sebagai salah satu kaidah
bahasa selain criteria lainnya seperti riwayat qiraah dan bahasa kabilah Arab.
cabang yang nantinya menjadi modal berharga dalam menunjang proses penafsiran
al-Qur’an. Keahlian lainnya ialah bidang ilmu hadis yang ia tekuni dan membuatnya memahami
biografi rijal dan tingkatan-tingkatannya.[7]
Di
tengah kritisnya pemikiran Abu Hayyan dan keberaniannya dalam menghadapi
orang-orang berpengaruh, menimbulkan peristiwa besar dalam sejarah hidupnya.
terlebih saat ia mengkritisi beberapa gagasan gurunya yang bernama Ahmad bin
Ali ath-Thaba’I. Abu Hayyan mengkritisi gurunya sendiri melalui karya al-Ilma’
fi Ifsad Ijazah Ibn ath-Thaba’i. tidak terima atas perlakuan muridnya,
ath-Thaba’I kemudian melaporkan perbuatan Abu Hayyan pada Amir. Kemudian
keputusan Amir diambil yang isinya meminta Abu Hayyan menghadap, namun karena
khawatir, Abu Hayyan kemudian memilih menyeberangi lautan dan akhirnya sampai
di Mesir pada tahun 680 H.. Mungkin pelariannya menyeberangi samudera ini juga
yang mengilhami Abu Hayyan untuk menamai magnum opusnya dengan Bahr al-Muhith.[8]
Peta
riwayat Geografis hidup Abu Hayan
Ilustrasi
Rihlah : Lihat Ahmad Khalid Syukri, Abu
Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar,
2006), hlm. 19.
Beberapa
kota yang pernah disinggahi oleh Abu Hayyan adalah : Gharnathah, Malaqah,
Tunis, Iskandariyah, Kairo, Dimyat, Thuhurmus, Disyna, Qina, Bilbis, Sudan,
Makkah, dan Jiddah.
Kepergian
Abu Hayyan keluar Andalusia merupakan keberuntungan dalam satu sisi, karena
seiring kepergiannya, Andalusia dengan kegemilangan ilmu dan pengetahuan kian
merosot. Belum lagi runtuhnya masa keemasan Islam diperparah oleh masuknya
kekuatan Aragon yang membangkaitkan kembali Kerajaan Kristen di Andalusia pada
1258. Satu sisi Mesir dengan pesat berubah menjadi bangsa dengan peradaban
keilmuan yang selangkah-demi langkah kian maju. Nasib baik yang berpihak kepada
Abu Hayyan ini memberikan peluang baginya untuk berkiprah lebih focus dalam
keilmuan, dan hidup lebih tenang dalam sisa usianya.
Kegemilangan
Mesir dan Syam, dua kota yang menjadi tumpuannya setelah lari dari Andalusia
berjalan semakin pesat. dari kedua kota ini pula lahir ulama-ulama besar pada
masa Abu Hayyan di antaranya adalah : Ibn Malik (w 672 H.), Ibn an-Nuhas (w 698
H.), Ibn Daqiq al-Id (w 702 H), Ibn Mandzur (w. 711 H.), Ibn Taymiyyah (w 728
H.), Ibn Qayyim (w 751 H.), Ibn Aqil (w. 769 H), dll.
Abu
Hayyan wafat di Mesir pada 28 Shaffar tahun 745 H atau 1345 M. tepatnya pada
hari sabtu ba’da asar.[9]
Meski pendapat ini merupakan pendapat yang umum dipegang oleh ahli sejarah,
namun terdapat keterangan tahun lainnya seperti 743 H. beliau dikuburkan di
luar bab an-Nasr di Kairo tepatnya di pekuburan as-Sufiyyah.
2.
Guru-Guru
Abu Hayyan
Diprediksikan
terdapat 450 orang guru yang pernah ia timba ilmunya.[10]
Di antara guru-guru beliau adalah : 1) Ibn Zubair, Ibn Abi al-Ahwash, 3). Ali
bin Ahmad bin Abdul Wahid, 4) Muhammad bin Sulaiman bin Hasan bin Husain, 5)
Muhammad bin Yahya bin Abdur Rahman bin Abu Rabi’, 6) Ahmad bin Sa’d bin Ali
bin Muhammad al-Ansari, 7) Ibn Thaba’,8) Khalil bin Utsman al-Maraghi, 9) Ahmad
bin Abd an-Nur dan lain-lain.[11]
3.
Murid-murid
Abu Hayyan
1)
Ibrahim
bin Muhammad bin Abdul Wahid ad-Dimasyqi, 2) Ibrahim bin Ahmad bin ‘Isa, 3)
Burhanuddin al-Hikari, 4) Ahmad al-Hambali, 5) Ibn Maktum, Ahmad bin Abd al-Qadir,
6) as-Safaqisi : Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim, 7. Baha’uddin as-Subki, 8)
Ahmad bin Yahya Fadhlullah, 9) al-Muradi, dan lain-lain.
4.
Karya-Karya
Abu Hayyan
Abu
Hayyan merupakan seorang polymath atau orang yang ahli dalam banyak disiplin
keilmuan sekaligus. Ia telah menulis beberapakarya di bidang lughah, qiraah,
hukum atau fiqih, sastra, dan tafsir. [12]
Menurut Muhammad Jasim Ad-Dulaimi,
muhaqqiq salah satu kitab Abu Hayyan yang berjudul Taqrib al-Muqarrib menyatakan bahwa ia menemukan sekitar 70[13]
karya yang dihasilkan oleh beliau, di antaranya adalah:
1) Bahrul Muhith, 2) Nahrul Mad, 3) Aqdu al-Lali fi Qiro’at as-Sab’I al-Awali, 4) Al-Khalil Khaliah fi Isnad Qiraat al-Aliah, 5) Taqrib al-Na’I fi Qiraat al-Kisa’i. 6) Al-Wahaj fi Ikhtisar al-Minhaj, 7) Al-Anwar al-Ajali fi Ikhtisar al-Mahla, 8) Masail al-Rasyid fi Tajrid Masail Nihayah Ibn Rasd, 9) Al-I’lam bi Arkan Islam, 10) Itihaf al-Arib bima fi al-Quran, 11) Irtidha’ fil Farqu baina Dhad wa zho’, 12) Al-Idra’ al-Lisan, 13) Al-Tazkirah, 14) al-Syazan fi Masailah Kaza, 15) Al-Syazarah 16) Ghoyah al-Ihsan fi Ilmu Lisan. 17) Diwan asy-Syi’ri, 18. Mabda’ fi Tashrif, 19. Al-Maznu al-Hamir fi Qiraah Ibn Amir. 20. Fadhl an-Nahw, 21. Fadl al-Qur’an, al-Hidayah fi an-Nahw, dan lain sebagainya.
C.
Deskripsi Kitab Tafsir Bahrul Muhith
1.
Latar
Singkat Kepenulisan
Tafsir ini ditulis pada tahun 710
Hijriyah ketika Abu Hayyan berusia 54 tahun. Kesempatan menulis tafsir ini
seiring dengan profesinya yang terfokus dalam mengajar tafsir di Madrasah
Tafsir di Qubbah al-Malik al-Mansur Kairo. Salah satu motivasi Abu Hayyan dalam
menulis adalah seiring kesadarannya akan usia yang telah hampiur enam puluhan
dan telah lepas masa mudanya berganti dengan masa tua.[14]
2.
Sistematika
Kitab
ini terdiri dari delapan juz. Secara tahlili menafsirkan dari surat
al-Fatihah hingga surat an-nas. Menurut adz-Dzahabi, kebanyakan pembahasan
kitab ini didominasi oleh kajian bahasa dan sastra. Memiliki kredibilitas
sebagai rujukan tafsir I’rab al-Qur’an atau kaidah perubahan kata
berdasarkan perubahan derifasinya. Memiliki kajian balaghah yang luas termasuk
pula ilmu badi’ dan bayan. Kaarena hal tersebut, sering pembaca kesulitan
membedakan apakah kitab ini merupakan kitab tafsir ataukan kitab nahwu.[15]
Metode
penafsiran Abu Hayyan dalam tafsir ini adalah dibuka dengan menjelaskan makna
lughawiyyah, terkadang juga menjelaskan kata per kata seperti contoh saat
menafsiri kata بورك dalam menafsiri surat
an-Naml ayat 8 yang diidentikan dengan berkah yang diartikan dengan قدس او
طهر او زيادة خير kudus, suci,
dan bertambahnya kebaikan.[16]
Allah menggunakan bentuk muta’addi majhul yang menunjukkan adanya
objek namun subjek disembunyikan. Sedangkan bentuk bentuk lazimnya adalah تبارك.[17]
Selain menafsiri kata-kata yang dianggap
khusus dan mengandung konsep tertentu, Abu Hayyan juga menaruh perhatiaannya
pada asbab an-nuzul, menjelaskan nasikh dan mansukh, memaparkan qiraah-qiraah
dan perbedaannya terhadapa suatu ayat yang diperselisihkan. Abu Hayyan juga
menyertakan argument fiqih bila menemui ayat yang berimplikasi hukum. Runtutan
penafsiran Bahrul Muhith adalah diawali dengan mengurai makna kata per kata,
kemudian makna kalimat per kalimat.jika terdapat makna yang berbeda dalam satu
kalmia, maka akan diuraikan keduanya untuk ketahui dan dibandingkan untuk
dicari makna yang lebih sesuai. Kemudian dalam rangkaian penafsiran juga
diutarakan kesinambungan ayat dengan ayat sebelumnya sebagai upaya mengetahui
pertalian antar ayat. Abu Hayyan juga member komentar akhir dengan menguraikan
peryataan-pernyataan penutup serta beberapa kesimpulan yang diuraikan dengan
sastra.
3.
Keterpengaruhan
Bahrul Muhit
Bahrul
muhith sebagaimana kitab atau karya yang lahir sebagai buah penafsiran tidak
lepas dari pengaruh pemikiran lainnya yang mengkonstruksi pengetahuan penulis.
Dalam menguraikan ayat-ayat fiqih, Abu Hayyan menggunakan landasar madzahib
al-Arba’ah dan pendapat lainnya lainnya. Hal ini sebagaimana rujukannya dalam
menafsiri surat al-Maidah 5:6[18]
tentang mengusap kepala. Ia mengutip argument kebahasaan Zamakhsyari yang
menyandingkan term mash dengan term ilshoq. Ilshaq menurut
Zamaksyari bermakna mengusap kepala baik sebagian maupun secara keseluruhan.[19]
Keterpengaruhan
Abu Hayyan dengan sosok controversial Zamakhsyari ini naik ke permukaan
sebagaimana kritik murid Abu Hayyan yang bernama Tajuddin Ahmad bin Abdul-Qadir
bin Maktum (w. 749 H) yang mempersoalkan kemuktazilahan Zamakhsyari yang
dikutip gurunya. Ia berargumen sebagaimana yang diyakini adz-Dzahabi bahwa abu
hayyan menolak pandangan kaum bathiny, di antaranya adalah kaum filsuf dan kaum
rasionalis yang meyakini adanya makna batin di dalam dhahir nash dalam ta’wil
mereka terhadap al-Qur’an. Dari sinilah term tafsir di benturkan dengan ta’wil.[20]
Tidak
mungkin Abu Hayyan mengurtip argument kaum rasionalis seperti mu’tazilah. Namun
kenyataannya ia mengutip argument-argument zamakhsyari. Hal ini ditambah lagi
dengan kutipan Abu hayyan terhadap Ibnu Athiyyah (w 541 H) yang juga merupakan
sosok yang juga kontroversial sebagaimana Ibn Taimiyah pernah menyebut penulis
tafsir Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz ini telah I’tizal meski telah menyatakan sebagai
asy’Ary.[21]
Untuk
memahami ketumpang-tindihan ini, melalui karya Darrul Luqith min Bahrul
Muhith, Tajuddin menjelaskan bahwa memang Abu Hayyan mengutip Ibn
Zamakhsyari dan Ibn Athiyyah, namun apa yang ia kutip tidak terkait dengan aspek
kemu’tazilahan dan hanya aspek kebahasaan, karena Zamakhsyari dan Ibn Athiyyah
selain merupakan rasionalis, namun mereka berdua memiliki sisi keahlian lain
yaknoi dari segi cabang keilmuan bahasa dan sastra. Upaya penjelasan ini
kemudian diteruskan oleh Yahya asy-Syawi al-Maghribi yang menulis karya
berjudul Baina Abi Hayyan wa Zamakhsyari. Karya ini ditujukan sebagai
upaya menjauhkan Abu Hayyan dari klaim bahwa ia bagian dari mu’tazilah.[22]
Penafsiran
Abu Hayyan terhadap ayat ke 64 surat al-Maidah semakin mempertegas posisinya
sebagai seorang Asyariyyah yang tidak sama dengan kaum bathini, dari para
filsuf dan sufi. Tidak sama dengan Zamakhsyari, Ibn Athiyyah, ar-Razi, dan
Baqilani. Ia menyatakan dalam menafsiri ayat diatas tentang tangan tuhan ialah
dengan menjauhi pemikiran antropomorfsime tanpa mempertanyakan (bila kaifa).
D.
Karakteristik Bahrul Muhit
1.
Analisa
Sintagmatis Abu Hayyan
Sewcara
intrinsik, Abu Hayyan menjelaskan bahwa ayat al-Qur’an merupakan rangkaian
dengan susunan sintagmatis yang terdiri dari fungsi-fungsi tertentu. Pengurutan
term tidak dilakukan secara acak, namun secara presisi Tidak secara kebetulan,
namun memang terdapat kesengajaan dari author yang ingin menyampaikan
pesan-pesan melalui runtutan ini. Dalam salah satu ayat tepatnya surat an-Nisa
ayat 43. Secara indah, Abu Hayyan menafsiri al-Qur’an berdasarkan runtutannya.
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ او لامستم النساء
Terdapat
empat term yang bergaris bawah pada ayat di atas. Keempat term tersebut juga
sekaligus mewakili empat alasan diperbolehkannya tayammum. Abu Hayyan
menjelaskan alasan Allah mengurutan empat term di atas yakni untuk menunjukkan
tingkatan keadaan basyariyyah manusia berdasarkan dari yang paling berat hingga
yang paling ringan. Dari hal yang paling jarang dialami manusia hingga hal yang
paling sering dialami manusia. Ayat di atas menempatkan sakit lebih berat dari
pada hajat bepergian, hajat bepergian lebih berat daripada buang hajat, dan
buang hajat lebih berat dari pada menyentuh perempuan.[23]
Keadaan basyariyah dalam an-Nisa’ 43
Sakit è bepergian è buang hajat è meyentuh perempuan (jima’)
2.
Perbedaan Pendapat Mengenai makna term lamastum
Ayat
di atas mengandung perbedaan pendapat yang bermula dari perbedaan qiraat.
Hamzah dan Kisa’I menggunakan term لمستم (tanpa
menggunakan alif) yang identik dengan makna
isytirak (kesepakatan laki-laki dan perempuan) hal ini membuat Imam
Malik menyatakan bahwa tanpa syahwat seorang laki-laki dan perempuan tidak
batal jika bersentuhan kulit. Imam Hanafi berpendapat baik syahwat maupun
tidak, seorang tidak harus bersuci, karena menyentuh yang dimaksud adalah
jima’. Imam Syafi’I termasuk sangat berhati-hati dalam hal ini dengan
mendefinisikan لامستم dengan إذا أفض بشيء من جسده إلي بدن المرأة jadi,
bagaimanapun dan dengan anggota badan manapun, persentuhan kulit akan
membatalkan wudhu. Hal ini berbeda dengan argument auza’I yang menyatakan
menyentuh adalah dengan tangan. Selain tangan tidak dinamakan menyentuh.[24]
Imam Syafi’I memang terkesan seorang yang sangat
hati-hati dalam menentukan pendapatnya sebagai istinbat dari sumber hokum. Hal
ini terlihat dengan pengambilan keputusannya dalam menjelaskan tafsir dari term
مرضي pada ayat di atas. Ketika Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik berpendapat seorang yang sehat ketika takut menjadi sakit saat
melakukan wudhu dengan menggunakan media air boleh tayammum, Imam Syafii tidak
membolehkannya karena ayat tersebut secara tekstual menjelaskan tayammum adalah
keringanan dari tuhan untuk orang yang sakit, bukan orang yang takut sakit.[25]
[1]
Badruddin
Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut:
Da>r
al-Kita>b
al-‘Ilmiyyah, 2007), Hlm. 326.
[2]
Secara
etimologis Kata qira>’a>t (قراءات) merupakan bentuk jama’ dari qira>’ah (قراءة ) yang dalam qaidah bahasa Arab merupakan bentuk mas}dar. Sedangkan, bentuk mad}i
kata ini adalah قرأ , dan bentuk mud}a>ri’nya ialah يقرأ. Kata ini dalam
bentuknya sebagai mashdar dapat juga menjadiقرأَن yang memiliki makna تلا
- تلاوة yakni membaca. Selain
bermakna membaca, kata ini juga bermakna الجمع dan الضمّ. Lihat : Ibn Manz{ur, Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah), hlm.157. Secara terminologis, Qiraah sering dimaknai :
هو علم يعرف
به كيفية النطق بالكلمات القرأنية وطريق أداءها إتّفاقا و اختلافا مع عزو كل وجه لنا قله”“qira>’ah adalah ilmu
untuk mengetahui tata cara mengucapkan kalimat Qur’ani dan metode
memposisikannya sesuai dengan kesepakatan maupun perbedaannya yang dinisbatkan
pada setiap kemungkinan wajah dimana ia dinukil” orang yang pertama kali
membukukan ilmu qiroat adalah Abu Ubaid al-Qasim bin Sala>m (w. 224 H), sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang pertama
kali menyusun buku metodologi ilmu qiroat adalah Abu> Hati>m as-Sijista>ni (w. 255 H).Lihat: Abdul Qayyu>m bin Abdul
Gaffu>r as-Sindy, ‘Ulu>m al-Qira>’at (Beirut:
al-Maktabah al-Amda>diyyah, 2001), hlm. 15.
[3] Di antara ketujuh Imam Qiraat tersebut adalah:
1) Na>fi’ bin Abdirrah}ma>n (w. 169 H), 2) Abdulla>h bin Kas}i>r (w. 120
H), 3) Abu> Amr (w. 154 H), 4) Abdulla>h bin Ami>r (w. 118 H), 5)‘As}i>m (w. 127 H),
6) H}amzah bin H}abi>b (w. 156 H), dan 7) Ali bin H}amzah al-Kisa>’I (w. 189 H). Lihat: Badruddin Muhammad bin
Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut:
Da>r al-Kita>b al-‘Ilmiyyah, 2007), hlm. 226-227.
[4] Husain
adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist, 2005),
hlm. 271.
[5] Ahmad Khalid
Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan:
Daar Ammar, 2006), hlm. 13.
[6] Husain
adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist, 2005),
hlm. 271.
[7]
Husain
adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist, 2005),
hlm. 271.
[8] Selain sebab
ini, terdapat sebab lainnya seperti pendapat Abi Hayyan yang lebih memilih
penggunaan hadis dalam berpendapat yang jauh dari tradisi Andalusia yang
berhaluan pada logika. Tradisi Filsafat dan Manthiq membuat Abu Hayyan memilih
untuk mencari keleluasaan keilmuan. Lihat
Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr
al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 17.
[9]
Ahmad Khalid
Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan:
Daar Ammar, 2006), hlm. 17.
[10] Husain
adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist, 2005),
hlm. 271.
[11]
Ahmad Khalid
Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan:
Daar Ammar, 2006), hlm. 47-56.
[12] Lihat Audah
Abu Halib, “I’tiradhat Abu Hayyan ‘Ala al-Farra’ “, makalah Fakultas Adab
Jami’ah Islamiyyah, Gaza, 2011 hlm. 12.
[13] Muhammad Hasan
Abbas al-Asadi, “Rudud Abu Hayyan al-Andalusi wa Tarjihatih Fi Tadzkirah
an-Nuhah” jurnal Jamiah lilid 18 ke III 2010, hlm. 800.
[14]
Ahmad Khalid
Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan:
Daar Ammar, 2006), hlm. 17.
[15]
Husain
adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist, 2005),
hlm. 272.
[16]
Hayyan
al-Andalusi, Bahrul Muhith Juz 7 (Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiyah,
1993) Hlm. 54.
[17]
Ahmad Khalid
Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan:
Daar Ammar, 2006), hlm. 131.
[18]
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
[19]
Abu Hayyan
al-Andalusi, Bahrul Muhith (Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993) Hlm.
451.
[20]
Ta’wil berasal dari
kata ‘aul yang bermakna kembali. Ta’wil merupakan upaya untuk
mengembalikan maksud ayat pada makna yang sebenarnya. Beberapa ayat al-Qur’an
dianggap banyak memiliki makna majazi, sehingga penta’wil mencoba menggeser
makna dari sisi tekstualitas redaksi ayat. Menurut Quraish Shihab, ta’wil adalah
mengembalikan makna kalimat kea rah yang bukan makna harfiyahnya. Terlepas dari
pemaknaan ini, beberapa ulama ada yang menyamakan antara tafsir dengan ta’wil
dan ada pula yang membedakannya. Beberapa mufassir juga bahkan menamai kitab
tafsirnya dengan menggunakan istilah ta’wil. Hal ini sebagaimana
ath-Thabari (839-923 M) yang menamai kitabnya dengan “Jami’ al-Bayan fi
Ta’wil ayat al-Qur’an”. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Muhammad
Ibrahim al-Qasimy (1866-1914 M) yang menamai karyanya dengan Mahasin
at-Ta’wil. Selain definisi-definisi tersebut, banyak lagi definisi yag
menjelaskan tentang ta’wil. Salah satunya adalah Abu al-Qasi bin Habib
an-Nisaburi (406-1016 M) bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna ayat
namun tetap dengan berpegang pada ayat sebelum dan sesudahnya. Dalam melakukan
penta’wilan diperlukan sebuah istinbat.
Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa tidak semua penafsir adalah
penta’wil. Beberapa cendekia muslim
sangat menekankan kehati-hatian atas ta’wil ini, bahkan Nasr Hamed (1943-2010
M) dalam mafhum an-Nash juga turut membatasi bahwa bagaimanapun ta’wil
harus tetap berpegang pada teks, sehingga ta’wil tidak dapat meloncat dari
teks. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013),
220. Sementara, para Pakar menyebut bahwa ta’wil mengandung empat unsure
1. Nash/teks, 2. Maqashid asy-syari’ah, 3. Kondisi atau kenyataan
yang dibicarakan oleh Nash, dan 4. wawasan seorang penta’wil. Ibid.
hlm. 225. Sehingga, darisini dapat diketahui bahwa Tafsir adalah proses
mengurai dalam menjelaskan, sedangkan ta’wil adalah upaya mengembalikan
makna pad aide awal gagasan. Lihat : Kamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa
Agama (Bandung : Miazan, 2011), hlm. 211.
[21]
Ia menafsiri
surat yunus 10:26 tentang term balasan Husna pada orang yang berbuat
husna sebagai surga sebagaimana argument ulama pada umumnya, namun ketika
menafsiri ziyadah ia mengemukakan maknanya sebagai melihat Allah. Ia
juga menyebutkan makna ziyadah sebagai ruangan yang berhias mutiara sebagaimana
pendapat Ali bin Abi Thalib. Ia menutup argument dengan merasionalkan bahwa
yang dimaksud ziyadah adalah perlipatan pahala menjadi 700 kali lipat. Jika
melihat argumentnya, sebenarnya Ibn Athiyyah hanya mengemukakan pendapat orang
lain, dan bukan I’tizal. Lihat: Abu Muhammad Abdul Haq Ibn Athiyyah, Muharror
al-Wajiz jilid 4 (Beirut: Daar al-Khair, 2007), hlm. 474.
[22]
Yahya asy-Syawi
menytatakan bahwa alasan Abu hayyan mengutip Zamakhsyari adalah:لانه من مهارة فائقة فى تحلية بلاغة القران و
قوة بيانة Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar
el-Hadist, 2005), hlm. 274.
[23]
Abu Hayyan
sebenarnya menjelaskan runtutan term di atas berdasarkan yang paling sering
dialami oleh manusia pada umumnya seperti manusia lebih banyak sehat dari pada sakit.
manusia lebih sering mengalami persentuhan dengan orang lain daripada buang
hajat; manusia lebih sering buang hajat daripada bepergian; manusia lebih
sering bepergian daripada sakit. dalam kehidupannya sakit jarang dialami oleh
manusia, kebanyakan waktunya dijalani dengan sehat. lihat Abu Hayyan
al-Andalusi, Bahrul Muhith (Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993) hlm
269.
No comments:
Post a Comment