Response paper
Muhammad Barir, S.Th.I
Angelica Neuwirth melakukan studi tentang perbandingan
intertekstualitas antara al-Qur’an dengan kitab sebelumnya yakni Psalm yang
merupakan bagian dari Bible yang sangat familiar di era al-Qur’an dalam tradisi
Arab atau yang biasa disebut dalam tradisi Islam adalah Zabur dan juga identik
dengan Mazmur. Penyebutan kitab Zabur sendiri terkait dengan kata z-b-r
yang bermakna membaca. Zabur sendiri merupakan kitab yang diwahyukan kepada
nabi daud atau yang dalam tradisi Yahudi dan kristiani dikenal dengan David.
Intertekstualitas dipakai oleh Neuwirt didasarkan atas asumsi bahwa
al-Qur’an, Taurat, Zabur, dan Injil cukup setara secara time frame karena
ketiganya berada pada waktu yang bersamaan yakni pada akhir era pre-canonical
yang berakhir pada abad 6-7 masehi seiring runtuhnya romawi. Karena al-Qur’an
setara secara time frame tersebut maka cukup relevan untuk dilakukan kajian
intertekstualirtas dengan kitab-kitab lainnya secara diakronis.
Secara diakronis, Islam lahir di sekitar peradaban lainnya seperti
syiria. Peradaban-peradaban sekitar inilah yang memiliki pengaruh terhadap
al-Qur’an lewat persentuhan tradisi. Dalam contoh-contoh kecil, terkait tradisi
peribadatan Syiriah misalnya. Dalam memulai membaca kitab Psalm, terdapat
ritual pembacaan pembuka yang disebut Suraya yang kemudian
mengindikasikan bahwa term suraya ini digunakan dalam menyebut kumpulan ayat
yakni surat. Hal ini pula mengindikasikan bahwa transmisi tradisi dari luar
yang masuk ke semenanjung Arab dilakukan secara oral sehingga sangat rentan
terhadap ketidaktepatan penyebutan.
Pertanyaan Neurwith mengenai
apa hubungan al-Qur’an dengan Psalm?. Ia memulai menunjukkan bukti keterkaitan
antara al-Qur’an dengan Psalm dengan mengutip surat ar-Rahman yang memuat
adanya konsep kekekalan Tuhan dan kebinasaan manusia sebagaimana ar-Rahman 55:
27 yang dijadikan khat pada batu nisan Turkan Khatun, seorang shalehah dari
mongol yang dikubur di Jarussalem. Ayat tersebut yang memuat konsep kekekalan
Tuhan dan kesirnahan manusia ternyata konsep seperti ini ada dalam kitab Psalm.
Selain itu, al-Qur’an juga mengakui bahwa ia sendiri merupakan
kitab yang berhubungan dengan kitab-kitab sebelumnya seperti Taurat atau Torah,
Injil, dan juga Zabur. Namun al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai penerus dan
koreksi atas kitab-kitab terdaulu yang telah berubah. Penjelasan hal tersebut
bisa ditemukan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ 17: 55, al-Anbiya 21: 105, dan
an-Nisa 4: 163. Hal tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an merupakan fungsi baru
yang mengekspresikan kitab-kitab sebelumnya.
Neuwirth juga menemukan beberapa surat yang mirip dengan
istilah-istilah yang dipakai dalam psalm. Istilah-istilah tersebut meliputi
terdapat dalam tiga pembagian yang pertama adalah bunyi (echoes) seperti
surat al-Kautsar dan al-Insyirah; kedua adalah nyanyian (hymns) seperti
surat al-A’la dan al-Alaq; ketiga adalah pengulangan (refrain) seperti
surat ar-Rahman.
Selain itu Neuwirth juga mengutib pendapat Heinrich Speyer yang
menyatakan bahwa muatan Taurat telah terefleksikan dalam al-Qur’an. Ia
menyatakan bahwa terdapat 141 kemiripan yang ditemukan melalui studi di Berlin
yang proyek ini dinamakan corpuys coranicum. Kemiripan-kemiripan
tersebut membuktikan bahwa al-Qur’an merupakan kitab penerus atau kitab
lanjutan dari kitab terdahulu. Meski mirip namun al-Qur’an juga memiliki
karakteristik tersendiri yang orisinil tradisi Arab seperti bentuk linguistik (grammer),
gambaran (contoh-contoh dan perumpamaan yang dipakai), dan susunan literatur.
Terdapat dua dimensi yang mempengaruhi al-Qur’an. Pertama adalah
tradisi Makkah dan kedua adalah tradisi Madinah. Makkah yang merupakan warisan
Ibrahim member pengaruh tradisi millah. Sedangkan Madinah yang dekat
dengan masyarakat Yahudi memberikan pengaruh tradisi kanonik, sejarah, dan
peradaban lainnya yang ada pada tradisi Yahudi. Hal tersebut dapatr dilihat
melalui contoh kecil yaitu sholat. Ritual ibadah tersebut dalam satu sisi
mengandung unsur tradisi Madinah dengan peribadatannya dan Makkah dalam
mepengaruhi unsure lain sebagaimana di dalamnya termuat nama Ibrahim dalam
tahiyyat.
Apa yang dikaji Neuwirth merupakan bagian selanjutnya dari kajian
sebelumnya, mulai munculnya revisionis pada 1977 kemudian di susul dengan
beberapa kajian tentang al-Qur’an seperti kajian penelusuran bahasa Aramaic
pada tahun 2000, hingga kajian hermeneutic yang berkembang dan dikembangkan
baik oleh sarjana non dan Muslim sendiri.
al-Qur'an dalam Frame Late Antiquity
Islam bukanlah
agama pertama yang berimplikasi bahwa mushaf al-Qur’an bukanlah mushaf kitab
suci yang pertama. Al-Qur’an berada dalam lintasan pewahyuan Kitab Suci lainnya
yang berada pada masa yang di sebut Angelica Neuwirth, Barbara Finster, dan
penekun kajian historis kritis lainnya dengan masa late antiquity.[1] Selain
masa late antiquity, al-Qur’an juga berhubungan dengan kitab suci yang
berada pada masa sebelumnya yakni “classical antiquity”. Late
antiquity merupakan istilah yang
dipakai oleh pakar sejarah dalam menentukan titik transisi periodesasi (frame
time) dari masa akhir classical antiquity menuju permulaan masa middle
age. Para pakar sejarah berbeda pendapat mengenai tahun pasti yang yang
dapat dijadikan batasan masa late antiquity. Peter Brown berpendapat
masa late antiquity terjadi pada antara abad kedua dan kedelapan masehi.
Hal tersebut ia perjelas melalui karyanya The World of Late Antiquity
: AD 150 – 750.[2]
Dengan mengacu
pada pembagian waktu ini, kajian terhadap al-Qur’an dapat dikaitkan dengan intertekstualiti
studies. Studi tentang al-Qur’ann tidak hanya terbatas pada kritik internal
dan eksternal al-Qur’an, namun menyeberanginya dengan melakukan komparasi atas
kitab-kitab lainnya yang berada di luar tradisi Islam. Dengan kemungkinan studi
intertekstualitas tersebut, upaya komparasi antara al-Qur’an tidak terbatas
dengan kitab lainnya yang semasa. Namun bahkan al-Qur’an memiliki kaitan dengan
kitab yang hadir pada masa classical antiquity. Dalam hal tersebut ialah
kitab Taurat dan Zabur yang—jika mengacu pada pembagian Peter Brown di atas—diwahyukan
sebelum masa late antiquity.
Islam dalam realitas
kesejarahannya terkait erat dengan agama sebelumnya. Kitab suci-kitab suci yang
menjelaskan keimanan membawa kepercayaan yang dipeluk, diyakini, dan dilegalkan
sebagai agama dalam konteks global termasuk pula agama bangsa Arab ketika itu. Dalam
konteks sejarah, dalam rentang waktu tertentu, kitab suci sebagai bagian dari
peristiwa (event) berada dalam alur diakronis dan alur singkronis.
Antara kitab suci masing-masing melintasi waktu yang berbeda, ada yang turun di
awal dan ada yang baru hadir belakangan. Karena masing-masing kitab memiliki
orientasi yang berdekatan, maka yang terjadi kemudian adalah masing-masing
memiliki banyak persamaan selain juga terdapat beberapa perbedaan.
Kepercayaan
tentang hubungan kausalitas[3]
bahwa peristiwa dalam sejarah tidak lepas dari peristiwa lainnya memunculkan
asumsi bahwa kitab suci-kitab suci yang muncul menjelang keruntuhan Romawi
memiliki keterkaitan terutama kitab yang hadir belakangan yang menjadikan kitab
sebelumnya sebagai rujukan sumber. Kajian ini yang memfokuskan diri pada
konsepsi origin dari kitab suci menjadi bagian dari kajian historis kritis (historical
critisism) yang pada gilirannya juga melibatkan kajian filologis. Di antara
tokoh yang menjadi sosok sentralnya adalah Abraham Geiger (1810-1874 M)[4]
dan Theodor Noldeke (1836-1920 M).[5]
Keduanya melakukan riset tentang al-Qur’an yang diyakini muncul pada masa Nabi
Muhammad (670-732 M).
Nabi Muhammad
sebagai sosok historis, petualang, dan seorang yang memiliki jaringan dengan
bangsa luar terutama diddukung oleh profesinya sebagai seorang pedagang yang
hilir mudik melakukan perjalanan hingga Syam dan Yaman menemui berbagai klien dan
berjumpa dengan orang dari berbagai latar belakang yang dalam perjalanan
tersebut membangun pra-pemahaman Nabi. Baik Abraham Geiger dan Noldeke masing-masing
percaya bahwa Nabi terpengaruh oleh orang-orang yang ada dalam lingkungan
hidupnya tersebut yang kemudian menjadi sumber munculnya al-Qur’an.
[1]
Era menjelang
keruntuhan Romawi, era ini disebut-sebut mewakili akhir dari masa pewahyuan
kitab suci. L;ihat seperti tulisan Barbara Finster, “Arabia in Late Antiquity:
an Out Line of the Cultural Situation in
the Peninsula at the Time of Muhammad”, dalam Angelica Neuwirth dkk. (ed.), The
Qur’an in Context (Leiden: Brill, 2010), hlm. 61-114.
[2] Cody
Franchetty, “An Ever Lasting Antiquity : Aspects of Peter Brown’s The World of
Late Antiquity”, dalam Global Journal of Human Social and Science, Vol
XIV, 2014. Hlm 1.
[3]
Hubungan
kausalitas ini disebut Kuntowijoyo dengan model lingkaran sentral. Berbeda
dengan model evolusi yang menunjukan perubahan bentuk kebudayaan suatu unsur
tertentu adalah berkaitan dengan perubahan pada dirinya sendiri. Model
lingkaran sentral lebih merupakan bentuk perubahan-perubahan peristiwa
berdasarkan sebab-akibat dalam proses diakronis yang melibatkan tidak hanya
dirinya sendiri namun mempengaruhi perubahan kebudayaan tertentu yang ada pada
lingkungannya. Sebuah peristiwa yang terjadi menurut model ini tidaklah terjadi
dengan sendirinya, namun terjadi karena peristiwa sebelumnya dan demikian
terus-menerus terjadi hingga memunculkan peristiwa-peristiwa yang baru. Lihat
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm.
51.
[4]
Ken Spiro, The
Reform Movement : Crash course in Jewis History (Jewish Pathways, 2008),
hlm. 5.
[5] Al Makin,
Antara Barat dan Timur (Jakarta: Serambi, 2015), hlm. 101.
No comments:
Post a Comment