Oleh : Muhammad Barir_
Tidak banyak yang mengartikan seni lebih luas dari sekedar
keindahan estetik. Beberapa bahkan ada yang menganggap seni tidak penting,
tidak berguna, atau bahkan seni adalah sejarah kelam Islam. Dzunnun Al-Mishry
(w. 856 M) adalah sedikit di antara tokoh Muslim yang menganggap bahwa seni
adalah bagian dari khazanah peradaban dan nilai yang secara tak terduga telah dimiliki
Islam secara natural seiring perjalanan realitas sejarah.
Seni merupakan bahasa universal capaian umat manusia. Islam dan
seni adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Seorang peneliti yang merupakan Professor
of Middle Eastern Studies, Anne K. Rasmussen mungkin lebih menghargai bahwa
Islam memiliki tradisi seni yang berkwalitas. Mungkin dia lebih lihai memainkan
senar-senar gitar gambus daripada kebanyakan seniman muslim. Mungkin ia juga
lebih mendalami dalam hal kesejarahan seni dan maqamat. Ia bahkan pernah
melakukan penelitian tentang seni Islam hingga ke Negara muslim terbesar
seperti Indonesia dan lahirlah biku “Women, the Recited Qur’an, and Islamic
Music in Indonesia.” Atau seperti Anna M. Gade yang mengapresiasi tradisi
Islam Indonesia dengan terbitnya karyanya yang berjudul “Perfection Makes
Practice: Learning, Emotion, and the Recited Qur’an in Indonesia.”
Pertanyaan kemudian yang muncul adalah kenapa umat Islam secara
perlahan mulai meninggalkan peradabannya dan kenapa bangsa Barat secara
berlahan kemudian mengambil alih peradaban itu?.
Tidak ada yang salah dengan seni. Penyimpangan bukan menandai bahwa
seni itu adalah sejarah kelam, namun dari pribadi seniman itulah yang tidak
dapat memahami esensi dan rasa dari dalam kesenian itu. Jika mengembalikan
definisi seni menurut Dzunnun Al-Mishry seni adalah shouthu haqqin zuj’ijul
quluba ilal khair “seni adalah suara kebenaran yang menggerakkan hati menuju
kebaikan”.
Seni adalah ritme dari kumpulan-kumpulan re-mi-fa-si-la-do
atau mungkin fa-sol yang membentuk suara maqam-maqam bayathi, rast,
hijaz, syaukah, atau bahkan maqam rast alan nawa yang
berkembang sebagai disiplin etnomusicology. Kesalahan menempatkan re-mi-fa-si-la-do
tidak pada tempatnya akan berdampak pada rusaknya nilai estetika dari
bentuk output seni itu baik berupa lagu, sajak puisi, maupun hymne.
Keteraturan seni tidak hanya keluar dari instrument-instrumen
musik, namun juga suara yang keluar dari tenggorokan. Rebana, gitar, biola, dan
lain sebagainya adalah sama dengan lidah dan pita suara yang ada di rongga
tenggorokan yang berfungsi menghasilkan suara-suara keindahan yang dapat diukur
berdasarkan re-mi-fa-si-la-do atau juga fa-sol. Jika rebana,
gitar, biola, dan instrument lainnya haram, lantas apakah itu artinya suara
kita juga haram?. Tradisi membaca Al-Qur’an dengan ilmu maqamat yang memiliki
tingkatan nada tertentu juga menggunakan formulasi re-mi-fa-si-la-do.
Lalu bagaimana kerangka Dzunnun Al-Mishry ini digunakan untuk
memahami kondisi Indonesia?.
Indonesia selain memiliki Sumberdaya Alam yang berlimpah juga
memiliki Sumberdaya Manusia yang potensial. Di antara mereka merupakan ahli
sosial, ekonomi, hukum, politik, goelogi, dan lain sebagainya. mereka membawa
nadanya masing-masing entah itu sol, entah itu fa, entah itu re.
ketidaktepatan dalam meramu nada itu akan membuat irama yang sedang bermain
di Indonesia ini menjadi sumbang. Saat di mana bidang hukum malah diisi oleh
orang-para politikus. Saat di mana bidang perekonomian malah diisi oleh
orang-orang hukum, atau saat di mana bidang agama malah diisi oleh orang-orang industri.
Tumpang tindih atau yang sering diistilahkan dengan wrong man in the wrong
place ini membuat Indonesia penuh dengan nyanyian-nyanyian sumbang.
Dzunnun Al-Mishri (w. 856 M) yang lahir di pesisir Timur Sungai Nil
yang hidup abad ke tiga Hijriyah memberi pelajaran mengenai seni dan
korelasinya terhadap perbaikan kepribadian secara kolektif dan individu. “Nun”
berasal dari nama ikan yang banyak hidup di sungai Nil. “Nun” juga merupakan
awal dari surah Al-Qalam (68) di mana huruf itu berbentuk tempat tinta yang
darinya pena bisa berwarna. “Nun” juga merupakan nama ulama yang setara dengan
kiai, ajengan, tuan guru, buya, gus dan lain sebagainya.
Filosofi “Nun”, dapat direpresentasikan untuk mengingatkan manusia
selalu berusaha memberikan banyak hal dan tidak kemudian selalu berharap
menjadi yang terdepan. Ia tetap berperan penting meski berada di balik layar.
Seperti wadah tinta yang selalu siap untuk memberi, tidak selalu harus menjadi
pena yang menulis karena jika ia tidak hati-hati bisa salah melangkah.
Bahawsa Arab
pun terus berkembang seiring persentuhan dengan dunia luar. Di Syiria, karakter
bacaan al-Qur’an bersentuhan dengan tradisi orang-orang Yahudi dalam
menyanyikan lagu-lagu liturgi dan membaca Taurat. Untuk itulah tausyih juga
identik dengan hymn. Penggunaan istilah hymn (musik
pujian yang identik dengan tradisi Yahudi dan Kristiani) dalam
untuk merujuk bait-bait (tausyih) maqam dimungkinkan
berhubungan dengan sejarah maqam bayati yang
berkembang di Syiria. Umumnya semua maqam dalam tilawah al-Qur’an akan bermuara
pada maqam bayati. Hal tersebut setara dengan cara
orang yahudi membaca Taurat dengan variasi bacaan yang akan kembali pada maqam seyga. Pada
mulanya maqam tersebut digunakan untuk musik liturgi atau
semacam pujian-pujian peribadatan.[1]
Seni sebagai
bahasa universal tidak memerlukan intelektualitas seseorang untuk menilainya.
Seseorang juga tidak memerlukan upaya menguasai beberapa bahasa. Hal itu karena
nyanyian indah tetap akan terdengar indah sebagaimana lukisan indah akan
terlihat indah. yang diperlukan adalah kejujuran dalam menilai.
[1] Mark L.
Kligman, Maqām
and Liturgy: Ritual, Music, and Aesthetics of Syrian Jews in Brooklyn (Michigan:
Wayne State University Press, 2009), hlm. 187-188.
No comments:
Post a Comment