Wednesday, February 22, 2012

MEMPERTAHANKAN UNSUR ESENSIAL DALAM METODOLOGI INTERPRETASI AL-QUR’AN KONTEMPORER

MEMPERTAHANKAN UNSUR ESENSIAL DALAM METODOLOGI INTERPRETASI AL-QUR’AN KONTEMPORER
(Kritik terhadap Interpretasi al-Qur’an Dewasa Ini)
Muhammad Barir
Mahasiswa Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Nasr Hamed Abu Zaed, Muhammad Syahrur, Fazlur Rahman, dan Hasan Hanafi adalah diantara tokoh-tokoh kontemporer yang selama ini memicu timbulnya pro dan kontra, mereka banyak menuai kritik bahkan penolakankarenakeberanian mereka dalam menginterpretasi al-Qur’an dari sisi yang berbeda dengan sebelumnya. Berbagai hasil research mereka menjadi istimewa karena banyak ide-ide baru yang mencoba menerobos pemikiran klasik.Bahkan Syahrur berani mengatakan tradisi (turots) adalah penghambat bagi kebenaran dan kemajuan.Nasr Hamed Abu Zaed sampai dikecam oleh ulama al-Azhar Kairokarena pemikiranya yang kontroversial.Ada suatu Kebenaran terbalik dimana al-Qur’an yang seharusnya menjadi Human Guide terkadang malah dipakai guna mendukung kebutuhan dan kepentingan manusia di era kontemporer ini, bahkan al-Qur’an seringkali dipaksa untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman, bukan zaman yang harus sesuai dengan al-Qur’an. Terlepas dari semua problematika tersebut,Pengkajian terhadap metodologi yang sesuai untuk menginterpretasi al-Qur’an masih terus dicari sebagai langkah verifikasi metode yang telah ada dan sebagai respon terhadap dinamika problema umat manusia yang semakin berkembang.

A. Pendahuluan
Kata Esensial diambil dari bahasa Inggris “essence” yang maknanya adalah “intisari” atau “pokok”, kemudian dari kata ini muncul kata lain yakni “essential” kata ini berartikan suatu hal-hal atau unsur-unsur yang pokok. Berangkat dari sini, lalu muncul suatu pertanyaan, apakah unsur-unsur esensial dalam interpretasi al-Qur’an?Apakah ideal moral yang lebih ditekankan, ataukah legal spesifik. Apakah sisi kemanusiaan yang lebih ditekankan, ataukah hokum baku al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan kitab yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lain karena al-Qur’an merupakan kitab yang turun kepada umat yang senantiasa menghargai dan mempertahankan nilai-nilai kebahasaan dan memang Allah lah yang berjanji untuk memeliharanya.Yang menjadi sesuatu hal yang menarik ialah bahwa walaupun al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab yang bahasanya tetap utuh dan terproteksi dari perubahan mulai dari zaman Nabi sampai saat ini, namun ternyata persamaan lafad bukanlah merupakan sesuatu yang dapat menjamin interpretasi satu suara (in agreement) di antara para ulama.Kenyataanya banyak produk penafsiran yang berbeda atau bahkan berlawanan satu dengan yang lainya.
Hal diatas merupakan imbas dari lebel rohmah li al-a>lamin al-Qur’an yang harus terus sesuai fi kulli zaman wa makan. Lebel yang disandang al-Qur’an tersebut menuntut agar bagaimana ia bisa digunakan sebagai pegangan umat setiap zama termasuk pula saat ini yang tentunya berbeda dengan zaman dimana al-Qur’an turun.Saat ini, banyak ulama yang terus mengembangkan metode dalam menginterpretasi al-Qur’an berdasarkan tolok ukur kebutuhan baik kondisi sosial, budaya, bahkan kemanusiaan dengan mengkontekstualisasikan unsur-unsur masa lampau bagaimana agar sesuai dengan masa sekarang, baik dengan mencari alasan turunya ayat (al-Asbab an-Nuzul)maupun mengkaji aspek Maqashid asy-Syari’ah dengan ilmu Us{ul Fiqh yang di dalamnya juga membahas unsur Hermeneutik.
Permasalahanya ialah ketika al-Qur’an dituntut untuk selalu sesuai dengan zaman dimana ia dibaca, terkadang menimbulkan produk tafsir yang terbawa arus zaman dengan memprioritaskan aspek kepentingan perubahan dan terkadang mengabaikan unsur esensial al-Qur’an itu sendiri sehingga dalam suatu penafsiran terkadang lebih didominasi oleh Pra-Pemahamanmufassir sendiri kitimbang al-Qur’an yang berbicara dengan sendirinya. Munculnya hal tersebut diindikasikan dilandasi oleh dua hal,
Pertama, kepentingan sosial lebih diprioritaskan dalam merangkai produk tafsir dan al-Qur’an hanya berposisi sebagai pendukung tujuan tersebut.Antara nilai objektifitas dan subjektifitas dalam memahami al-Qur’an lebih besar subjektifitasnya yang muncul baik sebagai kecenderungan pemikiran mufassir, atau semangat sosial.Kedua, metodologi yang dipakai tidak bisa membatasi akan melebarnya pemikiran-pemikiran mufassir sampai berdampak pada munculnya interpretasi yang berada diluar esensi murni al-Qur’an. Unsur kedua ini menjadi penting untuk dikaji dan diperbaiki karena selain bertanggung jawab terhadap produk penafsiran, ia juga berkepentingan untuk membuat terobosan baru penafsiran masa depan yang selain memprioritaskan kemashlahatan sosial, namun juga tidak mengabaikan unsur esensial al-Qur’an sebagai wahyu.
Adanya suatu interprets-interpretasi baru dengan metodenya yang baru pula memang perlu dilakukan namun untuk apa ada suatu metode baru jika malah yang terjadi hanyalah konflik dan perpecahan, untuk itu perlu adanya perhatian khusus dalam mengalaisa terhadap bagaimana metode yang selama ini telah ditawarkan oleh ulama kontemporer dan bagaimana pula respon masyarakat terhadapnya?, Bagaimana karakteristik metode baru yang masyarakat siap menerimanya?, apa Nilai Ideal metodologi Penafsiran?. Permasalahan-permasalahan tersebut memang menjadi suatu pekerjaan rumah bersama yang selama ini pasti telah ada dalam baying-bayang interpretator-interpretator al-Qur’an dan kiranya akan menjadi suatu yang menarik untuk mengkaji dan mencoba menjawab permasalahan-permasalahan tersebut dalam artikel ini.
B. Pemikiran Ulama Kontemporer dan Berbagai Respon yang Diterima
Jelas bahwa dalam upaya Mufassir dalam menginterpretasi al-Qur’an adalah didedikasikan untuk kepentingan menggali kebenaran yang orientasinya kembali kepada agama dan umatnya.Namun banyak pula upaya yang dilakukan para Mufassir harus berhadapan dengan kritik dan ketidaksepakatan bahkan penolakan yang akhirnya memunculkan persepsi miring dari para pembacanya. Nasr Abu Zayd, pemikir asal Mesir ini banyak menuai kritik atas buah tafsirnya yang mengkaji nilai-nilai tekstual dalam al-Qur’an yang walau penelitian ini pula banyak diapresiasi oleh peneliti barat seperti Stefan Wild yang menyunting research al-Qur’an Adu Zayd dan memberi judul karyanyaThe Qur’an as Text(al-Qur’an Sebagai Teks) yang terbit pada 1996. Namun ulama al-Azhar dan banyak ulama lain menentang pemakaian istilah Nash (teks) oleh Abu Zaed terhadap al-Qur’an selain itu yang juga tidak kalah menarik ialah argumenya yang menyatakan bahwa al-Qur’an ialah Produk Budaya (Munta>j as|- s|aqofi>). Walaupun kontra lebih banyak mewarnai pemikiran Abu Zaed namun bagaimana pun karya ini merupakan karya ilmiyah yang memiliki landasan teori dan metodologi terlepas dari banyak pula kritik terhadap metode Abu Zaed yang dikatakan terlalu memaksakan basic keilmua Kritik Sastra dan Studi Islamnya yang dikatakan oleh sebagian ulama tidak tepat untuk digunakan dalam menginterpretasi al-Qur’an.
Beberapa nufassir lain juga patut dipertimbangkan pengaruh pemikiranya dalam dinamika tafsir kontemporer dengan spesifikasi dan cirri khas penafsiran yang berbeda-beda seperti Fazlur Rohman yang masih berusaha mendasari interpretasi al-Qur’an harus sesuai dengan tradisi (Turos|), beda halnya dengan Muhammad Syahrur yang kurang mengapresiasi terhadap tradisi ia menganggap bahwa tradisi seringkali mengungkung hingga menjebak seseorang pada sikap taqlid dan stagnan. Diluar dua tokoh tersebut ada tokoh yang berposisi tengah, dialah Hasan Hanafi yang memadukan antara tradisi (Turos|) dengan pembaharuan (Tajdi>d) kedua hal tersebut menurutnya harus diseimbangkan agar penafsiran bisa luwes dalam arti dapat terus mengikuti perkembangan zaman namun juga tetap memiliki dasar tradisi yang akan terus menjadi barometer bagi mufassir dalam mengeluarkan prodak penafsiran.




C. Antara Mencari Metode Baru dan Kesiapan Masyarakat untuk Menerimanya
Hal yang harus terus diupayakan oleh sarjana muslim ialah menghasilkan prodak pemikiran yang mau tidak harus berdasarkan pada al-Qur’an sebagai dasar utama. Hal yang menjadi tuntutan bagi sarjana muslim ialah bagaimana al-Qur’an tersebut ia interpretasi dan kemudian dikontekstualisasikan dengan masa sekarang dan begitu seterusnya harus terus dimunculkan penginterpretasian dan pengkontekstualisasian baru atas al-Qur’an sehingga kedudukan al-Qur’an sebagai pedoman utama masih bisa tetap terpelihara kapan pun dan dimana pun.
Menyesuaikan kapan dan dimana al-Qur’an diinterpretasi ialah suatu upaya memposisikan al-Qur’an agar bisa sesuai dengan masanya.penentuan signifikasi juga menjadi hal yang urgen guna memprediksikan siapa nantinya yang akan mengkaji prodak interpretasi yang dari sini digunakan untuk menyesuaikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga tidak menimbulkan salah persepsi. Mempertimbangkan terhadap siapa nanti yang akan membaca hasil interpretasi dan apa respon mereka merupakan hal yang nantinya akan berdampak signifikan terhadap prodak interpretasi, untuk itu perlu adanya perhatian dan kesiapan terhadap hal tersebut.
Mengkaji al-Qur’an memiliki kesulitan tersendiri dimana kitab ini merupakan kitab yang memiliki nilai spiritual dalam hati pemeluk Islam, persoalan kepercayaan (Faith) ini lah yang menjawab pertanyaan kenapa prodak interpretasi kontemporer banyak menuai tentangan disana-sini?. Menjadi suatu contoh realbahwa respon dan konflik pemikiran lebih banyak menghadapkan masyarakat Islam dengan mufassir kontemporer dari pada melibatkan pihak non muslim, malah banyak tokoh Barat yang memberi apresiasi terhadap prodak tafsir yang menurut pihat Timur malah dinilai kontrofersial. Muhammad Syahrur ketika berada ditengah berbagai kritik wacana terhadap dirinya muncullah seorang Peter Klark yang malah mengapresiasi pemikiranya melalui tulisan The Syahrur Phenomenon (a Liberal Islamic Voice from Syiria). Begitu pula Stefan Wild yang mengapresiasi pemikiran Nasr Hamed Abu Zaed melalui karyanya The Qur’an as Text(al-Qur’an sebagai Teks).
Persoalan kata-kata menjadi permasalahan tersendiri bagi munculnya suatu pemikiran. Wacana Tekstualitas al-Qur’an dan perkataan bahwa al-Qur’an Produk Budaya (Munta>j as|- s|aqofi>) yang menjadi pemikiran Nasr Hamed yang menuai kritik menjadi improve tersendiri tentang pentingnya memerhatikan kata-kata agar tidak menyinggung Masyarakat yang memiliki nilai Spiritualitas yang tinggi dan penghargaan terhadap al-Qur’an sebagai wahyu.

D. Metode Baru dalam Interpretasi al-Qur’an
Masa kontemporer dengan beragam permasalahannya yang terus berkembang dengan pesat menuntut penafsiran atau metode interpretasi al-Qur’an untuk bisa mengejar perubahan dan permasalahan yang semakin hari-semakin kompleks.Kekompleksan ini bahkan telah banyak mengakibatkan munculnya disiplin-disiplin ilmu baru karena perlu adanya pembahasan khusus terhadap suatu permasalahan yang sudah tidak efisien dibahas dalam ilmu induk.Berbagai metode Interpretasi al-Qur’an telah banyak bermunculan semenjak Revivalisme pra-modernis sampai era Neo-Modernisme.Banyak pelajaran dari berbagai pemikiran yang telah tertuang dalam wacana-wacana dan hal ini menjadi bekal tersendiri dalam interpretasi yang akan dilakukan pada era setelahnya inilah yang dinamakan sebagai Analisis Pengalaman. Ada beberapa teori brilian pemikir kontemporer yang banyak mewarnai masa-masa tersebut seperti Double Orientation, yakni memiliki orientasi ganda selain interpretasi berorientasi pada Eksistensi Tuhan juga haruslah orientasinya kembali pada kepentingan kemanusiaan. .Tori ini pada dasarnya ialah teori yang lahir dari pernyataan Hasan Hanafi terhadap kebanyakan Teori Tafsir klasik lebih memprioritaskan pada eksistensi tuhan dan bukan pada eksistensi kemanusiaan.
Kedua, Kontekstualisasi atau Menjadikan tempat dan waktu al-Qur’an hadir sebagai tolok ukur, hal ini dilakukan sebagai pertimbangan dalam mengeluarkan prodak tafsir sehingga bisa sesuai dan dapat diterima di setiap tempat dan waktu.Penggunaan knteks tualisasi ini bisa juga memperhatikan teori double Movement Fazlur Rahman dari realita ke teks atau sebaliknya dari induktif ke deduktif kemudian dari deduktif ke induktif.Artinya permasalahan yang terjadi dicari dasar Qur’an-nya kemudian, mengamati teks al-Qur’an setelah itu disesuaikan dengan permasalahan yang ada.
Ketiga, Analisis pengalaman, mencermati berbagai hal yang telah dilalui yang darinya al-Qur’an hadir untuk melakukan jastifikasi. dari sini akan ada suatu pencarian nilai ideal moral yang terkandung dalam suatu ayat al-Qur'an.
Ketiga, Keseimbangan antara tradisi (Turos|) dan pembaruan (Tajdi>d), maksud aspekPertama, dalam interpretasi kontemporer perlu adanya penjagaan karakteristik sehingga prinsip agama tetap terjaga, Keduaperlu adanya keterbukaan dalam menerima hal baru. Permasalahan akan timbul ketika antara Turos|dan Tajdi>dtidak bisa disinambungkan seperti wacana Ideal Moral VS Legal Specific yang diangkat oleh Fazlur Rahman, mana di antara keduanya yang harus dipilih? Apakah mempertahankan pesan nass ataukah melindungi sisi kemanusiaan. Namun dalam segi historisnya, asy-Syatibi berhasil menjelaskan kepada masyarakat tentang posisi ideal moral lebih menjadi prioritas dari pada Legal Specificdengan konsep Maqos}hid asy-Syari’ahnya.
Batasan pemikiran, dalam banyak kasus penafsiran al-Qur’an, seringkali ditemukan unsur-unsur yang sebenarnya berada di luar kapasitas dan tujuan penafsiran baik muncul dari pemikiran mufassir yang terlalu melebar, Gadamer merumuskan teori bahwa dalam interpretasi, akan muncul dua sisi yang akan mempengaruhinya, pertama adalah sisi Subjektifitas dan yang kedua adalah sisi objektifitas. Setiap interpretasi pastilah tidak bisa melepas sisi subjektifitas yang menjadi pra-pemahaman karena,tanpa adanya pemahaman awal, teks tidak akan bisa terfahami sebab bagaimana pun dalam menginterpretasi teks perlu adanya pra-pemahaman sebagai metode pendekatan awal, walau ada tuntutan untuk bagai mana teks bisa berbicara dengan dirinya sendiri namun sisi dari subjek baik keilmuan, kepentingan sosial atau tendensi tertentu turut mencampuri buah pemikiran. Inilah yang harus ditelaah tentang bagaimana pra-pemahaman tersebut bisa berada pada posisi yang tepat.
Berbagai prodak penafsiran saat ini belumlah final, dan masih banyak perdebatan di sana-sini, dan walau pun prodak tersebut bisa diterima saat ini, bukan berarti masa mendatang pun akan juga diterima hal ini karena pemikiran merupakan hal yang bersifat Relatif bukan absolut dan bersifat Tentatif bukan untuk selamanya. Untuk itu, sikap Up to Date perlu selalu dilakukan dalam merespon masa yang baru dengan berbagai permasalahanya yang baru pula.
E. NilaiI deal Metode Tafsir
Pada paska perang sifin, dimulailah suatu perpecahan dengan munculnya tiga golongan, yakni Syi>’ah, Khowa>rij, dan Murji’ah. Namun, perpecahan tersebut terjadi pada abad ke tuju masehi yang lalu dan dalam perjalananya, hari demihari memunculkan berbagai golongan yang terus bertambah seiring dengan semakin majunya gaya berfikir yang menyesuaikan ketidaksamaan kapasitas akal dan Pra-pemahaman dalam berinterpretasi antara satu golongan dengan golongan yang lain. Saat ini golongan-golongan dalam Islam tidak terhitung banyaknya dengan berbagai corak dan doktrin masing-masing.
Dari fakta di atas, akan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin suatu prodak penafsiran dapat diterima oleh semua golongan yang ada. Walau pun demikian, namun bagi prodak penafsiran, paling tidak, ada kesempatan untuk bagaimana ia bisa menekan suatu over response dari pihak yang kontra karena adanya prodak interpretasi ialah untuk kemashlahatan dan bukan malah membuat masaalah baru.Ini adalah poin Pertama nilai Idealitas suatu metode tafsir.
Paska Renaissance, penggunaan akal dalam setiap hal menjadi penting mengingat akal merupakan anugerah istimewa yang denganya benyak hal bisa terpecahkan dan terselesaikan, namun akal dalam kapasitasnya sebagai salah satu pilihan ber-ijtiha>dbagi manusia dalam menuju tujuan, ada aspek penting yang harus diimbangi, yakni wahyu yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits—bukan malah al-Qur’an yang harus mengimbangi akal—karna al-Qur’an adalah kerangka berfikir utama dalam setiap hal.ditengah banyaknya prodak penafsiran dengan berbagai metodenya yang beragam haruslah keseragaman itu tetap dalam satu paradigma, yakni tersampainya pesan wahyu yang menjadi Nilai Ideal Kedua Metode Tafsir yang hal ini menjadi batasan tersendiri bagi kapasitas akal.
Dalam teori Pragmatisme digambarkan tentang idealnya suatu pemikiran ialah teraplikasinya dalam kehidupan, hal ini merupakan Nilai Ideal Ketiga Metode Tafsir.Penerapan tersebut juga merupakan tolok ukur keberhasilan.Karena mengapa harus ada suatu metode ialah karena agar bisa diterapkan.
F. Kesimpulan
Mencoba menjawab pertanyaan besar tentang apa sebenarnya yang menjadi unsur esensial dari al-Qur'an ialah bahwa dalam suatu prodak penafsiran pertama, pesan tuhan harus tersampaikan. kedua, suatu pemikiran harus memberi kemashlahatan manusia—dengan tersampainya pesan Ideal Moral—menjaga eksistensi Tuhan dan melindungi Eksistensi manusia.
Sebenarnya teori dan metode yang banyak dihasilkan ulama kontemporer sangatlah memberikan suatu pemecahan masalah terutama masalah hukum konteks saat ini, namun kali ini perlu diperhatikan mengenai mengapa banyak metode mereka patah dan tidak diterima di lingkunganya. Ada dua sebab mengenai hal ini:
1. Sebab Internal
Pertama, lahirnya suatu pemikiran yang notabene baru, tidak diiringi dengan penahapan. Munculnya pemikiran Nasr Hamed misalnya yang membahas mengenai waris sebenarnya sangat bagus dia menyatakan bahwa munculnya istilah bagian perempuan separoh bagian laki-laki maksudnya ialah agar perempuan tidak mendapat kurang dari separoh laki-laki dan laki-laki tidak mendapat lebih dari dua kalilipat perempuan. Dari sini bisa difahami bahwa laki-laki dan perempuan sebenarnya bisa mendapat nilai sama dari harta waris. Namun pemikiranya banyak diprotes karena dia dalam melahirkan tori tentang pemecahan tidak diimbangi dengan bagaimana cara agar teori tersebut bisa diterapkan. Rosulullah memberi contoh tentang bagaimana suatu hokum khomr yang tidak langsung diterapkan secara utuh dalam satu waktu namun ada penahapan dalam menerapkan prinsip hokum khomr.
Ketiga, faktor Pra-pemahaman. Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung hal-hal yang melingkupi nilai Pra-pemahaman separti keilmuan, setting social, budaya, dan lain sebagainya. Dalam kasus sebelumnya, ditolaknya pernyataan Nasr Hamed Abu Zaed ialah karena basic keilmuanya yang melahirkan teori tersebut. Ia sebenarnya memiliki kecenderungan kritik sastra dan metode ini ia gunakan sebagai pendekatan dalam memahami al-Qur’an sehingga sampai muncul istilah controversial yakni al-Qur’an Produk Budaya (Munta>j as|- s|aqofi>) yang berawal dari kajianya terhadap kata nas{s{. penggunaan istilah menjadi hal yang sangat penting bagi lingkungan dan ini masih menjadi problema tersendiri bagi interpreter tentang bagai mana metode pembahasaan yang baik.
2. Sebab Eksternal
Pertama, persepsi terhadap sakralitas al-Qur’an. salah satu hal yang menyebabkan mengapa suatu teori dianggap kontroversial ialah karena dari segi lingkungan yang menganggap al-Qur’an suci. Dan walaupun terdiri dari lembaran-lembaran kertas namun pada dasarnya al-Qur’an merupakan suatu kalam tuhan yang la> yamassuhu illa al-Muthohharu>n. Fazlur Rahman “al-Qur’an seluruhnya adalah kalam Allah dalam arti biasa dan seluruhnya adalah perkataan nabi Muhammad” kata-kata ini membuatnya harus hengkang dari negaranya karena ketidaksiapan masyarakat bukan dalam memahaminya namun tidak siap dalam menerima istilah tersebut, mengingat betapa sakralnya al-Qur’an.
Kedua, perbedaan ideologi. Kita perlu mengingat saat Nasr Hamed Abu Zaed diklaim sebagai bid’ah oleh ulama al-Azhar, menurut mereka dalam al-Qur’an, Sunnah, dan Pendapat Shohabat tidak pernah ditemukan penggunaan kata Nas}s}. sebenarnya kontroversi ini timbul lebih didasari oleh perbedaan ideologis mengenai makna Nas}s}. Nasr Hamed tidak diberikan peluang untuk menjelaskan apa yang ia nyatakan.
Ketiga, kepentingan politik. Faktor politik sangat mempengaruhi terhadap adanya suatu pemikiran baru, karena pada era kontemporer ini tentu saja setiap muncul suatu hal yang baru dan berkenaan dengan ruang publik, pastilah harus berhadapan dengan konteks aturan politik. Pengaruh dari bias polotik bisa kita lihat dari perjalanan Fazlur Rahman. Semenjak ia berada di Eropa ia merasa tidak nyaman untuk kembali ke negaranya, dan baru sekitar 1960-an ketika Ayyub Khon Menjadi raja dengan jiwa berfikir Modernis ia mulai berani membumikan pemikiranya di negeri asalnya, walau harus hengkang kembali.