Oleh : Muhammad Barir, S.Th.I
Dalam perspektif sejarah, Islam bukanlah
agama pertama yang berimplikasi bahwa mushaf al-Qur’an bukanlah mushaf kitab
suci yang pertama. Al-Qur’an berada dalam lintasan pewahyuan Kitab Suci lainnya
yang berada pada masa yang di sebut Angelica Neuwirth, Barbara Finster, dan
penekun kajian historis kritis lainnya dengan masa late antiquity.[1] Selain
masa late antiquity, al-Qur’an juga berhubungan dengan kitab suci yang
berada pada masa sebelumnya yakni “classical antiquity”. Late
antiquity merupakan istilah yang
dipakai oleh pakar sejarah dalam menentukan titik transisi periodesasi (frame
time) dari masa akhir classical antiquity menuju permulaan masa middle
age. Para pakar sejarah berbeda pendapat mengenai tahun pasti yang yang
dapat dijadikan batasan masa late antiquity. Peter Brown berpendapat
masa late antiquity terjadi pada antara abad kedua dan kedelapan masehi.
Hal tersebut ia perjelas melalui karyanya The World of Late Antiquity
: AD 150 – 750.[2]
Dengan mengacu
pada pembagian waktu ini, kajian terhadap al-Qur’an dapat dikaitkan dengan intertekstualiti
studies. Studi tentang al-Qur’ann tidak hanya terbatas pada kritik internal
dan eksternal al-Qur’an, namun menyeberanginya dengan melakukan komparasi atas
kitab-kitab lainnya yang berada di luar tradisi Islam. Dengan kemungkinan studi
intertekstualitas tersebut, upaya komparasi antara al-Qur’an tidak terbatas
dengan kitab lainnya yang semasa. Namun bahkan al-Qur’an memiliki kaitan dengan
kitab yang hadir pada masa classical antiquity. Dalam hal tersebut ialah
kitab Taurat dan Zabur yang—jika mengacu pada pembagian Peter Brown di atas—diwahyukan
sebelum masa late antiquity.
Islam dalam realitas
kesejarahannya terkait erat dengan agama sebelumnya. Kitab suci-kitab suci yang
menjelaskan keimanan membawa kepercayaan yang dipeluk, diyakini, dan dilegalkan
sebagai agama dalam konteks global termasuk pula agama bangsa Arab ketika itu. Dalam
konteks sejarah, dalam rentang waktu tertentu, kitab suci sebagai bagian dari
peristiwa (event) berada dalam alur diakronis dan alur singkronis.
Antara kitab suci masing-masing melintasi waktu yang berbeda, ada yang turun di
awal dan ada yang baru hadir belakangan. Karena masing-masing kitab memiliki
orientasi yang berdekatan, maka yang terjadi kemudian adalah masing-masing
memiliki banyak persamaan selain juga terdapat beberapa perbedaan.
Kepercayaan
tentang hubungan kausalitas[3]
bahwa peristiwa dalam sejarah tidak lepas dari peristiwa lainnya memunculkan
asumsi bahwa kitab suci-kitab suci yang muncul menjelang keruntuhan Romawi
memiliki keterkaitan terutama kitab yang hadir belakangan yang menjadikan kitab
sebelumnya sebagai rujukan sumber. Kajian ini yang memfokuskan diri pada
konsepsi origin dari kitab suci menjadi bagian dari kajian historis kritis (historical
critisism) yang pada gilirannya juga melibatkan kajian filologis. Di antara
tokoh yang menjadi sosok sentralnya adalah Abraham Geiger (1810-1874 M)[4]
dan Theodor Noldeke (1836-1920 M).[5]
Keduanya melakukan riset tentang al-Qur’an yang diyakini muncul pada masa Nabi
Muhammad (670-732 M).
Nabi Muhammad
sebagai sosok historis, petualang, dan seorang yang memiliki jaringan dengan
bangsa luar terutama diddukung oleh profesinya sebagai seorang pedagang yang
hilir mudik melakukan perjalanan hingga Syam dan Yaman menemui berbagai klien dan
berjumpa dengan orang dari berbagai latar belakang yang dalam perjalanan
tersebut membangun pra-pemahaman Nabi. Baik Abraham Geiger dan Noldeke masing-masing
percaya bahwa Nabi terpengaruh oleh orang-orang yang ada dalam lingkungan
hidupnya tersebut yang kemudian menjadi sumber munculnya al-Qur’an.
[1]
Era menjelang
keruntuhan Romawi, era ini disebut-sebut mewakili akhir dari masa pewahyuan
kitab suci. L;ihat seperti tulisan Barbara Finster, “Arabia in Late Antiquity:
an Out Line of the Cultural Situation in
the Peninsula at the Time of Muhammad”, dalam Angelica Neuwirth dkk. (ed.), The
Qur’an in Context (Leiden: Brill, 2010), hlm. 61-114.
[2] Cody
Franchetty, “An Ever Lasting Antiquity : Aspects of Peter Brown’s The World of
Late Antiquity”, dalam Global Journal of Human Social and Science, Vol
XIV, 2014. Hlm 1.
[3]
Hubungan
kausalitas ini disebut Kuntowijoyo dengan model lingkaran sentral. Berbeda
dengan model evolusi yang menunjukan perubahan bentuk kebudayaan suatu unsur
tertentu adalah berkaitan dengan perubahan pada dirinya sendiri. Model
lingkaran sentral lebih merupakan bentuk perubahan-perubahan peristiwa
berdasarkan sebab-akibat dalam proses diakronis yang melibatkan tidak hanya
dirinya sendiri namun mempengaruhi perubahan kebudayaan tertentu yang ada pada
lingkungannya. Sebuah peristiwa yang terjadi menurut model ini tidaklah terjadi
dengan sendirinya, namun terjadi karena peristiwa sebelumnya dan demikian
terus-menerus terjadi hingga memunculkan peristiwa-peristiwa yang baru. Lihat
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm.
51.
[4]
Ken Spiro, The
Reform Movement : Crash course in Jewis History (Jewish Pathways, 2008),
hlm. 5.
[5] Al Makin,
Antara Barat dan Timur (Jakarta: Serambi, 2015), hlm. 101.
No comments:
Post a Comment