Dalam skala pendidikan
tinggi di Indonesia, telah terdapat 11 Program Program Studi yang
menyelenggarakan pendidikan ilmu lingkungan dalam level pascasarjana. Jumlah
tersebut ditopang oleh 106 PSL (Pusat Studi Lingkungan) di seluruh perguruan
tinggi di Indonesia. Selain itu, beberapa organisasi seperti IALHI yang terbentuk
melalui pertemuan pakar lingkungan hidup di UNS pada 2009 yang kemudian berubah
nama menjadi PERALHI pada tahun 2016 telah membuktikan eksistensi kajian dan
peminat studi lingkungan. Organisasi dan lembaga tersebut diperkuat dengan
organisasi-organisasi monitoring seperti EPW (Environmental Parlianment Wacth) dan lainnya. Di tengah geliat
aktivitasnya sumbangsih yang cukup besar juga ditunjukkan oleh lembaga yang
langsung berhadapan vis a vis dengan
masyarakat seperti WALHI, INKALINDO, SHEEP, dan banyak lagi. Kesemuanya menjadi
eksekutor berbagai kegiatan yang menjadi motor penggerak aktivitas lingkungan
di tengah masyarakat dan menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah melalui
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Untuk saat ini, dengan berbagai
perkembangan studi dan aksi tersebut memang belum dapat memutus mata rantai
bencana alam dan berbagai krisis lingkungan yang sedang di alami oleh negeri
ini, namun potensi tersebut menjadi modal dan acuan dalam perbaikan lingkungan
hidup Indonesia masa depan, terutama cita-cita renaissance lingkungan hidup Indonesia pada tahun 2045.
Meski masih memiliki
banyak kekurangan, masyarakat perlu yakin dan tidak menutup mata terhadap
bebrapa kemajuan yang dicapai berkat kajian yang dilakukan lembaga dan
organisasi lingkungan saat ini. Beberapa persoalan yang melanda DAS (Daerah
Aliran Sungai), CAT (Cekungan Air Tanah), dan lain sebagainya telah mulai
dikaji untuk diperbaiki. Dan benar, bahwa kajian tersebut telah sedikit banyak
mulai dirasakan pada ranah aplikatif. Terdapat satu hal yang dapat menjadi
wadah dari aplikasi perbaikan lingkungan yang sebelumnya jarang disinggung,
yaitu wadah kebudayaan.
Kajian dan aksi
lingkungan tidak dapat dilepaskan dengan melibatkan unsur masyarakat dalam
kebudayaannya. Selain bersifat mendidik, hal ini dapat mamantau perkembangan
masyarakat dalam tingkat kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup. Di
beberapa daerah seperti Banjarnegara menjadi tanda mulai tersebarnya kajian
lingkungan seperti kajian DAS. Dari tahun ke tahun telah diadakan Gemuruh
Serayu yang beresensi memangku sungai sebagai wahana kebudayaan. Melalui
budaya, masyarakat diperkenalkan untuk cinta terhadap lingkungannya, terutama
sungai sebagai pusat penghidupan masyarakat yang dari sungai tersebut akan tercipta
hubungan simbiosis yang melibatkan relasi antara manusia, pohon, hewan, dan
aneka hayati lainnya untuk bersinergi dalam menjaga keseimbangan dan kualitas
hidup yang baik.
Telah saatnya upaya
pemeliharaan lingkungan melibatkan masyarakat. 85 pasal penanggulangan bencana
yang dirumuskan pemerintah tidak akan sepenuhnya dapat menolak terjadinya
bencana alam yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Kepedulian antisipasi masyarakat
sebagai bentuk pola TAGANA (Tanggap Bencana) harus dimulai dengan menanggulangi
ketidakstabilan alam dengan mencintai alam itu sendiri. Mencintai alam tersebut
diwujudkan dengan merawat lingkungan. Salah satunya berangkat dari hal terkecil
seperti tidak membuang sampah pada aliran sungai. Menanamkan istilah
“meletakkan” sampah pada tempatnya pada anak-anak kita, setidaknya untuk
menghindari istilah “membuang”. Selain melatih generasi untuk disiplin,
kebijaksanaan berbagai istilah yang kita gunakan menjadi bentuk dari akar
ontologis yang membangun mindset positif
dari semua aspek kehidupan.
Dengan upaya melatih
pemeliharaan lingkungan berwadah budaya tersebut, para pakar yakin bahwa pada
tahun 2045, Indonesia akan memasuki era renaissance
lingkungan hidup. Beberapa tokoh
lingkungan seperti Emil Salim meyakini bahwa kepedulian masyarakat terhadap
lingkungan menjadi bagian dari proses pembangunan berkelanjutan. Lingkungan
yang baik tidak hanya membantu terhadap terwujudnya kualitas hidup yang baik,
namun juga dapat menumbuhkan nilai infestasi. Tidak hanya melalui sektor
pariwisata, namun hingga sektor agrobisnis.
Keseimbangan sentra
bisnis dengan reboisasi lingkungan semakin banyak terlihat, bahkan di pusat aktivitas
bisnis seperti Jakarta. Pengimbangan wilayah pesisir dengan hutan mangrove di
Jakarta bukan hal yang mustahil. Terbukti hal itu sama sekali tidak menghambat
pertumbuhan ekonomi, namun malah mempertahankan kekuatan daerah pesisir laut
dan dalam fungsinya yang lain bahkan mampu menunjang agrowisata alam.
Aktivitas menyeimbangkan
alam memang sedang digalakkan dan berada dalam proses perbaikan. Hal semacam
ini bisa dilihat dari kajian penanganan limbah medis dan pabrik, sustainable hotel design, resapan air tanah, dan aspek lain yang saat ini
sedang aktif menjadi kajian lingkungan hidup yang tinggal menunggu waktu untuk
dapat diaplikasikan dalam menyongsong renaissance
lingkungan hidup Indonesia tahun 2045. Semua standar lingkungan harus
ditegakkan, mulai dari RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), CSR (Corporate Social Responsibility), dan
aspek lainnya yang kesemua diatur oleh AMDAL sebagaimana rumusan SKKNI yang
harus terus dikawal agar tidak cenderung pada kepentingan tertentu. Sebagai
buah pemikiran, lampiran SKKNI juga harus terus digodok dan terus
mempertimbangkan perkembangan teknologi dan standarisasi yang terus
dikembangkan di seluruh dunia.
Jika melihat perkembangan
standar lingkungan dunia, Australia menjadi salah satu negara yang dapat
diteladani dalam hal ini. Mereka merancang Standard
Operating Procedure (SOP) lingkungan
hidup yang dapat diadopsi oleh semua negara. Tidak ada aturan plagiarisme,
namun hal ini lebih pada bentuk dedikasi mereka dalam memprioritaskan kebutuhan
global. Dengan hal ini, diharapkan lebih banyak lagi negara lainnya yang saling
membuka diri dan sadar bahwa kebutuhan lingkungan hidup bukanlah kebutuhan
skala nasional, namun kebutuhan global. Kebutuhan global tersebut ditentukan
dan dimulai oleh kesadaran individual.
Dari sini, individu
bangsa Indonesia dihadapkan dengan tantangan untuk menjadi prototype lingkungan hidup dalam skala global pada tahun 2045. Di
antara negara lainnya, Indonesia memiliki kriteria yang mewadahi dan berpeluang
besar untuk didaulat sebagai prototype
lingkungan hidup tersebut dengan segala potensi alam yang dimilikinya. Dengan
berbagai keragaman dan kekayaan hayatinya. Tinggal, bagaimana kemudian peran
aktif dari masyarakat di lapangan, stakeholders
di pemerintahan, dan para akademisi di pusat studi lingkungan untuk terus
bersinergi secara intensif dengan kesatuan visi.