Komentar perkembangan pesantren Nurul Qur’an al-Itiqamah, Guluk Guluk, dan
Sidogiri
Sebuah essay sosiologi agama
Muhammad
Barir, S.Th.I
Akar Sufistik Pesantren
Ahlu ash-Shuffah, berkembang dan dikenal oleh
umat Islam sebagai Simbol asketisitas (zuhud) umat Islam. Kehidupan mereka di
serambi masjid Nabawi dihabiskan untuk ibadah dan menuntut ilmu. Selain itu, keistimewaan
mereka adalah dapat selalu dekat dengan Nabi. Mereka merupakan sebagian
shahabat muhajjirin yang kemudian pergi meninggalkan rumahnya sebagai bentuk
loyalitas pada Islam. Makanan dan pakaian didapatkan dari kebaikan para sahabat
lain yang telah bekeerja atau dari sahabat anshar yang memang telah lama
menetap.
Perkembangan pesantren memiliki keterpengaruhan dengan lembaga
tradisional. Karl Steenbrink dan Zamakhsyari Dhofier menyebut pesantren terpengaruhi
oleh kebudayaan Hindu-Budha. Istilah santri berasal dari “shastri” atau orang
yang belajar kitab sastra. Tradisi pesantren juga identik dengan sistem Wihara
sebagai tempat penggemblengan diri dari hawa nafsu. Sedangkan, menurut Agus
Sunyoto, bukti pengaruh Hindu-Budha bisa dilihat melalui aktifitas harian dalam
pesantren. Ajaran dalam hindu-budha masih terefleksikan dalam pesantren.
Ajaran pesantren yang mirip dengan ajaran masa
Hindu-Budha adalah tentang prilaku santri pada guru. Dalam tradisi hindu-Budha,
terdapat ajaran tentang adanya tiga guru. Pertama adalah orang tua yang
mendidik dari kecil (guru rupaka), guru yang mengajarkan pengetahuan
ruhani (guru pangajyan), dan sosok pemimpin (guru wisesa). Kepada
guru-guru ini terdapat tata aturan dalam bersikap yang disebut guru bhakti.
Ajaran guru bhakti ini di antaranya ialah tidak duduk berhadapan dengan
guru, tidak memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang dibicarakan guru,
mengindahkan perintah meski dalam kondisi sesulit apapun, berkata hal yang
menyenangkan guru, turun dari tempatnya ketika ketika guru tiba, jika guru
berjalan mengikuti dari belakang.
Selain pengaruh Agama Jawa kuno, pengaruh Arab
juga terlihat. Ajaran pesantren yang mengikuti perkembangan Zawiyyah di Libya
juga terjadi. Asketisme seperti Zawiyat Muhammad bin Ali as-Sanusi terlihat
dengan perilaku santri yang hidup sederhana. Hal itu bisa dilihat dari pakaian,
makanan, dan pemondokan. Di Indonesia, salah satu ulama yang disebut-sebut
merupakan guru spiritual adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad
ar-Raniri. Ini merupakan pendapat Snouck Hurgronje. Ar-Raniri adalah ulama
keturunan keturunan Gujarat daerah India yang memiliki perkembangan tasawwuf
yang pesat. Ia merupakan guru mistisisme bagi orang-orang pribumi Aceh. Adanya
manuskrip berbahasa Melayu yang dihimpun Royal Asiatic Society yang disebut
oleh Van der Tuuk dalam essaynya menggambarkan kepulangan kedua sosok ar-Raniri
pada 1588 berhubungan dengan aktivitas mistisime yang tersebar dalam masyarakat
Aceh.
Sufistik Modern
Max Weber dalam kajian sosiologi agamanya
dalam karya German Ideology dan The Protestant Ethic and Spirit of
Capitalism menyatakan
bahwa tradisi sufistik berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat. Hal tersebut
pula yang menyelamatkan Jerman dari bencana ekonomi. Kesadaran untuk hidup
zuhud, tidak berfoya-foya, menjauhi gaya hidup hedonis, kesediaan bekerja keras
untuk menghimpun dana semacam zakat sebagai baitul mal mampu menciptakan
kekuatan modal. Jerman lalu berhasil mempertahankan negaranya dari bencana kemiskinan.
Lalu bagaimana dengan Islam.
Di beberapa pesantren seperti Tahfidh Nurull Qur’an al-Istiqamah Bngah
Gresik. Guluk Guluk Sumenep Madura, dan Sidogiri, pesantren-pesantren tersebut telah
menandai pergeseran corak tradisi pesantren telah. Santri tetap memiliki
amaliyah yang dijalani tiap harinya baik tradisi dzikir istiqamah maupun ritual
puasa-puasa tertentu, namun di luar itu sosok kiai sebagai kultural broker
berhasil membentuk mereka sebagai pribadi baru. Di pesantren Nurul Qur’an,
santri diajari mengelola peternakan, bercocok tanam, dan berbagai keterampilan,
tiap dua kali dalam satu minggu mereka pergi ke luar kota belajar berbagai
skill penunjang hidup nanti. Di pesantren Gulu Guluk, santri bekerja keras
membangun kembali hutan dan sanitasi demi menjaga lingkungan. Di pesantren di
Sidogiri, santri ditanamkan rasa perhatian terhadap kesejahteraan umat Islam
dengan pembangunan perekonomian. Pesantren tersebut menjadi pengembang kajian
ekonomi syariah dan menarik berbagai peneliti dari seluruh Indonesia untuk mencermati
capaiannya.
Tradisi zuhud (asketis) sebagaimana pengamatan Max Weber termaknai secara
baru dalam konteksnya yang baru pula. Zuhud tidak hanya bermakna menjauhi hidup
hedonis, namun juga hidup kolektoif dengan melakukan kerja keras dan hasilnya
dikelola dalam mengembangkan kesejahteraan sosial. Peningkatan SDM, penjagaan
lingkungan, dan perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui perekonomian yang banyak
dilakukan oleh pesantren di atas bukan untuk dunia dan keperluan pragmatis. Pergeseran
yang terjadi di tubuh pesantren ini menunjukkan bahwa teori Geertz dalam The
Javanese Kijaji yang berasumsi bahwa kiai adalah penghambat kemajuan tidak
berlaku secara tergeneralisir.
No comments:
Post a Comment