Muhammad
Barir
04.15
WIB tahun 2004. Langit masih hitam. Udara dingin memenuhi tiap sudut kompleks
Pesantren. Deretan bangunan klasik khas pesantren berjajar nan khas. Pelan,
sedikit demi sedikit terdengar sayup alunan azan. Kian lama kian nampak suara
itu. Bergema menggetarkan permukaan-permukaan air seluruh penjuru desa Kranji.
Satu
persatu lampu menyala. Satu persatu pula santri membuka mata. Terbangun dari
lelap tidurnya. Beberapa nyenyak dan mengharuskan kakak pengurus untuk
mengibaskan sorban, sarung, dan apapun itu untuk membangunkan mereka.
Beberapa
tidur di serambi mesjid. Mereka bangun dan masuk ke dalam bilik-bilik kamar.
Bukan untuk berganti pakaian atau mengambil handuk untuk kemudian pergi
berwudhu, namun mereka tidur lagi di kamar itu.
Dengan
sabar, penuh sayangnya, Sanhudi bergilir dari kamar ke kamar. Menaruh harapan
agar upayanya digubris. “Banguuun…!, le… bangun...!.” maka bangunlah.
Beberapa
santri yang bangun terlihat keluar kamar. Beberapa di antaranya terlihat
terduduk lemas bersandar pada lemari-lemari kecil mereka. Di antara santri yang
keluar kamar pergi ke kamar sebelah. Mereka tidur lagi.
Para
santri cilik terlihat masih tidur dengan begitu polosnya. Tidur pulas dengan
air liur di mana-mana. Membasahi bantal, selimut, dan baju mereka. Tidak tega
bagi Sanhudi jika harus mengganggu kedamaian itu. Di beberapa sudut juga ada
santri senior setingkat Aliyah. Tidur pulas dengan beragam mimik muka dan aneka
macam ekspresi tubuh. Memasang wajah garang, Sanhudi mengayunkan tumitnya
menyasar kaki mereka. “Banguuun…!,” teriak sanhudi sedikit serak.
Para
santri berhamburan. Beberapa yang terkena terjangan tumit berlari sembari
mengusap-usap paha mereka yang sedikit ngilu. Dari jauh Sanhudi melihat mereka
dengan tatapan kosong. Sesekali ia tidak tega, sesekali ia ingin tertawa
melihat gelagat mereka, dan
sesekali ia puas karena telah menjalankan amanah Abah Kiai.
***
Ilustrasi
di ataas merupakan dialektika perspektif yang ada di dunia pesantren. Apa yang
dilihat dan didengar tidak selalu dapat ditangkap dengan baik atau bahkan
sering pula disalahpahami. Kita bisa menyampaikan kasih-sayang kita kepada
seseorang dengan bungkus kekesalan. Atau menyembunyikan senyuman kita di dalam
kemarahan. Santri memiliki segalanya untuk bisa bertahan hidup. Menerima apapun
yang terjadi. Mereka juga bisa mengubah situasi apapun itu menjadi berbalik 180o.
Santri
terlatih dari hal terkecil. Mulai dari cara mereka bangun tidur hingga tidur
lagi. Mereka siap tidur beralaskan lantai ubin. Mereka siap jika harus bangun,
berpindah tidur, dan dibangunkan lagi untuk kesekian kalinya. Mereka tidak
membalas meski hanya dengan kata-kata saat
mendapat hukuman jika memang mereka
salah.
“mereka
tidak akan beradu argumentasi, namun mereka akan mencari cara untuk menyalurkan
kreatifikas dan keinginannya melalui tindakan yang tidak terpikirkan dan
diduga-duga”
Mereka
bisa seperti itu karena yakin terhadap konsep barokah. Satu kata sederhana
dengan berjuta penafsiran. Bagi santri, apapun yang ada di dalam pesantren
adalah barokah. Benda, sikap, tindakan, pikiran, angan-angan, lamunan, bersitan
hati, angin, cerita, dan lelucon, semua adalah barokah. Disayangi adalah
barokah, dihukum adalah barokah, ditegur adalah barokah, tidur dengan apa
adanya adalah barokah, apapun di pesantren itu barokah. Barokah itu akan terus
mengalir tanpa putus karena ketulusan mereka yang yakin bahwa Allah telah
memberikan kelebihan prerogatif bagi pesantren yang itu mungkin tidak dijumpai
di tempat lainnya.
Tidak
ada paksaan untuk percaya pada konsep barokah. Barokah tidak ditujukan pada
kiyai, tempat sakral, kitab suci, ilmu, atau lainnya, tapi barokah adalah
keseluruhan nilai yang
murni dari kasih sayang Allah yang mengutus berbagai jenis kapasitas alam
sebagai distributor untuk menyalurkannya.
Saat
ini, eksistensi santri diakui melalui keppres No. 22 tahun 2015. Santri tetap
kuat meski tanpa keppres. Namun, paling tidak, dari keppres tersebut, kita bisa
mengenang kisah masa lalu. Merujuk pada peristiwa historis. Sebagaimana yang
dikenal dengan resolusi jihad yang dilontarkan KH. Hasyim Asy’ari pada tahun
1945. Perjuangan santri tidak hanya mengorbankan jiwa dan semangat, namun raga
dan jasad mereka telah menjadi bukti kerelaan melakukan apapun untuk mengukuhkan
konsep barokah.
Santri
memiliki segalanya yang ia dapat dari pesantren. Pesantren memiliki keseluruhan
nilai tradisi. Seorang sejarawan Belanda yang merupakan Professor Universiteit
van Amsterdam, Izaak Johannes Brugmans (w. 1992), percaya bahwa basis intelektualitas
muslim Nusantara terletak di Pesantren.
Pesantren mengakomodir keseluruhan tradisi. Tradisi pesantren menjangkau
khazanah peradaban luhur dari mana pun itu berasal. Bahkan tokoh literasi Barat
seperti Cornelis Christian Berg mengakui bahwa pesantren mewadahi keseluruhan
kekayaan tradisi. Identik dengan istilah shastri yang menunjukkan bahwa ulama
masa lalu berkenan untuk mengambil nilai luhur dari peninggalan Jawa,
Kapitayan, Hindu, Budha dan dari manapun itu asal tidak bertolak belakang. Mengadopsi
segala bentuk kapasitas berupa sistem sosial, budaya, hingga pemikiran yang
kemudian diamati, ditiru, dan dimodifikasi dengan sedemikian rupa untuk
disesuaikan dengan corak Islam.
Apakah sanhudi itu nama orang ?
ReplyDelete